Oleh Ahmad Nahrowi
“Saya itu kalau dihina tidak mempan, la yazid wa la yanqus istilahnya, akan tetapi jika yang dihina Habib Luthfi, Gus Dur atau Guru-guru saya lainya maka saya tidak akan tinggal diam”
– Prof. KH Said Aqil Siradj, MA.
Saya masih ingat betul dengan Kata-kata Yai Said diatas saat berkesempatan interview dengan beliau 2018 silam di ndalem Gus Reza. Hal tersebut memang benar, sudah berapa banyak kata-kata kotor, ejekan, fitnah dan segala kalimat yang merujuk pada hate speech (ujaran kebencian) yang diterima Yai Said, namun tak sekalipun Yai Said sakit hati, beliau tak menggubris sama sekali.
Akan tetapi ketika yang dihina itu adalah guru-guru Yai Said, beliau tak akan tinggal diam karena sebagai bentuk Ta’dhim dan cintanya kepada guru, kembali lagi, meskipun sang guru dapat menerima, tapi sebagai murid tidak tinggal diam.
Tak Hanya Kiai Said, Ulama-Kiai Nahdlatul Ulama sejak zaman Hadratusyaikh Hasyim Asy’ari hingga saat ini sudah akrab dengan berbagai cacian, tapi tetap saja beliau-beliau sabar, itulah bentuk kelembutan hati Kiai NU, tidak bersumbu pendek, dan cenderung Toleransi. Kiai NU paham betul akan kaidah fiqih ليس كل خلاف جأ معتبر
“Tidak setiap perbedaan pendapat itu dijadikan perbandingan”,
Maka jarang kita melihat Kiai NU ketika ceramah marah-marah, teriak-teriak provokatif maupun fanatik pada hal tertentu, ngaji dengan Kiai NU kita akan disuguhi nasihat yang ramah bukan Nasihat yang marah, penuh dengan adab bukan berteriak, dan pembawaan yang teduh, bukan gaduh.
Perihal Toleransi sendiri sudah sangat masyhur ditelinga masyarakat, puncaknya dunia mengenal KH Abdurrahman Wahid Ketua PBNU Sekaligus Presiden ke-4 RI sebagai tokoh pluralisme internasional hingga rentetan penghargaan beliau terima, beliau masih salah satu, mayoritas Kiai NU seperti itu, penuh toleransi, ramah, dan teduh.
Lalu apa yang mendasari Kiai NU bersifat seperti itu, akan saya uraikan sebagai berikut;
Sebagai Kiai NU tentu semuanya melalui jalur nyatri di Pesantren, istilahnya Kiai pasti Santri, Santri belum tentu jadi Kiai. Pertama, setelah melalui didikan kasih sayang keluarga, Nah di Pesantren inilah watak kepribadian Kiai NU itu mulai terbentuk. Awal mula nyantri akan mengenyam kitab Sulam Taufiq, kitab karangan Habib Abdullah bin Husain bin Thohir Ba’alawi Al-Hadromi Al-Syafi’i. Kitab yang concern terhadap pembahasan Fiqih-Tasawuf ini bisa dikatakan sangat tegas dalam memberikan hukum.
Ketika santri mempelajari kitab ini, dia merasa seolah semua yang dilakukan orang lain itu salah, dan penuh dengan dosa, ma’lum karena masih tahap belajar dan pemula.
Kedua, setelah Sulam Taufiq, santri akan belajar Kitab Fathul Qorib, Karangan Syekh Muhammad bin Qosim Al-Ghazi, pembahasan dalam kitab ini mengajarkan tentang dasar-dasar Fiqih Syafi’iyah, bisa dikatakan tidak terlalu keras, santri tidak akan mudah menyalahkan orang lain lagi, tapi disisi lain dia akan merasa benar sendiri, tapi tidak sampai berani menyalahkan orang lain.
Sampai disini santri melalui level kedua, level pertengahan, nah untuk mengimbangi belajar fikihnya itu, sang santri juga belajar kitab Ta’lim muta’alimnya Syekh Zarnuji, kitab adab bagi pelajar, supaya tidak menghandalkan akal dan sebagai self reminder, secerdas apapun santri, al adabu tetap fauqol ilmi, adab lebih utama daripada ilmu.
Ketiga, Selesai Fathul Qorib yang dipelajari selama dua tahun tadi, jika masih betah dipesantren santri akan naik ke level berikutnya, yaitu mempelajari kitab Fathul Mu’in, pembahasan kitab karangan Syekh Zainudin Al-Malibari ini cenderung lebih luas, mengambil dari berbagai pendapat Imam Madzhab Syafi’i, bisa dikatakan kitab ini agak fleksibel dari dua kitab sebelumnya.
Nah santri sampai level ini akan sadar betul, bahwa ibadah yang dilakukan orang disekitarnya itu tidak salah, melainkan memakai pendapat imam lainnya, santri tidak akan merasa benar sendiri, apalagi menyalahkan orang lain, disisi lain santri juga mempelajari kitab adab, yaitu Bidayahtul Hidayah nya Imam Ghozali, kitab yang menerangkan adab tingkat tinggi, adab mulai bangun tidur hingga tidur lagi dibahas didalam kitab ini. Maka saban harinya perilaku santri akan sangat hati-hati. Ditambah lagi pada masa ini santri juga musti hafalan Kitab Alfiyah Ibnu Malik, berbentuk Nadzom berjumlah 1002 bait. Maka tak ada waktu bagi santri memikirkan kepribadian orang lain, dia akan sibuk terhadap perilakunya sehari-hari.
Keempat, Kitab Fathul Mu’in tadi dipelajari tiga tahun, jika masih kerasan dipondok, santri akan berlanjut mempelajari kitab Mahalli, kitab Karangan Syekh Jalaluddin Al-Mahalli ini membahas fiqih multi mazhab, tidak hanya Syafi’iyah, maka sampai level ini santri wawasannya benar-benar terbuka lebar, sikap toleransi akan tumbuh dari sini,
Santri akan memaklumi kenapa kelompok lain Shubuhnya tidak memakai doa qunut, adzan sholat Jum’at hanya sekali, sholat taraweh hanya 8 rakaat, Surat Fatihah ketika salat tidak diawali bismillah, dan perkhilafiyahan antar madzah lainya, karena santri tahu betul perkhilafiyahan itu semua ada dasar dan dalilnya, maka sifat santri pada level ini penuh toleransi, tidak mudah marah malah cenderung ramah, tidak suka membuat gaduh, malah teduh, jarang berteriak cenderung bijak. Kitab mahali ini juga dipelajari tiga tahun lamanya.
Kelima, Nah, setelah itu sebelum benar-benar Boyong sang santri akan mengaji kitab masterpiece hujatul islam, Imam Ghozali ya, kitab Ihya’ Ulumuddin, kitab tingkat tinggi membahas segala aspek kehidupan komparasi antara fiqih dan tasawuf, relevan bagi rakyat jelata maupun raja, baik petani sawah maupun pemerintah, baik santri maupun kiai semua dibahas dalam kitab ini. Paling singkat ngaji kitab ini 2 tahun, dan rata-rata 4 tahun, 1 tahun 1 juz.
Nah ketika sudah ngaji kitab Ihya santri akan menilai orang lain dengan kacamata syariat yang fleksibel tetapi menilai diri sendiri dengan syariat yang ketat, hemat saya menilai orang lain dengan berdasar kitab Mahali, tetapi berpribadi dengan pegangan kitab Sulam Taufiq.
Maka sampai muncul adagium dikalangan santri “belum dinamakan santri sejati kalau belum hafal Alfiyah, belum dinamakan Kiai kalau belum ngaji Ihya’Ulumuddin”. Karena dua kitab ini memiliki nilai tersulit dalam pemahaman dan memakan waktu lama.
Kitab-kitab diatas minimal dipelajari dalam waktu 9 tahun, minimal himgga tamat Aliyah, setelah itu santri akan diberi pilihan ngabdi atau boyong (jika diizini kiai tentunya,)
Kalau memilih jalan boyong, meskipun pulang bermodalkan kitab-kitab tebal, Ngajar dipesantren, jadi imam masjid maupun guru di sekolah formal, setibanya dimasyarakat santri tidak langsung dicap kiai apalagi ngaku-ngaku sebagai Ustadz ( kek ustadz sebelah yang lagi ramai itu) Masyarakat yang akan menilai dia layak jadi kiai atau tidak, karena yang dinilai masyarakat bukan sebatas ilmu tapi juga perilaku, istilahnya
لسان الحال أفصح من لسان المقال
“Contoh perilaku lebih ditiru daripada cuma kata-kata.” Satu perilaku lebih membekas daripada seribu ceramah.
Seperti itulah jalan panjang Kiai NU, penuh lika liku dalam pengembaraan ilmunya, merasakan pahit-manis kehidupan selama belajar, maka ketika sudah bermasyarakat begitu arif, tidak mudah marah malah cenderung ramah, tidak suka membuat gaduh, malah teduh, jarang berteriak cenderung bijak.
Dan tentunya tidak mempan dengan hinaan, Kiai NU sadar betul selevel Nabi saja dihina tetap terima malah mendoakannya, apalagi sebagai umatnya.
Wallahu alam.
- Iklan -
-Santri Pon. Pes Lirboyo HM Al-Mahrusiyah, Mahasiswa IAI Tribakti Kediri. Redaktur Pers Elmahrusy