Oleh Bandung Mawardi
Judul: Jawa-Islam di Masa Kolonial: Suluk, Santri, dan Pujangga Jawa
Penulis : Nancy K. Florida
Penerjemah : Nancy K. Florida dan Irfan Afifi
Penerbit : Buku Langgar
Cetak : 2020
Tebal : xvi + 262 halaman
ISBN: 97826239397708
Kita mengingat dulu Nancy K. Florida saat masih muda. Pada suatu hari, ia masih batuk-batuk saat tinggal dan bekerja di Solo. Paru-paru kotor gara-gara debu buku. Ia mengabaikan nasihat dokter, memilih bertemu naskah-naskah kuno. Perempuan itu memilih bekerja dan bertanggung jawab atas nasib ribuan naskah kuno sastra Jawa. Ia pantas dianggap beribadah dengan ikhlas dan gairah tak biasa.
Di majalah Femina edisi 9 Agustus 1983, kita membaca: “Selama dua tahun belakangan ini, Nancy menggumuli naskah-naskah Jawa kuno, menelitinya halaman demi halaman, mencatat, menyusunnya menurut kualifikasinya atau kronologisnya, membuat katalognya, dan merekam naskah-naskah tersebut ke dalam film mikro. Setidaknya sejumlah 4000 judul atau sekitar 700.000 halaman naskah yang ditelitinya.” Puluhan tahun berlalu, artikel-artikel berkaitan ibadah pada masa lalu itu terbaca oleh kita. Telat tapi berhikmah.
- Iklan -
Nancy membantah pendapat-pendapat para filolog kolonial dalam ulasan sastra Jawa. Bantahan mengacu ke bukti ribuan naskah dan lacakan kesejarahan sastra di Jawa, dari abad ke abad. Para filolog memberi warisan penjelasan bahwa sastra Jawa mengalami kelahiran kembali pada akhir abad XVIII. Sastra Jawa Kuno dimunculkan lagi menandai ada tatapan ke silam dan “olahan” di situasi zaman berbeda. Episode itu sering berpijak argumentasi buatan sarjana kolonial bahwa para pujangga dan peminat sastra berpaling dari sastra bergelimang ajaran Islam ke gubahan lama: kekawin bercorak Hindu-Buddha.
Argumentasi meralat anggapan mengecewakan itu dikerjakan Nancy berbekal ribuan naskah. Ia mengajukan Yasadipura I dalam menguak pesona dan pengaruh Islam dalam sastra Jawa. Pujangga tenar mengerjakan Menak Amir Hamzah dalam terang pengaruh Islam. Menak Amir Hamzah mengisahkan para tokoh pada masa Nabi Muhammad dalam heroisme mendakwahkan Islam. Gubahan digemari pembaca di kalangan keraton sampai awal abad XX. Nancy mencatat bahwa Balai Poestaka menerbitkan Serat Menak dari Yasadipura I pada masa 1930-an dengan menghilangkan “propaganda Islam” dianggap berlebihan. Sastra Jawa dan Islam tetap ada di sengketa pemaknaan pelbagai pihak, terbukti pula dari kebijakan penerbit milik pemerintah kolonial.
Kita mengingat iklan besar di majalah Kadjawen, 4 Juli 1941. Balai Poestaka mengumumkan penerbitan baru berjudul Register Serat Menak. Isi iklan: “Katerangan Serat Menak ingkang toelen tilaran Jasadipoeran lan ingkang sampoen ewah-ewahan poenapa malih pamerangipoen Serat Menak; Tjekakan isinipoen Serat Menak; Pratelan nama-nama ingkang kaseboet wonten ini Serat Menak, oeroet a, b, c, dados gampil anggenipoen madosi. Kadjawi poenika nama-nama ing Serat Menak poenika katah ingkang dipoen pendet kangge nama-nama ing djaman sapoenika. Mila pratelan poenika inggih ageng pigoenanipoen, manawi bade njoemerepi oetawi milih nama gampil.”
Buku itu memudahkan bagi orang membaca Serat Menak (25 jilid) diterbitkan sejak 1933 sampai 1937. Kita membuktikan sastra memuat ajaran dan dakwah Islam masih terbaca sampai pertengahan abad XX. Bacaan berpengaruh meski para sarjana masih mewarisi anggapan para sarjana kolonial bahwa sastra agung di Jawa itu berlimpahan dengan corak Hindu-Buddha. Pada masa 1980-an, buku-buku Yasaipura I dicetak ulang dengan terjemahan bahasa Indonesia oleh Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. Iklan dan cetak ulang di masa Orde Baru itu tak masuk dalam ulasan Nancy atau pengantar dikerjakan oleh Irfan Afifi. Kita mengingat bermaksud imbuhan saja.
Ibadah sekian tahun di Solo pada masa 1980-an menghasilkan pendapat mengejutkan dibandingkan warisan studi para filolog kolonial. Nancy mengisahkan: “Yang saya temukan di sana amat lain dari perkiraan saya sebelumnya: yakni dari sekitar 1.450 judul naskah yang tersimpan di perpustakaan keraton, hanya terdapat 17 gubahan klasik dari kekawin ke tembang Jawa modern yang disebut-sebut menandai ‘renaisans’ yang terkemuka itu. Ini hanya mencakup 1 persen koleksi. Berkebalikan dengan 17 naskah itu, terdapat hampir 500 judul yang merupakan ragam kesusastraan Islam, yakni lebih dari sepertiga dari seluruh koleksinya secara utuh.” Kita bisa membandingkan dengan penjelasan Simuh dalam buku berjudul Islam dan Pergumulan Budaya Jawa (2003). Ada dua jalan ditempuhi dalam interaksi sastra setelah pembentukan kesultanan Demak, abad XVI. Sastra Jawa-pesantrenan menjadikan bahasa dan sastra Jawa sebagai wadah memperkenalkan Islam. Sastra Islam-kejawen memuat unsur-unsur sufisme dan budi luhur untuk mengislamkan sastra Jawa zaman Hindu.
Selama beribadah dengan ribuan naskah kuno, Nancy berpikiran pula tentang pemahaman orang Jawa atas adiluhung. “Sungguh teks tulisan tradisional Jawa, ketika dipandang dalam aspek ke-adiluhungan-nya, terperangkap dalam jeratan berlipat,” sejenis sindiran kritis. Tahun demi tahun berlalu, orang-orang Jawa enggan membelai, menghadapi, dan membaca naskah-naskah lama. Kedatangan sarjana asing justru mengambil peran besar atas studi bahasa dan sastra Jawa. Nancy seperti “utusan” untuk warisan besar dari masa lalu. Ia berpendapat: “Sehingga nasib naskah sastra tradisional di masa Jawa kontemporer adalah tetap teronggok di rak-rak buku, sebuah artefak kebudayaan tinggi yang tak terbaca, benda keramat berdebu.” Nancy mengaku mulai belajar huruf Jawa dari buku pelajaran murid SD. Sejak menekuni naskah-naskah Jawa, ia mengaku lebih fasih berbahasa Jawa ketimbang bahasa Indonesia.
Kemampuan itu digunakan untuk mengulas gubahan sastra Yasadipura I, Yasadipura II, Ronggawarsita, dan lain-lain. Di kalangan penekun sastra Jawa, Serat Kala Tidha sering menjadi perbicangan dalam mengagumi mutu estetika dan filsafat Ronggawarsita (1802-1873). Nancy justru mendahulukan mengulas Serat Jayengbaya. Naskah itu diterbitkan lagi dengan imbuhan terjemahan bahasa Indonesia oleh Departemen Pendidikan dan Kebudayaan (1988). Nancy tentu menggunakan edisi beraksara Jawa. Kita menganggap Serat Jayengbaya adalah ensiklopedia pekerjaan di Jawa abad XIX. Nancy berpendapat: “… puisi ini adalah parodi ‘menggigit’ dengan nada banyolan kasar penuh humor.” Kita bisa membuktikan dengan membaca edisi terbitan baru meski tak semenakjubkan dengan pengalaman bila sanggup membaca naskah dalam aksara Jawa.
Ronggawarsita berlatar pendidikan pesantren, mewarisi gairah estetika dari leluhur. Ia menggubah sastra mengandung keislaman. Teks termoncer sering dikutip orang-orang Jawa adalah Serat Kala Tidha. Teks itu sufistik, mengandung ramalan dan kritik. “Meskipun mengenali dan mengakui akhir zaman, puisi ini, bukan hanya sebuah ratapan putus asa atas kekalahan kekuasaan Jawa tradisional, melainkan saya kira puisi ini lebih pelik dan dalam dari itu,” tulis Nancy. Kita mengaku telat menikmati tulisan-tulisan berhikmah dikumpulkan dan diterbitkan dalam edisi bahasa Indonesia, setelah menemukan pembaca di pelbagai negara dalam bahasa Inggris. Begitu.