*) Oleh: Tjahjono Widarmanto
Sebelum membicangkan esai itu tergolong satra atau bukan, marilah kita telisik dulu apa yang dimaksud sastra dan apa yang dimaksud bukan sastra. Berdasarkan etimologisnya, sastra berpangkal dari bahasa Sansekerta, yaitu su dan sastra. Su memiliki makna indah atau bagus, dan sastra memiliki makna tulisan atau bahasa. Itu berarti secara harafiah sastra adalah tulisan yang indah.
Dari makna harafiah di atas, dapatlah diambil pengertian secara luas bahwa sastra adalah jenis teks atau ragam tulisan yang tak hanya menonjolkan ide namun juga memiliki aspek keindahan. Aspek keindahan dalam teks sastra diperoleh dengan memanfaatkan bahasa dalam fungsi artistiknya. Proses penulisan sastra adalah proses memberdayakan bahasa untuk mencapai suatu derajat estetika tersebut. Pemberdayaan bahasa tersebut meliputi eksploitasi diksi, pemanfaatan majas, komposisi kalimat, pengutamaan konotasi, pemakaian lambang atau simbol, pemilihan citraan, kekuatan deskripsi, bahkan hingga pemanfaatan aspek bunyi dalam kata atau susunan kalimat.
Pemberdayaan bahasa untuk mencapai derajat estetika tertentu menjadikan teks sastra tak sekedar menyampaikan ide atau konten namun juga mengemasnya dalam ekspresi yang penuh keindahan. Oleh karena itulah tidak mengherankan membaca sastra terasa lebih nyaman dan betah dibanding membaca teks lain. Seseorang membaca novel terasa lebih terpikat dan betah dibandingkan saat ia membaca sebuah buku tentang teori sosiologi, akutansi atau politik.
- Iklan -
Dalam proses penciptaannya teks sastra dipicu pula dengan daya imajinasi. Imajinasi berbeda dengan fantasi atau daya khayal. Fantasi adalah sesuatu yang muskil, sekedar khayalan yang tidak masuk akal, tidak berjejak pada realitas. Sebaliknya, imajinasi tidak berangkat dari khyalan namun berjejak pada realitas. Marah Rusli, sang penulis novel Siti Nurbaya, tak akan pernah menulis novel tersebut jikalau tidak menjumpai realita kawin paksa di Minangkabau pada paruh 1930-an. Pun demikian dengan Habibburahman, jikalau tidak menjumpai realita benturan-benturan sosial dan psikologis para mahasiswa Indonesia yang belajar di Mesir, tentunya ia tak akan bisa menulis novel Ayat-Ayat Cinta. Pendek kata, imajinasi adalah eksploitasi realita yang dibumbui untuk membangun realita yang lain disertai sentuhan emosi atau pelibatan perasaan yang memberi efek emultif pada pembacanya. Dalam perkembangan berikutnya, teks-teks sastra disebut fiksi.
Di sisi lain, ada ragam teks yang lain yaitu ragam teks nonfiksi atau bukan sastra. Teks ini tidak mementingkan eksploitasi bahasa, tidak mengedepankan pencapaian aspek estetika, namun lebih mengarusutamakan konten atau isi. Bagi penulis jenis teks ini, isi teks lebih dipentingkan daripada penggunaan bahasa dalam tulisannya.Penghayatan emosi tidak dipentingkan dalam jenis teks ini, faktor logika dan rasionalitas menjadi pemandu utama. Yang tergolong jenis teks nonfiksi ini adalah karya-karya ilmiah, teks-teks argumentatif semacam laporan pengamatan, teks prosedur, makalah, skripsi, disertasi, teks eksplanasi dan sebagainya.
Esai merupakan salah satu ragam tulisan eksposisi. Nyaris sama dengan artikel, esai juga menghadirkan tesis namun pengembangannya yang berbeda. Artikel mengembangkan tesis dengan argumen-argumen yang sarat nalar dan bermuara pada penarikan kesimpulan tertentu atau setidaknya pada penegasan ulang tesis. Karena menyodorkan argumen-argumen inilah maka dibandingkan esai, artikel lebih panjang dan menyodorkan analisis yang dikendalikan oleh rasionalitas, logika analitik, dan objektif. Penyodoran argumen-argumen yang rasionalitas, analitik dan objektif itu pun menjadikan bentuk ungkap bahasa artikel lebih berkesan kaku dan formal. Bisa dikatakan artikel adalah puncak kemampuan dalam membentangkan argumen.
Kalau artikel adalah untuk menjawab pertanyaan untuk kemudian menarik sebuah kesimpulan, esai berdiri di seberangnya. Esai tidak untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan, namun justru dari sebuah pertanyaan itu akan menghadirkan pertanyaan-pertanyaan berikutnya. Esai adalah seni melahirkan pertanyaan-pertanyaan. Esai yang berhasil dan cemerlang adalah tidak melahirkan jawaban atas pertanyaan-pertanyaan, melainkan membiakan pertanyaan-pertanyaan baru dari sebuah pertanyaan. Menghadapi sebuah esai, pembaca tidak akan menemukan solusi, justru akan menemukan pertanyaan-pertanyaan lanjut yang boleh jadi justru akan “menggelisahkannya”.
Esai harus memikat! Esai tak harus dan tak perlu mengusung narasi-narasi tema besar, namun bisa berjejak pada persoalan yang remeh-temeh bahkan sekedar tetek bengek. Esai yang baik adalah yang bisa menimbulkan kesan yang lama di benak pembacanya. Esai yang sempurna adalah bila mampu menjadi hantu yang membayangi pembacanya. Membuatnya resah, sibuk bertanya, sibuk menduga-duga.
Esai boleh jadi adalah obrolan-obralan yang tertulis. Seperti perbincangan-perbincangan di warung kopi. Bisa meledek sana-sini, bisa menyentil ke kanan-kiri. Dapat pula menghardikkan kejutan-kejutan, pisuhan atau menimbulkan ngakak.
Karena harus memikat pembacanya, maka penulis esai bisa memanfaatkan kemampuan berbahasanya dengan seartistik mungkin. Dengan style tertentu dengan memanfaatkan kemampuan bahasanya, penulis esai bisa bermain-main dengan humor, analogi, perbandingan, kekayaan kosa kata, metafora bahkan simbol yang mampu menyugesti pembacanya. Maka, jadilah esai adalah seni. Sebab seni, maka esai selalu mewujud sebagai subjektivitas bukan objektivitas. Pemanfaatan bahasa dengan seartisik mungkin inilah menjadikan sebuah esai lebih dekat pada sastra dibanding nonfiksi.
Seorang penulis esai ibaratnya adalah seorang pejalan yang sedang melancong. Dia tak hanya sibuk berswafoto namun dia mengamati dengan cermat apa yang dilihat dan yang dirasakan. Ia merespons apa yang tampak dan yang dialaminya. Tak sekedar selfi atau berswafoto, ia menangkap kesan sekaligus merenungkan dan memberi makna apa yang dialami, dilihat, dan dirasakan. Apapun itu, baik hal-hal yang indah, tragedi, kebahagiaan, kenestapaan bahkan yang paling abursd sekalipun. Tak selamanya apa yang ia renungkan bisa melahirkan jawaban-jawaban. Jawaban-jawaban tak begitu penting dalam esai, yang paling utama adalah menyugesti pembaca untuk ikut gelisah, untuk terangsang mencipta pertanyaan-pertanyaan. Esai memang tak pernah final. Esai adalah seni sastra untuk menyugesti pembaca terpikat sekaligus gelisah.
*) TJAHJONO WIDARMANTO lahir di Ngawi, 18 April 1969. Meraih gelar sarjananya di IKIP Surabaya (sekarang UNESA) Jurusan Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia, sedangkan studi Pascasarjananya di bidang Linguistik dan Kesusastraan diselesaikan pada tahun 2006, pernah studi di program doktoral Unesa. Buku puisinya a.l: KITAB IBU dan KISAH HUJAN (2019), PERBINCANGAN TERAKHIR dengan TUAN GURU (2018), PERCAKAPAN TAN dan RIWAYAT KULDI PARA PEMUJA SAJAK (2016) menerima anugerah buku hari puisi Indonesia tahun 2016, YUK NULIS PUISI (2019), PENGANTAR JURNALISTIK;Panduan Penulis dan Jurnalis (2016), MARXISME DAN SUMBANGANNYA TERHADAP TEORI SASTRA: Menuju Pengantar Sosiologi Sastra (2014) dan SEJARAH YANG MERAMBAT DI TEMBOK-TEMBOK SEKOLAH (2014), MATA AIR DI KARANG RINDU (buku puisi, 2013) dan MASA DEPAN SASTRA: Mozaik Telaah dan Pengajaran Sastra (2013), DI PUSAT PUSARAN ANGIN (buku puisi, 1997), KUBUR PENYAIR (buku puisi:2002), KITAB KELAHIRAN (buku puisI, 2003), NASIONALISME SASTRA (bunga rampai esai, 2011),dan DRAMA: Pengantar & Penyutradaraannya (2012), UMAYI (buku puisi, 2012). Selain menulis juga bekerja sebagai Pembantu Ketua I dan Dosen di STKIP PGRI Ngawi, serta menjadi guru di beberapa SMA.