Oleh Bandung Mawardi
Pada akhir 2020, kita masih diajak memikirkan perpustakaan. Di Kompas, 22 Desember 2020, kita disuguhi sejenis laporan dari Perpustakaan Nasional. Selama wabah, perpustakaan-perpustakaan di Indonesia “merana”. Sekian program tak mungkin dilaksanakan dengan pelbagai kesulitan dan risiko. Di kota dan desa, ratusan perpustakaan memilih tutup demi keselamatan bersama. Sekian pengelola kadang membuat siasat agar publik tetap bisa meminjam dan membaca buku. Sulit demi sulit menimpa perpustakaan. Hari demi hari, perpustakaan-perpustakaan sepi. Buku-buku seperti bertapa panjang. Di luar pengertian tempat dan buku, para pengelola perpustakaan masih memiliki jalan digital.
Siasat-siasat terencana atau mendadak diselenggarakan demi pemastian bahwa perpustakaan masih ada. Kerja literasi masih berlangsung meski murung dan lambat. Wabah juga merepotkan angan pernah dibesarkan sejak sekian tahun lalu. kebijakan menjadikan Perpustakaan sebagai tempat tak melulu buku atau membaca diselenggarakan di pelbagai kota dan desa. Di situ, orang-orang diajak memiliki kemampuan-kemampuan “produktif” dianggap sambungan dari kemauan membaca buku, majalah, atau koran.
Kita simak laporan di Kompas: “Transformasi perpustakaan berbasis inklusi sosial terbukti berhasil meningkatkan kesan dan persepsi yang semakin baik terhadap perpustakaan. Dari hasil survei, didapatkan 98,33 persen responden menyatakan setuju bahwa perpustakaan adalah tempat yang menarik karena fasilitas perpustakaan baik dan memadai (61,09 persen), adanya layanan internet gratis (57,24 persen), petugas ramah (51,62 persen), koleksi sesuai kebutuhan (51,39 persen), dan banyak menyelenggarakan kegiatan yang melibatkan masyarakat (46,92 persen).” Semua itu kabar baik. Kita boleh mengangguk atau tepuk tangan. Ingat, laporan dibuat oleh Perpustakaan Nasional. “Berhasil” tentu menjadi pokok sebelum terbandingkan dengan opini atau riset-riset bertema perpustakaan.
- Iklan -
Pesimisme atas perpustakaan masih menjangkiti sampai sekarang. Beragam tuduhan dan ragu mengarah dengan deretan argumentasi. Bukti demi bukti terkumpulkan setelah berceceran. Perpustakaan lekas saja tertuduh gagasan, tempat, dan tatat cara lawas. Pesimisme mungkin mula-mula dari perpustakaan sekolah dan perpustakaan daerah. Gelagat itu perlahan agak menurun jika mengikuti pertumbuhan taman baca digerakkkan kaum partikelir. Publik mulai membedakan kesan dari sebutan perpustakaan, taman baca, pustaka bergerak, rumah pustaka, dan lain-lain. Perpustakaan seperti masih berada di masa lalu. Pengertian-pengertian baku masih saja menjemukan. Perpustakaan belum tebar pesona, memanggil publik mencipta peristiwa dan membuat album keaksaraan. Tuduhan itu mungkin terbantah oleh pidato-pidato para pejabat dan kebijakan-kebijakan perpustakaan sering menjadi berita di koran, majalah, dan media sosial.
Kita mungkin kangen dengan buku-buku bertema perpustakaan pernah terbit di Indonesia. Sedikit dan repetisi. Buku-buku mungkin bacaan bagi pustakawan atau para peminat masalah perpustakaan. Kita iseng saja menengok sekian buku masa lalu tanpa pamrih mau membuktikan perpustakaan bisa maju, mulia, dan mentereng. Buku-buku itu mengingatkan lakon perpustakaan masa lalu. Pada abad XXI, sekian perubahan telah terjadi gara-gara anggaran, teknologi, rekor, dan lain-lain.
Pada 1978, terbit buku berjudul Mengelola Perpustakaan garapan P Sumardji. Buku sederhana penuh petunjuk tentang tata kerja pengolahan, penyimpanan, dan penyusunan buku. Pada masa 1970-an, buku itu mementingkan masalah kartu katalog. Kita lekas ingat lemari berisi kartu-kartu. Berkunjung ke perpustakaan, kita dianjurkan membekali kemampuan membaca kartu katalog. Di lemari, murid-murid bergantian mencermati kartu demi mencari buku-buku diperlukan. Di kelas, masalah kartu katalog kadang dipelajari tapi belum mampu memberi sihir berbuku atau petualangan bacaan-bacaan.
Sumardji menekuni tema perpustakaan. Pada 1982, buku berjudul Pelayanan Perpustakaan menggenapi Mengelola Perpustakaan. Buku laris, terbukti cetak ulang keenam pada 1995. Penjelasan Sumardji: “Pekerjaan-pekerjaan yang harus dikerjakan dalam melayani peminjaman dan pengembalian buku di perpustakaan merupakan kelanjutan dari pekerjaan-pekerjaan yang telah dikerjakan dalam mengolah/memproses buku dan penyimpanannya di rak, serta penyimpanan kartu-kartu katalognya di almari katalog.” Kalimat bertele-tele tapi mengugah nostalgia perpustakaan. Dulu, mengurusi perpustakaan itu sulit. Segala kerepotan wajib dirampungi agar perpustakaan bermutu. Ilmu dan teknik diperlukan dalam “melestarikan” atau memajukan perpustakaan. Segala penjelasan dalam dua buku itu masa lalu.
Pada masa Orde Baru, perpustakaan termasuk tema besar. Pemerintah membuat pelbagai kebijakan Soeharto mengadakan inpres (instruksi presiden) untuk pengadaan buku-buku di ribuan perpustakaan sekolah di seantero Indonesia. Seminar bertema perpustakaan diadakan di pelbagai kampus. Ajakan-ajakan agar murid atau mahasiswa mengembangkan perpustakaan biasa terucap oleh pejabat, kepala sekolah, guru, dosen, atau rektor. Di desa-desa, propaganda mendirikan perpustakaan melibatkan lurah dan tokoh-tokoh terhormat. Masa lalu itu justru menjadi perpustakaan cuma diksi, gedung, atau slogan. Tahun demi tahun berlalu, kita jarang mendapat kehebohan gara-gara perpustakaan. Keluhan dan ragu sering bertambah. Perpustakaan terbukti sulit maju. Kita masih mungkin mengikuti kegembiraan dari perpustakaan-perpustakaan partikelir dibandingkan ribuan perpustakaan diurusi pemerintah.
Klub Perpustakaan Indonesia menerbitkan buku berjudul Kumpulan Kenangan mengacu acara besar bertema perpustakaan, 17-19 Januari 1985. Buku tak enak dibaca. Sekian tulisan adalah sambutan dari para pejabat. Pendapat-pendapat sama berulang. Ide-ide klise masih saja disampaikan. Kita simak pendapat Sukarman: “Tugas memasyarakatkan perpustakaan inilah yang merupakan tantangan untuk seorang pustakawan. Bila kita dapat melayani pemakai perpustakaan dengan baik, membantu mencarikan data yang akurat, menyediakan sumber-sumber ilmu yang dibutuhkan masyarakat dan buku-buku tidak saja untuk informasi tetapi juga hiburan dan rekreasi, maka apresiasi masyarakat terhadap perpustakaan dan pengelolanya akan datang sendiri.” Kita mudah mengingat kerja-kerja masa Orde Baru memilih diksi “memasyarakatkan”. Kita menduga perpustakaan memang belum moncer atau termiliki publik. Kerja-kerja besar dengan dalil-dalil birokrasi sering diwartakan belum tentun sampai capaian-capaian wajar.
Perintah “memasyarakatkan” sampai ke pondok pesantren, tak cuma di sekolah dan desa. Kemajuan pesantren juga ditentukan kepemilikan dan pengelolaan perpustakaan. Dulu, publik bisa membaca buku berjudul Pedoman Penyelenggaraan Perpustakaan Pesantren (1979) susunan Abu Ivan dan M Amien Mansur. Penjelasan penting: “Sehingga perpustakaan merupakan ‘jantung’ pesantren dan dipakai untuk menilai mutu tidaknya suatu pesantren. Dalam kedudukannya sebagai pengemban martabat pesantren, perpustakaan harus menjalankan semua kegiatan-kegiatan yang sesuai dengan fungsi, program, dan tujuan pesantren tempat bernaung.” Ingat, perpustakaan itu penting atau “jantung”. Di pesantren-pesantren besa dan terkenal, perpustakaan mungkin diwajibkan ada untuk pemenuhan pelbagai misi pendidikan, keagamaan, sosial, seni, teknologi, dan lain-lain.
Bacaan-bacaan dari masa Orde Baru itu agak menebus kangen kita dengan perpustakaan. Kangen berbarengan nasib tak untung ribuan perpustakaan selama wabah. Kita mengerti ada kebijakan-kebijakan baru mengenai perpustakaan meski sering berita atau pameran foto di media sosial. Sekian pihak mengaku melakukan perubahan dengan mengubah sebutan perpustakaan menjadi library. Persaingan meraih rekor pun terjadi. Di pelbagai perpustakaan, perubahan ditandai pembuatan akronim-akronim untuk fasilitas dan tata kelola. Kita kadang bertambah bingung bila turut memikirkan perpustakaan meski laporan-laporan buatan Perpustakaan Nasional sering “berhasil”. Begitu.