Buku: Yang Maha Sakarepe Yang Maha Entengan
Penulis: Edi Ah Iyubenu
Penerbit: DIVA Press
Tebit: Juni, 2020
ISBN: 978-602-391-987-1
Peresensi: Moh. Rofqil Bazikh
Hakikatnya manusia memang selalu berintraksi dengan Tuhan. Seluruh manusia tidak mempunyai kekuatan yang berasal dan murni dari dirinya. Tetapi selalu ada sebuah andil dari Tuhan. Dalam islam tentu ini bisa disebut sebagai kehendak Allah untuk mengatur dan menggerakan semua makhluk. Allah yang berhak menterjadikan seluruh apa-apa yang memang dikehendaki. Sebab seluruh dalil(baik akli maupun naqli) sudah jelas, betapa Allah memiliki seluruh karunia. Sebut saja Umar bin Khattab yang dari awal memusuhi Rasulullah lalu beralih menjadi pembelanya. Ini tentu sukar untuk diterima akal sehat, tetapi bukannya Allah mempunyai kekuasaan mutlak?
Lain dari itu, di sisi manusia sendiri terdapat sebuah perasangka. Manusia memiliki semacam fitur yang lunak bernama hati. Hati memang adalah perangkat lunak, maka tidak heran jika berubah-rubah sesuai dengan apa yang menimpanya. Manusia yang memiliki hasrat untuk mecapai sesuatu akan merasa sakit dan kecewa hatinya bila hal tersebut tidak tercapai. Ini jelas adalah sebuah bukti bahwa hati memang betul-betul lunak. Ia akan berubah kapan pun dan dimanapun, sesuai dengan apa-apa yang sedang terjadi.
Dari sebuah perasangka tersebut kemudian muncul dua kemungkinan. Pertama, mencoba berpikiran positif dan tidak negatif. Kedua, baik sengaja atau tidak, selalu berpikir negatif. Tetapi sepertinya hal yang terakhir lebih mendominasi, apalagi jika realitas yang menimpa seseorang tidak sesuai dengan apa yang melekat dalam ekspektasinya. Sesungguhnya hal demikian adalah bersifat manusiawi belaka. Hasrat selalu didorong oleh pikiran dan sebuah pengharapan yang over. Maka sebesar ia mengharap, sebesar itu pula kekecewaan akan hinggap.
- Iklan -
Kembali kepada pembuka di atas, bahwa seluruh kejadian adalah campur tangan Allah. Selain memang sebagai manusia mempunyai ikhtiar yang semampunya. Selebihnya berserah diri kepada Allah sebagai penentu terakhir. Tetapi di titik berserah diri kepada-Nya, tidak sedikit manusia yang gagal. Mayoritas adalah beranggapan bahwa seharusnya Allah menterjadikan apa yang sudah diikhtiarkan. Ini kekeliruan yang tidak disadari banyak manusia, Allah yang bersifat Maha Kuasa seolah-olah dibatasi oleh hal yang bersifat nir-kuasa.
Akal sehat mana yang mungkin menerima jika pemberian Allah justru seolah dikat oleh ikhtiar. Semisal Allah memberikan rezeki yang tidak sesuai dengan yang diminta oleh hambanya dalam setiap solat, dalam setiap dhuha, dan sebagainya. Tetapi sekali lagi, bukannya ibadah-badah tersebut adalah hal yang tidak mempunyai kekuasan. Apalagi kekuasaan untuk mengatur-atur Allah yang begitu mutlak kekuasannya. Kalau dalam bahsanya Gus Mus “Allah Tuhan yang Maha Semau Gue”. Maka dalam taraf berserah ini, memang tidak sedikit yang gagal.
Ketika Allah memfirmankan bahwa siapa yang bersedekah akan dibalas dengan berkali-kali lipat bahkan tak terbatas . tetapi di ayat yang lain Allah memfirmankan bahwa Ia akan meluaskan dan menyempitkan rezeki hamba-hamba-Nya(termasuk ahli sedekah tadi). Inilah yang disebut penulis sebagai Maha Sakarepe Allah di atas muka bumi(hal.36). Kekuasan mutlak, semutlak-mutlaknya Allah atas apa yang akan diterjadikan.
Penulis juga memberikan sebuah contoh relevan dengan keadaan sekarang. Semua orang dalam hari ini justru tunduk pada sesuatu yang tidak diketahui bentuknya. Orang-orang pintar, negara yang maju laur biasa justru terseok-seok menghadapi wabah. Roda ekonomi seketika mandek, bahkan ritual keagamaan tidak dilakukan sebagaimana biasanya. Bukankah ini kehendak Allah dan tidak pernah bisa dibayangkan. Sekali lagi ini adalah bentuk keMahakuasaan(hal.39).
Tentu setelah beragam analisis yang teoretik di atas, diperlukan sebuah sangkaan yang baik. Paling tidak menumbuhkan perasangka baik(positive thinking) terhadap Allah. Bagaimanapun Allah menjadikan apa-apa yang ada di muka bumi sebagai sesuatu yang terbaik. Dan dalam seluruh kejadiaan terdapat hikam-hikmah yang sejatinya tidak bisa diketahui mayoritas makhluk.
Buku ini seolah-olah merefleksikan kembali bagaimana seharusnya menjadi manusia itu. Di bawah kendali Allah, di bawah kendali perasangka-perasanya sendiri, atau bahkan di bawah kendali rencana-rencan dan beragam keinginan. Jika hal tersebut tidak tercapai sebagaimana mestinya, tentu berpikir positif dan optimis tetap menjadi opsi. Maka kehadiran buku ini merupakan sebuah langkah awal refleksi. Hingga kemungkinan berbaik sangka akan timbul dari proses refleksi tadi.
Tentu buku ini tidak dibahasakan dengan rumit, tetapi tetap serat makna. Sekali-kali pembaca akan dibuat geleng-geleng dan senyum sendiri. Tergantung bagaimana pembacaan menikmati alur tiap halaman.
Yogyakarta, 2020
*Moh. Rofqil Bazikh, mahasiswa Perbandingan Mazahab Fakultas Hukum dan Syariah UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta. Bisa dijumpai di Garawiksa Institute.