Oleh: Ayis A. Nafis
“Dunia ini ibarat naik perahu. Kita sangka diam, padahal waktu terus berlalu.” Ungkap Almr. KH. Ahmad Basyir AS, menghentak keasingan dalam benak.
Petuah sederhana itu, merangkap segala hasrat yang tetiba menguncup serupa kelopak-kelopak bunga masa lalu bermekaran lalu mengambang di terpa angin, meski aromanya selalu membekas pada jiwa-jiwa yang berkabung. Petuah itu, semacam menggedor kesadaran kita tentang bagaimana hidup berotasi dengan saksama. Menggoda setiap realitas, yang makin hari, makin memuakkan. Tentang bagaimana kita lebih menyibukkan diri pada persoalan duniawi hingga mengesampingkan persoalan ukhrawi. Perkara hidup, Buya Hamka pernah berujar dalam “Lembaga Hidup”-nya bahwa seorang muslim, ialah orang yang bercita-cita menjadi al-Insanul Kamil, atau manusia yang sempurna. Begitulah, hikayat hidup dalam dikotomi tatanan agama meminta tempat. Kesaksian-kesaksian alam menerka berbagai macam persoalan yang saban hari, berusaha kita hadapi sebaik mungkin.
Pergumulan cita-cita yang di hantar Hamka, semacam pangkal hasrat yang terus di khawatirkan Alm. Kiai Basyir, bahwa manusia harus benar-benar memahami cara kerja hidup yang tergariskan oleh Tuhan lewat utusan-Nya. Kemudian pesantren, memberi tempat, bagaimana manusia-manusia menempa hati, akal, juga jasmani untuk mencari jati diri yang bermuara pada prilaku Nabi. Terlepas dari hal tersebut, Agus Sunyoto berujar dalam buku Atlas Wali Songo, bahwa lembaga non-formal ini adalah hasil dari islamisasi budaya yang berkembang pada masa Hindu-Budha di Nusantara melalui Wali Songo. Kemudian dalam jurnal Al-Ta’adib Sejarah Pesantren di Indonesia, Pesantren setidaknya memiliki tiga unsur Pokok. Yakni, Santri, kiai, serta asrama atau pondok. Aktifitas-aktifitas yang berkembang di tengah-tengah unsur pokok tersebut sejatinya adalah upaya mengkultuskan syair adab Arab yakni, Tholabul Ilmi Fariidhatun ‘Alaa kulli muslimin. Bahwa mencari ilmu adalah wajib bagi setiap muslim, lalu Santri –sadar atau tidak- bersikeras mengkultuskan ungkapan Hamka demi menghalau kekhawatiran-kekhawatiran yang di terka Alm. Kiai Basyir dalam kesehariannya.
- Iklan -
Hasrat-hasrat Masa Lalu
Saya sepakat ungkapan Blaise Pascal, bahwa “Hati mempunyai alasan-alasan yang tidak di mengerti oleh akal. Orang mengalami ini dalam banyak perkara.” Alih-alih untuk memilah berbagai persoalan sebagai jalan keluar. Gumpalan daging yang menyeimbangkan kerja kemanusiaan ini, setidaknya selalu mendesak kita untuk memekarkan kenangan-kenangan yang makin hari, mengambang pada udara sekitar lalu timbul-tenggelam di puncak benak. Semacam ada yang menarik sisa waktu kita untuk sekedar menyesap langkah-langkah yang tertinggal jauh. Begitupun pernyataan demikian merangkap saya. Perkara bahwa saya memiliki identitas sebagai santri yang telah Boyong dari pesantren, makin menikam. Situasi-situasi, persoalan, amalan-amalan, menjatuhkan kesadaran, setidaknya dalam beberapa waktu.
Pada suatu sore yang sendu, dari balkon pondok lantai dua, saya mengamati bagaimana sinar matahari menerpa dinding bangunan ini dengan pelan, setelah merangkul gemulai daun-daun pohon kelapa yang di permainkan angin di samping luar pagar menjorok kebelakang. Di saat-saat macam itu, sambil mempererat pelukan pada buku –waktu itu yang saya baca- berjudul Filsafat Negasikarya seorang santri Muhammad Al-Fayyad, saya menyesap rasa hangat yang di hantar matahari, sebelum salah satu kawan saya, mengajak bertawassul di salah satu Maqbaroh Pesantren. Saya bergegas menyusul. Setelah sampai pada Maqbaroh yang terletak di sisi paling selatan pondok, saya menaiki undakan tanpa pintu. Terpandanglah deretan peristirahatan –yang bagi saya- para guru bangsa. Hamba yang betul-betul mengabdikan diri untuk menuntun umat menemui cinta sejati. Cinta pada Tuhan yang Maha Esa.
Setelah usai tawassul, saya tertarik pada salah satu Maqbaroh besar dengan monumen bendera merah putih lengkap dengan tiangnya. Bukan tanpa alasan, maqbaroh itu adalah tempat peristirahatan terakhir pahlawan Sumenep yang bergerak di wilayah kecamatan Guluk-guluk hingga ke kecamatan Pakong Pamekasan. Beliau adalah Alm. KH. Abdullah Sajjad. Alkisah, pada agresi militer Belanda tahun 1947 M. Bangsa Indonesia yang baru merdeka kembali di jajah oleh Belanda yang –meski hanya mengantongi pengakuan de facto sebagai sebuah Bangsa- tidak menerima kedaulatan serta pelepasan penguasaan, mereka berniat ingin menjadikan Pulau Madura sebagai Negara Boneka untuk memecah NKRI. Kiai Sajjad, sejak kecil adalah pengembara yang haus ilmu, ia tercatat sebagai “Santri” Pesantren Kademangan asuhan Syaikhona Cholil Bangkalan, Pesantren Tebuireng asuhan KH. Hasyim asy’ari, Pesantren Siwalan Panji Sidoarjo asuhan Kiai Chozin, Lalu ke Mekah bersama KH. Muhammad Ilyas AS.
Singkat cerita, beliau mejadi pimpinan Laskar santri-ulama, Laskar Sabilillah di Sumenep menggantikan Kiai Ilyas. Dengan sikap Hubbul Wathan, beliau keliling Madura, terutama daerah Pamekasan dan Sumenep, mengajak seluruh elemen masyarakat membela kedaulatan agama, Negara dan bangsa Indonesia. Dengan pasukan tersebut, beliau dibantu menantu sekaligus keponakannya, Kiai Khazin bin Kiai Ilyas, membawa pasukan tersebut ke garda depan. Bertempur dengan Belanda di Pamekasan juga Sumenep sekitar Agustus 1947. Hingga pada akhirnya, beliau wafat di tangan Belanda, setelah menyerahkan diri dengan catatan warga dan satrinya tidak bunuh. Beliau wafat setelah melaksanakan sholat sunnah dalam keadaan bersujud. Menyerahkan diri pada Tuhan yang Maha Esa.
Tiba-tiba saya tersadar, saya beranjak pulang ke pondok untuk melaksanakan aktivitas lainnya. Hari hampir gelap, tetapi pertanyaan-pertanyaan menggantung, lesat menuju langit. Sebagai santri beliau, apa yang dapat saya lakukan selain tawassul? Dari samping jalan, sayup terdengar lagu kebangsaan karangan pahlawan nasional KH. Abdul Wahab Chasbullah, “Yaa lal wathan, yaa lal wathan, yaa lal wathan/Hubbul waathan minal iman/ walaa takun minal hirman/inhaduu ahlal wathan/ Indonesia biladii… ya, sejatinya kita mesti mewarisi sikap cinta tanah air yang makin hari terkikis modernisasi. Kita mesti mengorbankan apa yang perlu di korbankan untuk bangsa, meski nyawa taruhannya. Maka slogan Gonzales dalam suatu ketika menyapa, “Garuda di dadaku, Islam di hatiku!” Merdeka!
*Penulis adalah alumnus Ponpes Annuqayah, Sumenep dan melanjutkan study di Universitas PGRI Yogyakarta jurusan Pend. Bahasa & Sastra Indonesia. Sekarang santri baru di Madrasa Mahasiswa Muamalat, Sleman Yogjakarta. Menjuarai beberapa even lomba kepenulisan. Seperti : Juara l LCPN Gapura Satra Indonesia, 2020. Juara l LCP&BP se-kabupaten, STKIP PGRI Sumenep 2020., Juara ll LCPN Univ. Muhammadiyah Dr. Hamka, Jakarta 2020. Juara lll LCCN Universitas Muhammadiyah Malang, 2020. Juara lll LCPN Gen Fondation Tasikmalaya, 2020. Serta tersebar di surat kabar seperti: Koran Harian Borneo, Sabah, Malaysia, Radar Malang, Radar Mojokerto, Koran Harian Bhirawa, Radar Madura, Kabar Madura, Inisiator.com, Becik.id, Kami Anak Pantai.com, Apajake.id, Tajug.net serta Banaranmdia.com