Oleh Mukhamad Hamid Samiaji
Menjadi guru adalah sebuah pilihan. Saat seseorang memilih menjadi guru berarti ia memutuskan dalam hidupnya untuk siap mengabdi dan mengabadikan ilmu. Berkorban menyiapkan dan membentuk generasi muda yang lebih maju.
- Iklan -
Sebelum mengabdikan diri ke dalam dunia pendidikan, seorang guru sebaiknya memenuhi beberapa kriteria subtansial. Dalam buku al-Durar al-Muntatsiroh karya Kiai Hasyim Asyari disebutkan bahwa kriteria yang dimaksud tersebut adalah berilmu, mampu mengamalkan ilmunya, mampu meninggalkan sesuatu yang mendatangkan madharat atau keburukan, dan mampu menjalankan apa yang sudah menjadi kewajiban. Untuk itu, seorang guru hendaknya memiliki ilmu yang kaya, mencintai berbagai macam ilmu, dan gemar membaca. Dengan memenuhi kriteria tersebut maka besar kemungkinan untuk menjadi guru professional yang ideal.
Ada enam poin penting yang dapat penulis temukan dari sosok KH. Hasyim Asyari untuk menjadi sosok guru profesional yang ideal, berikut enam poin penting tersebut:
Pertama, Kiai Hasyim adalah sosok revolusioner. Kiai Hasyim berani melakukan perubahan. Kiai Haji Hasyim Asy’ari dilahirkan di Gedang, sebuah dusun kecil di utara Kota Jombang yang sekarang masuk dalam wilayah desa Tambakrejo, kecamatan kota Jombang, timur pesantren Bahrul Ulum Tambakberas. Kiai Hasyim lahir pada hari Selasa Kliwon, 14 Februari 1871. Kiai Hasyim lahir dari pasangan Kiai Asy’ari dan Nyai Halimah. Pada masanya Kiai Hasyim merupakan salah satu kiai penulis yang produktif. Tulisan-tulisan tersebut berbahasa Arab dan Jawa. Sebagian tulisan-tulisan tersebut sudah dicetak ulang dan bahkan diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia.
Kiai Hasyim muda dikenak dengan sosok yang tidak mengenal kata menyerah dalam hal mencari ilmu. Kemauan yang keras dalam diri Kiai Hasyim untuk senantiasa belajar telah membentuk kebesaran namanya. Oleh karena itu, tidak mengherankan jika dalam umur 13 tahun Kiai Hasyim sudah menjadi pengganti ayahnya untuk mengajar di Pesantren Keras. Setelah itu hingga umur 15 tahun Kiai Hasyim belajar ilmu agama kepada ayahnya sendiri. Di dorong dengan semangat mudanya untuk selalu mencari ilmu, Kiai Hasyim kemudian melanjutkan studinya ke beberapa pesantren yang terdapat di Pulau Jawa hingga menimba ilmu di Mekkah.
Selama di Mekkah, Kiai Hasyim muda ini memanfaatkan kesempatan untuk mendalami ilmu agama dan pendidikan. Setelah Kiai Hasyim muda kembali ke Indonesia pada tahun 1899, segera kemudian mendirikan sebuah pesantren. Tujuannya untuk mengajarkan berbagai ilmu yang telah diperoleh di Mekkah. Bukan hanya untuk dirinya, melainkan juga untuk masyarakat Jawa dan Nusantara.
Pada awalnya, keluarga dan teman-temannya tidak ada yang setuju dengan niat Kiai Hasyim untuk mendirikan pesantren di sekitar pabrik gula Tjoekir. Alasannya daerah tersebut masih sangat tidak aman, di Tebuireng saat itu masih banyak masyarakat yang belum mengenal agama, dengan tradisi yang sangat bertentangan dengan peri kemanusiaan, seperti merampok, berjudi, berzina, dan berbagai jenis kemaksiatan lainnya. Namun Kiai Hasyim tetap memilih suatu daerah yang dekat dengan lokasi itu. Berkat kesabaran dan ketinggian moralitas Kiai Hasyim pengaruh pesantren terhadap kultur masyarakat mulai menerima dan merespon dengan baik. Kiai Hasyim berhasil memberikan perubahan kondisi masyarakat yang lebih baik melalui pendidikan yang ada di pesantrennya.
Kedua, Kiai Hasyim memiliki sikap egaliter. Tidak membeda-bedakan status. Semua murid dimatanya adalah sama. Sama-sama memiliki hak dan kewajiban yang sama. Tanpa pandang bulu. Tanpa pandang keturunan. Di samping itu, sikap egaliter ini juga bisa kita tiru dari kebiasaan Kiai Hasyim setiap hari Pon. Kiai Hasyim pergi ke pasar Pon yang berada di timur stasiun Jombang. Di pasar tradisonal itu, Kiai Hasyim menjual hasil beternak kuda dan berbagai macam hasil pertanian dari sawah yang dimiliki. Meskipun saat itu sudah menjadi seorang ulama besar yang namanya sangat terkenal di nusantara. Tetapi bagi diriny adalah sama. Sama-sama sosok kepala keluarga yang harus memenuhi kebutuhan keluarganya.
Ketiga, Kiai Hasyim mempunyai sikap perhatian yang tinggi. Salah satu contohnya adalah perhatian Kiai Hasyim terhadap berbagai referensi yang akan digunakan murid dalam mencari ilmu. Murid disarankan untuk memiliki semua referensi yang direkomendasikan oleh guru. Hal ini perlu diteladani oleh pendidik hari ini guna mencegah pemerolehan ilmu yang didapat dengan cara adol jere kulak ndean atau dalam bahasa indonesianya berarti berasumsi dengan sumber katanya si anu itu seperti ini… atau kalau tidak salah… Artinya ilmu yang didapat bukan bersumber dari sumber yang ilmiah atau asli. Masih diragukan kebenarannya. Di sinilah pentingnya guru memiliki sikap perhatian yang tinggi terhadap referensi yang akan digunakan oleh murid, guna mencegah terjadinya informasi yang tidak benar atau saat ini dikenal dengan istilah hoax.
Keempat, Kiai Hasyim sangat memuliakan Ilmu. Dalam buku yang berjudul Berguru ke Sang Kiai yang ditulis oleh Mukani dikisahkan bagaimana kehati-hatian Kiai Hasyim dalam menempatkan buku. Baginya menempatkan buku secara tidak sembarangan adalah bentuk penghormatan pada ilmu, kemuliaan, atau pengarangnya serta keagungannya.
Kelima, Kiai Hasyim merupakan sosok yang jujur. Kejujuran guru dengan mengatakan saya tidak tahu terhadap pertanyaan murid yang memang belum diketahui, itu tidak akan mengurangi derajat seseorang. Hal ini justru mengangkat derajat guru, karena hal itu pertanda kemuliaan pengetahuan dan kebersihan hati seorang guru.
Keenam, Kiai Hasyim merupakan sosok teladan. Hal ini dibuktikan dengan perilaku beliau yang selalu bersikap lemah lembut, sopan santun, menjaga akhlak dan suka memberi wasiat kepada murid perihal berbagai ilmu pengetahuan dan aturan syariat. Teladan ini dapat ditiru oleh guru sekarang dengan menyampaikan materi dengan bahasa yang mudah dipahami, dengan harapan murid akan memiliki sikap sopan santun yang baik sebagai perwujudan dari hasil dan juga upaya untuk menjaga berbagai manfaat ilmunya.
Dari keenam poin penting ini, tentu kita menjadi tahu bahwa guru merupakan sebuah profesi yang mulia. Artinya segala sesuatu yang berkaitan dengan profesi tersebut merupakan bentuk ketaatan manusia terhadap penciptanya. Untuk itu motivasi awal yang harus ditanamkan dalam diri seorang guru adalah adanya semangat untuk melakukan pengabidan kepada kebenaran dan kebajikan yang tidak mengenal batas, ruang, dan waktu, tidak boleh terjebak pada paradigma materialism yang bersifat temporal.
Sudah mejadi sebuah keniscayaan guru melaksanakan profesinya dengan penuh keikhklasan, kesabaran, dan ketabahan, sekalipun dalam kenyataannya finansial yang diperoleh guru tidak seimbang dengan tanggungjawab yang harus diemban. Dari sini, untuk menjadi sosok guru professional yang ideal ala Kiai Haji Hasyim Asy’ari , maka guru harus selalu melakukan perubahan diri kepada yang lebih baik, guru harus menempatkan diri sebagai seorang teladan, toleran, tidak membeda-medakan, rendah hati, jujur, pemberi motivasi, dan terhormat. Di samping itu, guru juga harus sabar dan ikhlas dalam mengabdi dan mengabadikan ilmunya kepada muridnya.
– Pegiat Literasi dan Mahasiswa Pergerakan di Purwokerto.