Oleh Hamidulloh Ibda
Ada adagium menarik yang perlu dibaca lebih mendalam lagi; Non schole, sed vitae discimus. Jika diartikan, bahasa Latin ini bermakna “kita belajar bukan untuk sekolah melainkan untuk hidup”.
Adagium ini diungkapkan filsuf dan pujangga Romawi, Seneca. Dalam buku Epistulae Morales ad Lucilium yang memuat adagium itu, Seneca melontarkan kritiknya pada sekolah-sekolah filsafat dalam masa hidupnya. Ia berusaha keras melontarkan kritik itu sebagai langkah mendekonstruksi beberapa aspek-aspek yang kala itu masih tabu, yaitu tentang belajar, sekolah formal dan kehidupan.
Saya kira, idiom-idiom tersebut hari ini masih tabu. Bahkan, super tabu. Jika ditarik benang merahnya pada realitas hari ini, banyak kaum terdidik kehilangan orientasi. Hidupnya untuk sekolah, bukan untuk belajar. Lebih kerdil lagi, sekolahnya bukan untuk belajar, untuk hidup, namun didangkalkan mencari gelar dan ijazah. Apakah yang benar demikian? Inilah bentuk ketabuan paling paripurna.
- Iklan -
Karel A Steenbrink dalam bukunya Pesantren, Madrasah, Sekolah: Pendidikan Islam dalam Kurun Moderen (1986) menegaskan ada corak berbeda antara pesantren, madrasah dan sekolah di Indonesia. Dalam konteks ini, saya tidak memperdebatkan ketiga lembaga pendidikan itu. Hanya saja, menegaskan kembali bahwa belajar bukanlah sekolah. Lebih tepatnya, belajar dan sekolah itu berbeda, sekolah dan belajar juga berbeda. Jika diperjelas, sekolah, mondok, berbeda dengan belajar.
Ilmu Madrasah dan Ilmu Hayah
Ketika sudah mengetahui perbedaan antara belajar dan sekolah, belajar dengan mondok, perlu dipertegas kembali makna dan hakikatnya. Belajar itu bisa di mana saja, kapan saja, dengan siapa saja.
Berbeda dengan sekolah yang harus ada kurikulum, metode pembelajaran, buku, bangku, gedung, dan aturan-aturan. Pendidikan persekolahan inilah yang hari ini “diagungkan”. Bahkan kalau orang belum bergelar, belum dianggap atau legal sebagai orang terpelajar-terdidik.
Paradigma inilah yang saya anggap sebagai penyempitan makna dan hakikat belajar. Padahal di artikel-artikel sebelumnya, saya tegas menulis “hakikat belajar itu bukan meraup ilmu sebanyaknya, bukan pula menderet gelar setingginya. Namun hakikat belajar adalah menata cara berpikir dan mengubah perilaku”. Begitu.
Maka dalam konteks ini, antara belajar, pendidikan, sekolah, madrasah, pesantren atau kuliah dengan kehidupan tidak saya dikotomikan. Namun saya bagi ke dalam dua hal: yaitu “ilmu madrasah” dan “ilmu hayah”.
Ilmu madrasah adalah ilmu persekolahan, formal di lembaga pendidikan. Intinya, semua ilmu yang didapat dari bangku pendidikan formal bahkan informal dan nonformal.
Sedangkan ilmu hayah atau hayat adalah ilmu yang didapat dari kehidupan. Kalau dalam Islam atau Ulumul Quran ada terminologi ayat “qauliyah” dan “kauniyah”.
Orang-orang terdidik atau yang belajar di pendidikan persekolah atau madrasah, cenderung mengutamakan formalisme. Ia butuh buku, teori, konsep, aturan dan kurikulum. Sedangkan belajar tentang kehidupan tak perlu itu semua. Sebab inti belajar tentang kehidupan bermakna lebih luas dan fleksibel didapat dari mana saja.
Kita melihat orang mencium tangan kiai, itu belajar takzim, tata krama, sopan santun dan metode menghormati orang tua, orang alim dan terhormat. Tak perlu kurikulum dan panduan. Asalkan kita dapat meniru dan mengambil hikmah, sudah jelas itu kategori ilmu hayah.
Berbeda dengan ilmu madrasah. Kita harus berpatron pada teori, konsep, dan aturan-aturan sains. Maka ketika mau menilai sesuatu, melakukan sesuatu harus berdasar pada ontologi dan epistemologi.
Nah masalahnya, kedua kaum ini jarang bisa ngopi (duduk bersama). Yang sekolah menilai yang tidak sekolah itu bodoh, pseudo ilmiah, terbelakang, bahkan primitif. Sedangkan yang belajar ilmu hayah menilai kaum saintifik tidak dapat hidup sesuai ilmu hidup bahkan mereka dinilai “mengangkangi realitas” karena apa-apa harus ada teori ilmiahnya.
Dalam tulisan ini saya mencoba ingin mendudukkan keduanya. Kaum terdidik harusnya belajar pada kaum yang memang menjalankan hidup dari hidupnya itu. Maksudnya, orang yang belajar ilmu madrasah harus belajar dari kaum ilmu hayah. Begitu pula sebaliknya. Yang belajar ilmu hayah harus juga belajar pada kaum terdidik dari sekolah.
Jika sama-sama egois dan alasan otoritas keilmuwan, maka akan terlalu mendewakan akal. Jika terlalu berpatron pada kehidupan, maka fungsi akal yang digunakan dalam wilayah intelektual, emosional dan spiritual juga akan nirmanfaat.
Dalam kitab Adab al ‘Alim wa al-Muta’alim, Hadratussyeikh KH Hasyim Asyari, memberi pesan bagi murid, atau saya menyebut ini bisa untuk manusia, dalam hidup harus mempelajari empat jenis ilmu.
Pertama ilmu tauhid. Tujuannya agar manusia memiliki Tuhan, atau mengerti ketuhanan, uluhuyah, imanensi bukan sekadar transendensi.
Kedua, ilmu yang mempelajari tentang sifat-sifat Allah beserta dalilnya. Ya, minimal belajar tentang aqaid 50 (seket) atau mempelajari kitab Aqidatul Awam, Nadham Kharidah al-Bahiyyah, Tuhfatul Murid Syarh Jauharah at-Tauhid, al-Iqtishad fi al-I’tiqad, Kifayatul ‘Awam, dan lainnya.
Ketiga, ilmu fikih. Agar paham hukum, aturan. Karena hidup ini minimal harus tahu tata cara bersuci bahkan sampai urusan pipis juga diatur dalam fikih.
Keempat, ilmu tasawuf. Tujuannya agar memahami hakikat, makam (kelas), metafisika, dan dapat bermesraan dengan Tuhan.
Dalam Serat Wulangreh yang merupakan karya sastra berupa tembang macapat karya Sri Susuhunan Pakubuwana IV, Raja Surakarta, dijelaskan pesan enigmatis. Bunyinya ngelmu iku kalakone kanthi laku, lekase lawan kas, tegese kas nyantosani, setya budya pangekese durangkara. Maknanya “ilmu itu bisa dipahami/ dikuasai harus dengan cara, cara pencapaiannya dengan cara kas, artinya kas berusaha keras memperkokoh karakter, kokohnya budi (karakter) akan menjauhkan diri dari watak angkara.”
Pesan dari serat itu jelas bahwa “ilmu itu terlaksana dengan laku”. Kalau saya tafsirkan, ilmu teoretis harus dipraktikkan. Sedangkan praktik-laku, perlu diteorikan. Maka keduanya akan dapat berkolaborasi.
Tanpa kolaborasi, selamanya pelaku ilmu madrasah dan ilmu hayah akan konflik. Pertanyaannya, Anda belajar itu untuk sekolah apa untuk hidup?
-Penulis adalah Koordinator Gerakan Literasi Ma’arif (GLM) LP Ma’arif PWNU Jawa Tengah.