Cerpen Heru Sang Amurwabumi
Nafisah, kubawakan untukmu sepotong doa dalam sekantong kabut dari sebuah delta di belahan timur tanah Jawa–bersama udaranya yang dingin, juga sisa embun yang memucuk di daun-daun siwalan.1 Semoga kamu bisa menyentuh, lalu menangkap kelindannya tanpa ada yang menguap.
Sebagaimana kabut yang turun di penghujung malam, kehadirannya kerap mengaburkan kerlipan bintang-bintang, memucatkan pendar separuh purnama, dan terkadang juga menelan keperkasaan puncak gunung. Aku lupa, ketika menangkapnya, tidak sempat menatap mereka. Jika tidak salah menerka, tentunya bintang, bulan, dan puncak Penanggungan, gunung yang jika kita lihat dari Pesantrean Siwalan Panji mirip kukusan—panci memasak dari anyaman bambu—pelan-pelan pudar dan tenggelam, seperti jiwaku yang menjadi gulita ketika kehilangan pelita kehidupan. Kamulah pelita itu.
Begitu tebal kabut itu turun bersama rebahnya burung-burung kedasih ke sangkar peraduan. Ia berwarna putih. Teramat putih. Bahkan aku mengira ia adalah salju yang meleleh dari sebuah tempat di ujung bumi, melintasi jarak tempuh jutaan kilometer, menerjang lembah, jurang, lalu menyeberang ribuan mil samudera, hingga terdampar di Siwalan Panji.
- Iklan -
Nafisah yang santun, sangat santun, paling santun. Kutulis kembali kisah kita pada selembar catatan perjalanan hidup yang paling indah, satu malam setelah aku menyelesaikan menulis Al-Tibyan fi al-Nahy‘an Muqatha’ah al-Arham wa al-Aqarib wa al-Ikhwan.2
Kisah kita bukanlah tentang cinta yang selalu diagung-agungkan pemujanya. Bukan rindu yang menjadi benih pemikiran para penyair darah biru. Tetapi kisah tentang sebuah perjuangan hidup. Perjuangan melewati cobaan paling berat ketika aku harus ditinggalkan oleh orang-orang terkasih, yang datang bertubi-tubi tiada henti dalam hidupku.
Mendekatlah Nafisah. Aku bisikkan kisah itu. Untukmu.
Pagi itu, aku baru saja menyelesaikan roan3 ketika Kiai Ya’qub memanggilku ke ndalem-nya.4 Selama berada di pesantrennya, inilah pertama kali aku memasuki tempat tinggal seorang ulama kharismatik. Ulama yang disarankan oleh Kiai Kholil di Bangkalan agar aku menemuinya untuk menimba ilmu lagi setelah bertahun-tahun menjadi murid beliau di Madura. Sebagai santri yang belum lama mondok di Siwalan Panji, tentu aku dihantui perasaan was-was. ‘Barangkali aku telah melakukan kesalahan,’ batinku.
Kulihat Kiai Ya’qub sedang duduk di kursi rotan di ruang tamu ndalem. Wajahnya yang bersih dan memang selalu kelihatan bersih menatapku tanpa berkedip. Aku merasa seperti hendak dihakimi. Entah apa yang telah kuperbuat saat roan tadi. Biasanya seorang santri akan dipanggil ke ndalem untuk bicara empat mata jika ia telah melakukan kesalahan besar.
Ah, tidak selamanya seperti itu. Seorang santri akan dipanggil ke ndalem juga ketika tenaganya dibutuhkan oleh kiai. Terkadang juga akan diajak bepergian ke suatu tempat di luar pesantren. Asa itu yang sedikit menepis ketakutanku.
“Hasyim,” sapa Kiai Ya’qub membuka pembicaraan.
“Singgih,5 Kiai,” jawabku.
“Benarkah kau yang diceritakan Kiai Kholil kepadaku?”
“Ngapunten,6 Kiai. Cerita apa?” Aku balik bertanya.
“Kiai Kholil mengatakan bahwa akan datang seorang anak muda dari Keras. Anak muda yang sangat cakap dalam mempelajari sastra Arab, fiqh dan tasawuf dari beliau,” terang Kiai Ya’qub.
Entah Kiai Ya’qub sekadar menerka saja atau benar-benar telah mengetahui jejakku, sontak pertanyaan itu membuatku terkejut dan tak habis berpikir, ‘Bagaimana mungkin Kiai Ya’qub bisa tahu kalau aku pernah mondok di pesantren Kiai Kholil?’ Sedangkan beliau berdua tidak pernah bertemu semenjak aku tinggal di Siwalan Paji. Dari sekian tamu yang datang ke ndalem selama ini, sepertinya tidak ada sosok Kiai Kholil.
“Duh, Kiai. Saya masih jauh dari pantas untuk menerima sebutan seperti yang kiai ucapkan itu,” sanggahku dengan menekuk wajah dalam-dalam. Kali ini aku tidak berani menatap wajah Kiai Ya’qub.
Kiai Ya’qub tertawa kecil, “Hasyim … Hasyim,” gumamnya, “Tak salah rupanya Kiai Kholil memilihmu sebagai santri kinasih. Postur badanmu tegak, dahimu luas. Menandakan betapa luas ilmu yang telah dan akan kau pelajari kelak.”
Belum sempat aku menyanggah kembali, Kiai Ya’qub sudah terlebih dahulu berucap sedikit keras, “Nafisah!”
“Saya, Kiai.”
“Ambilkan aku air minum!” perintah Kiai Ya’qub.
“Nggih,” sahut suara perempuan dari dalam.
“Biar kuambilkan saja, Kiai,” seruku nyaris bersamaan dengan jawaban pemilik suara perempuan itu.
Ketika aku hendak melangkah menuju dapur, sosok pemilik suara perempuan yang dari tadi hanya terdengar berasal dari belakang ruang tamu muncul. Rupanya kaulah yang dipanggil Kiai Ya’qub dengan nama Nafisah. Itulah pertama kali aku mengetahui namamu.
Buru-buru aku menundukkan kepala, menjaga pandangan dari sesuatu yang memang bukan muhrim. Belum saatnya aku boleh memandangmu berlama-lama.
“Hasyim, bagaimana kabar Pesantren Keras?”
Kembali aku tercengang. Aku mulai sadar bahwa Kiai Ya’qub memiliki karomah luar biasa. Seorang kiai yang sidik paningal. ‘Dari mana pengasuh pesantren itu tahu nama pesantren yang didirikan ayahku? Jangan-jangan kiai juga tahu bahwa perasaanku sedang tak menentu. Digerayangi berbagai macam ketidakpercayaan atas kejadian yang sedang aku alami?’
Dengan gugup aku menjawab, “Alhamdulillah, semua yang ada di Keras dalam keadaan sehat walafiat, Kiai.”
“Syukurlah, Hasyim.”
“Ngapunten, Kiai. Kesalahan apa yang telah saya perbuat, hingga kiai memanggil santri tak tahu diri ini ke ndalem?”
“Kau tidak melakukan kesalahan, Hasyim. Aku hanya sekadar ingin bicara dan melihatmu lebih dekat. Sekalian menanyakan kabar Pesantren Keras sepeninggal Kiai Asy’ari, Allahu Yarhamuhu.”7
Jawaban Kiai Ya’qub seperti tetesan air hujan di tengah musim kemarau panjang yang sedang melanda Siwalan Panji lebih dari enam bulan. Terdengar sejuk, dingin di telingaku. Lantas tetesannya masuk ke dalam kerongkongan, mengalir turun ke rongga dada dan menghapus perasaan was-was yang sejak tadi meletup-letup di hatiku.
Tahukah kau, Nafisah? Pertemuan kita di ndalem Kiai Ya’qub itu justru membuat aku jatuh sakit. Malam-malam setelah pertemuan itu, tubuhku menggigil. Suhu badanku naik turun tak karuan. Segala obat yang diberikan para asatidz8 di pesantren telah kuminum, tetapi sosokmu yang santun tetap saja meliar di kepalaku setiap malam hingga fajar. Anehnya, sakit itu selalu reda dengan sendirinya manakala keesokan hari aku melihatmu dari kejauhan sedang menyapu serambi ndalem Kiai Ya’qub.
Setiap malam sakit itu selalu datang. Hingga suatu malam pada puncak menggigilnya tubuh, aku tertidur. Dalam tidur itu aku bermimpi bertemu ibuku, Nyai Halimah. Menurut ibu, obat dan penyebab sakitku adalah sesuatu yang sama.
Berhari-hari aku mencoba menafsirkan mimpi itu. Tetapi tak kunjung bisa memecahkannya. Barulah pada suatu malam selepas menyelesaikan qiyamullail,9 ketika Kiai Ya’qub memanggilku untuk kesekian kali ke ndalem-nya, aku bisa menemukan jawaban dari pesan ibuku.
Seperti malam-malam sebelumnya, malam itu tubuhku masih saja menggigil sebab demam yang tak kunjung hilang. Kiai Ya’qub sudah menunggu bersamamu. Aku merunduk mengucapkan salam sebelum memasuki ruang tamu ndalem. Entah bintang apa yang sedang jatuh menimpaku, tanpa berbelit-belit Kiai Ya’qub memintaku agar mau menjadi menantunya. Iya, menjadi istrimu, Nafisah.
Pantang bagi seorang santri menolak kehendak kiainya. Apalagi diminta menikahi anak perempuan Kiai Ya’qub, sebuah berkah yang tak pernah terbayangkan seumur hidupku.
Ingatkah kau, Nafisah? dua bulan setelah pernikahan itu, Kiai Ya’qub mengajak kita berdua menyempurnakan rukun islam. Sembari membawa buah cinta yang telah kusemai di rahimmu, kaki kita berhasil menapaki tanah suci.
Tujuh bulan kemudian, janin yang kau bawa dari Siwalan Panji mulai menggeliat di kota kelahiran Rasul. Tetapi rupanya takdir berkata lain. Kau lebih dulu pulang ke hadapan Illahi, meninggalkan ayahmu, aku dan bayi yang baru saja kau lahirkan. Jangan kau tanyakan, Nafisah, seberapa besar aku dan Kiai Ya’qub merasa kehilanganmu?
Rupanya bukan aku saja yang merasa kehilangan atas kepergianmu. Abdullah bin Hasyim, bayi kecil yang telah kau lahirkan dengan mengorbankan nyawa, tak tega membiarkan ibunya sendirian di Taman Barzah. Empat puluh malam kemudian, ia menyusulmu. Untuk kedua kalinya, Allah kembali menurunkan ujian maha berat kepadaku.
Nafisah yang telah lelap, sangat lelap. Hari ini aku membawa sepotong doa dari tempat yang menjadi saksi pertemuan kita. Doa yang kubaca setiap bakda subuh, ketika aku membuka jendela kamar yang pernah kamu tempati selama bertahun-tahun. Aku sengaja menyimpan doa itu ke dalam kantong-kantong plastik, agar kau bisa melihat dan mendengarnya di sini. Sebab aku ingat, setiap bakda subuh, kau selalu merdu melantunkan doa-doa. Iya, melantunkan dari sebuah bilik di ndalem Kiai Ya’qub.
Nafisah, kujenguk kau di tanah suci Mekkah ini, sambil kukirimkan sepotong doa yang melangit bersama kisah tentang cinta kita. Kisah yang bermula dari sebuah tempat bersejarah dalam hidupmu. Tempat paling indah di tanah Jawa: Pesantren Siwalan Panji.
Muhammad Hasyim bin Asy’ari bin Abdul Wahid. (*)
*Heru Sang Amurwabumi, Menulis cerpen dan puisi. Pendiri Komunitas Pegiat Literasi Nganjuk dan Sekolah Menulis Nganjuk, Ketua Umum Komunitas Menulis One Day One Post. Cerpen-cerpennya telah dimuat di media massa dan pernah memenangi berbagai sayembara menulis tingkat nasional. Tahun 2019 terpilih sebagai emerging writer di Ubud Writers & Readers Festival.
Catatan kaki:
- Pohon Tal, sejenis tumbuhan palma, nama ilmiahnya borassus flabellifer.
- Salah satu kitab karya Hadratusyaikh K.H. Hasyim Asy’ari, pendiri Nahdlatul Ulama.
- Kegiatan rutin kerja bhakti di pesantren.
- Rumah tempat tinggal kiai pengasuh pesantren.
- Bahasa Jawa, artinya iya, kependekan dari kasinggihan, bisa dipendekkan lagi menjadi nggih.
- Bahasa Jawa, artinya maaf.
- Bahasa Arab, artinya yang (semoga) disayangi Allah.
- Pengajar dan pengurus laki-laki di pesantren.
- Mengisi waktu malam dengan kegiatan beribadah.