Oleh: Al-Mahfud
Para pendakwah atau dai memegang peranan penting dalam menanamkan dan membangun nilai-nilai kebangsaan. Sebab, Indonesia adalah bangsa relligius, memegang teguh ajaran agama sehingga apa-apa yang disampaikan para dai—sebagai penyebar ajaran agama, akan sangat memengaruhi masyarakat. Di sinilah, pesan-pesan kebangsaan tentang pentingnya toleransi, persaudaraan, persatuan dan kesatuan di tengah perbedaan, penting ditekankan dalam aktivitas dakwah.
Sayangnya, ada sebagian pendakwah yang justru gemar menebarkan kebencian kepada orang atau kelompok lain yang berbeda, juga provokasi dan bahkan paham radikal yang memecahbelah masyarakat. Berbekal pemahaman agama yang cenderung tekstual, eksklusif, dan minim nalar kritis serta kebijaksanaan, mereka memengaruhi masyarakat berdalih perintah agama. Berdalih dalam rangka jihad, membela agama, hingga motivasi dan pikat janji surga, mereka memprovokasi umat untuk membenci dan memusuhi kelompok lain.
Bahkan, di level yang ekstrem, mereka juga mendorong orang-orang untuk menolak Pancasila, demokrasi, serta prinsip-prinsip dasar Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Mereka menganggap dasar dan sistem yang ada sekarang tak sesuai dengan syariat agama, sehingga harus ditentang dan diganti dengan berjuang menegakkan khilafah atau negara agama. Mereka juga sering membid’ah kan berbagai tradisi dan budaya yang sudah mengakar di masyarakat karena dianggap tidak sesuai syariat agama.
Alih-alih memberikan ketenangan dan kesejukan bagi umat, para pendakwah model ini justru menciptakan kebencian, ketegangan, dan keresahan. Di tengah masyarakat yang majemuk seperti di Indonesia, bukannya menguatkan rasa persaudaraan dan persatuan, mereka justru merenggangkan hubungan persaudaraan bangsa dengan menebar kecurigaan, kebencian, bahkan kekerasan.
- Iklan -
Ceramah-ceramah dari pendakwah model tersebut kerap melahirkan pemahaman agama yang ekstrem dan radikal, terutama bagi masyarakat yang pemahaman agamaannya belum mendalam. Di level yang paling ekstrem, akan lahir orang-orang yang rela berjuang dan berkorban dengan cara keberagamaan yang ekstrim atau radikalistik. Termasuk menentang, melukai, hingga menghilangkan nyawa orang lain atau diri sendiri, sebagaimana dilakukan kelompok ekstremisme-radikalisme-terorisme.
Wawasan kebangsaan, kebudayaan, dan kesantunan
Melihat kondisi tersebut, jelas dibutuhkan penguatan wawasan kebangsaan di kalangan pendakwah. Kita butuh para pendakwah yang memiliki kedalaman ilmu agama, sekaligus kedalaman wawasan kebangsaan dan kebudayaan. Sehingga, ceramah-ceramah yang digaungkan di tengah masyarakat adalah ceramah yang sudah didasari pengetahuan yang mumpuni dan kontemplasi mendalam terkait bagaimana membangun pemahaman agama yang moderat. Pemahaman agama yang berbuah sikap beragama yang santun, bersahabat, toleran, membawa kebaikan dan merepresentasikan Islam rahmatan lil alamin.
Wawasan kebangsaan yang sangat substansial dikuatkan di kalangan pendakwah terutama tentang dasar negara Pancasila, UUD 1945, NKRI, semboyan Bhineka Tunggal Ika, sejarah perjuangan bangsa, terutama peran berbagai suku bangsa dan kelompok agama dalam perjuangan kemerdekaan dan lahirnya negara bangsa Indonesia. Selain itu, juga peran dan kebijaksanaan para kiai dan kelompok Islam dalam menyepakati berdirinya Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) yang berdasarkan pada Pancasila. Yang tak kalah penting, termasuk bagian dari wawasan kebangsaan adalah mengenali, memahami, dan menghargai berbagai tradisi, budaya, dan kearifan lokal yang ada di tengah masyarakat. Sehingga dari sana, kecintaan seorang dai pada Tanah Airnya akan menguat.
Para dai mesti memahami hal-hal tersebut secara mendalam dan komprehensif, sehingga bisa melihat berbagai keselarasan dasar negara Pancasila dengan ajaran-ajaran Islam, kemampuan memaknai budaya dan tradisi di masyarakat secara positif, untuk kemudian dijadikan dasar menyebarkan pemahaman-pemahaman agama yang moderat, damai, toleran, relevan, dan bijak lewat ceramah-ceramahnya di tengah masyarakat.
Seorang pendakwah mesti memahami bahwa Indonesia berdasar Pancasila merupakan negara kesepakatan (termasuk kesepakatan para pemimpin agama), yang di dalamnya semua elemen masyarakat harus saling menghormati, menghargai, dan bisa bekerja sama meski di dalam perbedaan. Bahwa Pancasila dengan ajaran Islam sudah senafas dan selaras, sehingga tidak perlu dipertentangkan. Bahwa berbagai tradisi, budaya, dan kearifan lokal yang hidup di masyarakat harus dijaga demi menjaga jati diri bangsa. Pemahaman-pemahaman mendalam dan luas tentang semua itu yang bisa membangun keluwesan dalam berdakwah, sehingga dakwah tidak terjebak hanya pada soal hitam putih, halal-haram, surga-neraka.
Di samping membekali diri dengan wawasan kebangsaan, cara berceramah juga penting diperhatikan para pendakwah. Dalam Islam, sebagaimana teladan utama kita Nabi Muhammad Saw., berdakwah mesti dilakukan secara santun, bijak, damai, dan sejuk. Hal itu yang kemudian menarik hati dan minat banyak orang untuk mengenal dan mendalami Islam. Hal ini pula yang mesti ditekankan di kalangan pendakwah. Bahwa berdakwah mesti dilandasi kasih sayang, perhatian, dan kebijaksanaan, bukan dengan ancaman dan hasutan untuk membenci orang atau kelompok lain.
Berbekal wawasan kebangsaan dan kesantunan dalam berdakwah, seorang pendakwah akan memiliki kualitas dan kapasitas mumpuni. Baik dalam ilmu agama, wawasan keindonesiaan, kebudayaan, dan bagaimana menghadirkan materi maupun cara berdakwah yang sesuai taraf keilmuan atau memiliki kedekatan secara emosi dengan objek dakwah atau masyarakat luas. Dari sana, seorang dai akan mampu menghadirkan ruang dakwah yang mencerahkan dan mencerdaskan. Dakwah yang melahirkan umat beragama yang saleh, baik saleh secara ritual maupun saleh secara sosial dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Wallahu a’lam
*Al-Mahfud, penulis, lulusan STAIN Kudus.
Menulis artikel, esai, dan ulasan buku di berbagai media massa.