Oleh Ridwan Firmansyah
Tantangan terbesar santri di era milenial adalah menangkal informasi hoaks yang beredar luas di dunia maya. Keterbukaan di media sosial membuat semua orang bisa berbuat sesuka hati dan tanpa ada sekat sedikitpun, mereka bisa sesuka hatinya berkomentar tidak relevan dan tanpa ada dasar yang pasti.
Sayangnya kebebasan dalam bermedia tidak diimbangi dengan sesuatu yang positif dan hoaks pun akan merajalela¸ karena ruang dalam media sangat liar. Banyak berita yang tidak bertanggung jawab, lebih parahnya dishare di khalayak ramai. Isu yang berkembang seringkali menyinggung pelecehan, penistaan agama, dan fitnah kepada yang lan.
Menurut Direktur NU Online, Savic Ali, hoaks seperti itu bisa memicu sentimen yang menguat antarakelompok dan bisa membahayakan hubungan antarumat beragama, atau antarwarga sebangsa. Efek yang dapat ditimbulkan yaitu keresahan. Jika ini dibiarkan mengunung yang akan terjadi yaitu perpecahan di NKRI ini. Indonesia yang diperjuangkan dengan nyawa tanpa pamrih akan hilang dengan sia-sia.
- Iklan -
Jika diidentifikasi, ada tiga kelompok yang berada di balik hoaks yang beredar. Pertama, kelompok yang punya kepentingan politik, yang punya agenda tertentu. Kedua, kelompok yang kepentingannya lebih ideologis. Misalnya di Timur Tengah itu campuran politik dan ideologis. Misalnya hoaks yang terkait pembantaian berlatar belakang agama. Ketiga, kelompok yang kepentingannya pragmatis. Urusannya cuma ekonomi, nyari duit saja, lewat online, clickbait, dan seterusnya. Jadi tidak tunggal siapa yang melakukan.
Dalam menangulangi itu semua santripun ikut serta dalam arus milenial tersebut, ada Santri Facebookiah, Instagramiyah, Twiteriyah, WAiyah dan yang lain-lain. Namun semua akun tersebut digunakan untuk dakwah bukan untuk ajang merendahkan martabat orang lain yang menggundang fitnah dan kerusakan sanggat besar.
Bagaimana cara santri membetenginya? Ya ikut andil di dalamnya dengan membawa nilai-nilai pribadi santri yang dibentuk sejak dulu pesantren dibuat.
Nilai-Nilai Pribadi Santri
Berita hoaks yang beredar di hari ini sanggatlah membuat negara ini semangkin runtuh. Butuh kesadaran beragama yang sangat besar agar dalam bermedia memilki sikap yang bijak dalam menggunakannya. Santrilah yang menjadi benteng dalam penanganan hoaks di negeri ini yang perlu dicontoh. Karena dari dulu sejak berdiri dalam pesantren sudah terdapat nilai-nilai pembelajaran anti hoaks. Nilai-nilai tersebut antara lain:
Pertama, pembelajaran di pondok menggunakan metode ilmiah, kitap kuning merupakan sebagai rujukan pertama di pondok pesantren. Kitap kuning merupakan kitap yang sudah mengakar dari pondok pesantren didirikan dan semua yang di dalamnya dapat di pertanggung jawabkan. Kitap kuning juga sebagai pembentuk karakter ssantri dan kiai dengan kata lain kitap sudah merubah keadaaan ilmiah di pondok pesantren.
Pengambilan sumber atau rujukan yang jelas serahrusnya sudah bisa mengimpirasi para pengguna media social. Berita yang kita shere seharunya diambil dari link atau sumber yang terpecaya, jangan tinggal ambil tempel atau sering disebut copy paste. Apa lagi berita yang berbau pornografi dan sara ini akan menimbulkan fitnah yang lebih parah jika tidak di ambil dari sumber-sumber yang terpercaya.
Kedua, dalam pesantren terdapat nilai tawadu’ atau menghargai pendapat dari seniornya, dalam pesantren pelajaran ini sanggat di prioritaskan karena ini bekal mendapat ridho dari kiyai. Para santri sudah sanggat terbiasa dengan menghargai pendapat orang lain, tuturkata dan tingkah laku harus ber hati-hati agar tidak sedikitpun melukai hati orang-orang.
Nilai ini sanggat bagus jika di implemtasikan dalm bermedia sosial. Sepriti halnya dulu saaat Gus Mus atau KH. Mustofa Bisri menjabat sebagai Rais ’Am PBNU yang dulu dihina oleh seorang pemuda di media sosial yang tidak dapat menahan dirinya. Itu baru perseorangan jika itu meyangkut ras, agama atau oraganisasi apakah negara ini tidak akan hancur ?
Ketiga, keilmuan dalam pesantren itu bernasab atau berantai dari guru yang satu keguru yang lain dari pondok yang satu dengan pondok yang lain. Pondok pesantren berpegangan bahwa ilmu apapun terutama ilmu agama yang diajarkan kepada santrinya akan dipertanggung jawabkan di akhir kelak. Jika jelas dari siapa gurunya maka kita dapat memperdalam ilmunya. Kita bisa mencari pondok yang saling berhubungan.
Nilai ini seharusnya dapat diterapakan oleh kita dalam bermedia sosial. Ketika kita mendapatkan informasi atau isu-isu yang panas kita dapat kita bisa tahu siapa yang menyebarkanya dan apak mreka bisa mempertanggung jawabkanya atas semua berita yang di sebarkanya. Dengan ini kita tidak akan terprovokasi menyebarkan berita tersebut karena besar tanggung jawab atas menyebarkannya. Sebelum dishare kita dapat menyaring berita tersebut sudahkan valid atau hoaks.
Keempat, dalam keadaan apapun budaya yang tak tertingal di pondok pesantren yaitu tabayun, batsumasail, mutola’ah. Para santri maupun para kiyai sering beridalog, berdiskusi tentang masalah yang berlum terselesaikan agar bisa segera terselesaikan dengan tanpa ada permusuhan.sehingga maslah dapat digali dengan sedalam dalamnya. Budaya ini tidak hanya uantuk sekadar ajang menyelesaikan masalah tetapi juga sebgai ajang silaturahmi atar sesama umat muslim.
Nilai ini seharusnya kita terapkan dalam dunia maya, kita tidak hanya mondar-madir kluar masuk tetapi media sosial juga sebagai sarana kita sering dan Tanya kepada pakar-pakar yang terpercaya agar isu –isu atau berita yang kita dapat tidak salah tangkap.
Keempat inai di atas merupakan inspirasi bagi para pengguna media sosial agar tidak terbawa degan berita hoaks yang beredar dengan bebasnya di dunia maya saat ini. Jika nilai-nlai di atas bisa di masukan dalam adap bermedia alangakah damainya negara ini tanpa hoaks.
Segala persoalan bisa kita atasi tanpa harus mengecangkan otot beradu kepal tangan. Seperti pepatah jawa “Ana Catur Mungkur” ada mulut pertentangan, percecokan sebisa mungkin untuk dihindari agar senantiasa menyelesaikan masalah secara bijak. Yakni menyelesaikan masalah tidak harus dengan beradu mulut apalagi beradu kepan tangan karena dapat menyebapkan kerusakan negara ini.
-Penulis adalah Mahasiswa PAI STAINU Temanggung