Oleh Hamidulloh Ibda
Pertanyaan ini cocok untuk saya pribadi. Meski saya masih ingat kata Nadiem Makarim bahwa dosen-dosen di Indonesia harus mengubah paradigma, dari dosen menggurui dan dosen sekadar ceramah menjadi dosen penggerak. Ya, baik-baik saja jika serius ingin menggerakkan dosen sebagai salah satu penentu arah pendidikan kita.
Namun perubahan itu yang paling penting dari “perubahan cara berpikir” mengarah pada perubahan paradigma. Tanpa perubahan paradigma dari “dosen nyaman dan mapan” menuju dosen pergerakan maka akan sama saja. Sebab, perubahan besar sangat ditentukan dan dimulai dari perubahan paradigma itu sendiri.
Paradigma Dosen Penggerak
- Iklan -
Selama ini, menjadi dosen memang menjadi idaman. Ya, saya pernah membuat konten video di Youtube “Apakah Kuliah S2 Harus Jadi Dosen?” sebuah pertanyaan reflektif yang saya lontarkan kepada diri saya pribadi. Kembali pada dosen penggerak yang muaranya pada output maupun outcome yang intinya ada pada tataran hasil.
Menurut Nadiem sendiri, paradigma dosen penggerak intinya dosen yang memfasilitasi mahasiswa, dia akan lebih banyak belajar dan menanyakan pertanyaan dari mahasiswanya daripada dia memberikan ceramah mengenai ilmunya.
Paradigma dosen penggerak itu merupakan turunan dari konsep SDM unggul yang menjadi cita-cita Presiden Joko Widodo. Selain dosen penggerak, untuk menuju SDM unggul juga dibutuhkan merdeka belajar. Merdeka belajar adalah siswa dan mahasiswa diberikan kemerdekaan sesuai kepentingannya, sesuai ketertarikannya. Hal ini sudah saya lakukan meski belum paripurna.
Dosen penggerak ketika melihat anaknya memiliki kapabilitas melampauinya, dia merasa bangga bukan terancam. Hal ini pun sudah saya lakukan. Dosen penggerak akan mencari ilmu baru secara otomatis dan akan mencari orang-orang lain untuk meningkatkan pembelajaran kelasnya. Dosen penggerak akan mengerjakan berbagai macam proyek di luar tapi melibatkan mahasiswanya agar mereka mendapat pengalaman yang berbeda. Hal ini juga sudah saya praktikkan.
Program Merdeka Belajar-Kampus Merdeka
Tidak dapat dilarikan dari induknya, bahwa kebijakan “Merdeka Belajar Kampus Merdeka” (MBKM) yang dicanangkan Mendikbud itu salah satu turunannya adalah dosen penggerak. Pada November 2020 ini, Kemdikbud lewat Direktorat Sumber Daya, Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi akan mengadakan Sosialiasi Dosen Penggerak Program Merdeka Belajar, Kampus Merdeka. Sosialisasi ini diperuntukkan bagi dosen sebagai penggerak dan pendamping mahasiswa yang akan mengikuti kegiatan pada 8 (delapan) aktivitas di luar kampus.
Dari program itu, sebenarnya kita dapat melihat delapan konsep MBKM yang dapat dilakukan oleh para dosen penggerak meski mereka tak berkesempatan mengikuti pendadaran di Kemdikbud itu. Sebab, kegiatan itu hanya terbatas pada PT yang bernaung di LLDIKTI. Lalu kampus di bawah kementerian lain bagaimana? Lah mbuh!
Di antara persyaratan peserta itu mulai dari pertama, dosen tetap, dan memperoleh persetujuan dari pimpinan perguruan tinggi/ketua lembaga. Kedua, memiliki mahasiswa bimbingan yang telah melaksanakan salah satu dari 8 (delapan) area kegiatan Merdeka Belajar, Kampus Merdeka. Ketiga, mengisi dan menyampaikan form kesediaan kepada panitia. Keempat, dosen dari berbagai disiplin ilmu, dan pernah menjadi pembimbing dan pendamping bagi mahasiswa yang melaksanakan kegiatan mempunyai kegiatan kesesuaian / kemiripan dengan program Merdeka Belajar Kampus Merdeka dalam kurun waktu 5 (lima) tahun terakhir, atau 6 (enam) bulan di luar kampus yang melibatkan mahasiswa.
Kelima, dalam mengikuti kegiatan, dosen tidak mengatasnamakan individu tetapi mengatasnamakan institusi di mana dia bekerja. Keenam, peserta bersedia mengikuti kegiatan pelatihan secara penuh untuk memperoleh sertifikat. Beberapa syarat itu tentu tidak dapat dilakukan “dosen-dosen pinggiran” seperti saya ini. Lalu bagaimana dengan misi dosen penggerak yang dapat dilakukan tanpa harus “nebeng” pemerintah?
Saya melihat, dalam materi itu ada delapan program dari Merdeka Belajar, Kampus Merdeka (MBK). Pertama adalah magang/praktik industri. Kedua, asistensi di satuan pendidikan. Ketiga, wirausaha. Keempat, pertukaran mahasiswa. Kelima, hilirisasi riset dalam program MBKM. Keenam, proyek di desa. Ketujuh, studi / proyek independen. Kedelapan, proyek kemanusiaan.
Sebagai pelaku teknis di bawah, saya sudah melakukan beberapa konsep di atas. Salah satunya nomor lima yaitu pada hilirisasi riset. Riset itu tidak hanya yang mendapat bantuan PKM dari pemerintah, namun dapat dilakukan mandiri.
Empat Jenis Karya Mahasiswa
Beberapa hal yang sudah saya lakukan mengarah kepada empat jenis karya. Pertama, karya tulis jurnalistik. Di beberapa mata kuliah seperti Bahasa Indonesia Dasar, Bahasa Indonesia Lanjutan, Karya Tulis Ilmiah, Pengembangan Karya Tulis MI/SD, Pembelajaran Literasi MI/SD, Pembelajaran Sastra Anak, saya sering memberikan tugas menulis berita sebagai bentuk karya tulis jurnalistik.
Kedua, karya tulis ilmiah. Pada karya ini, saya mewajibkan mereka pada luaran berupa artikel – esai populer yang wajib dimuat di media massa, artikel ilmiah yang wajib disubmit di jurnal ilmiah, menulis resensi ilmiah, dan lainnya. Selain itu, mereka juga saya arahkan dan sudah terlaksana dengan menerbitkan buku-buku hasil artikel-esai populer tersebut. Artinya, praktik baik ini sudah mengarah pada satu program MBKM di atas.
Ketiga, karya sastra. Pada mata kuliah di atas, saya mewajibkan mereka menulis puisi dan puisi anak, cerpen dan cerpen anak, cergam, yang muaranya pada antologi puisi dan antologi puisi anak, antologi cerpen dan antologi cerpen anak, cergam, dan lainnya.
Keempat, karya digital berupa desain, meme, dan juga video yang wajib diunggah di Youtube sebagai diseminasi materi perkuliahan. Dengan model keempat karya di atas, sebenarnya apa yang saya lakukan ternyata mengarah kepada “dosen penggerak literasi” yang sudah saya tulis di media massa. Opini itu mengajak pembaca untuk memaknai lebih dalam bahwa dosen penggerak salah satunya adalah menjadi penggerak literasi.
Selain karya jurnalistik, ilmiah, sastra, ada karya digital yang selama ini baru disadari sebagai hal penting dalam dunia pendidikan. Untuk itulah, konsep dosen penggerak literasi ini menjadi bagian penting sebagai praktik baik yang saya lakukan.
Minimal, kita sudah melakukannya, sedangkan pemerintah baru melakukan sosialiasi. Lalu, siapa yang aslinya sudah bergerak?