Oleh M.Z. Billal
Dia yakin seragam putihnya akan selalu melindunginya. Darah orang-orang terluka bahkan tewas yang pernah mewarnai pakaiannya menjelma api yang membakar semangat dalam dadanya untuk terus berjuang membantu mereka yang tidak pernah lelah, berkorban tanpa takut mati, demi meraih hak untuk memiliki tanah kelahiran.
“Sudah menjadi pilihan hidup. Saya berada di sini untuk membantu mereka yang terluka. Ini adalah tugas dan kewajiban saya. Alangkah malunya saya, bila saya tidak ada untuk menolong mereka yang sedang berjuang demi Palestina.” Demikian katanya kepada sebuah media yang tertarik mengetahui alasan utamanya memilih jadi relawan medis untuk negerinya yang tidak pernah usai dirundung luka dan kesedihan.
***
- Iklan -
Jumat, 1 Juni 2018. Pagar Perbatasan dekat Khan Yunis.
Ribuan demonstran Palestina memenuhi sepanjang pagar keamanan. Mereka membakar ban dan melemparkan batu-batu ke seberang pagar. Menuntut hak mereka yang semakin direnggut oleh Negeri Zionis. Tidak peduli asap gas air mata begitu perih dan daun-daun kematian berguguran di sana.
Dia sebetulnya merasa berbeda hari itu. Ada sesuatu yang tidak mudah untuk diungkapkan meski dia berusaha tetap bersemangat. Langit tampak lebih tenang. Padahal suasana tetap kacau. Orang-orang terus meneriakkan keadilan, kepulan asap dari ban-ban yang dibakar dan granat gas air mata bersatu padu membumbung ke angkasa yang biru. Menciptakan pemandangan heroik. Sebuah perjuangan menguras tenaga yang sangat tidak mudah, tapi tidak akan pernah mampu melumpuhkan keberanian mereka.
5 detik pertama Al-Najjar.
Suasana semakin kacau. Tentara Israel yang menjaga pagar perbatasan terus melakukan serangan balasan. Suara tembakan terdengar beberapa kali. Tabung-tabung gas air mata yang dilempar mengenai banyak orang. Sungguh balasan yang sama sekali tidak seimbang.
Saat itu dia mendadak teringat senyum ibunya. Perempuan yang selalu mendukung hal-hal yang menjadi keputusan baiknya. Termasuk pilihannya sebagai relawan medis di daerah konflik. Ibunya, dia berpikir, pasti sedang menyiapkan menu berbuka puasa yang manis. Dia sadar, berada dalam situasi genting di perbatasan telah membuat dia kehilangan banyak waktu bersama keluarganya. Tapi itu bukan sebuah masalah. Dia justru merasa sangat bersalah dan tidak berguna bila dia tidak ikut serta mengerahkan seluruh usahanya untuk membantu perjuangan penduduk Palestina melawan ketidakadilan Zionis.
Dan ketika suasana makin tidak baik. Orang-orang mulai berteriak kesakitan. Dia melepas semua perasaan asing itu. Bersama rekan-rekannya dia bergegas menuju pagar perbatasan seraya mengangkat tangan. Sebagai tanda bahwa ia bukan dari kalangan demonstran. Melainkan petugas medis yang harus segera menyelamatkan mereka yang terluka.
“Jangan menembak, ada yang terluka!” Dia berteriak keras.
5 detik kedua Al-Najjar.
Di antara kepulan asap dia terus mendekati para pendemo yang telah berdarah. Dia cukup gugup saat memasuki areal penuh ancaman itu. Rekan-rekannya pun demikian. Namun dia tidak pantang menyerah oleh rasa takut yang kerap mendera. Dadanya selalu dipenuhi harapan bahwa tidak ada lagi yang harus tewas dalam peristiwa yang terus berlangsung. Terutama pada hari itu. Baginya, satu kematian seorang pejuang seperti padamnya satu bintang di langit malam. Kesedihan yang tidak mudah dibayar tuntas.
Sembari terus mengangkat tangan dan berteriak agar tidak perlu lagi militer Israel melakukan penembakan, dia bergerak menuju pria yang sedang kesakitan. Kepala pria itu mengucurkan darah akibat lemparan tabung gas air mata.
Menyaksikan orang-orang sekarat adalah hal biasa baginya. Bahkan dia sendiri pernah mengalami hal tersebut. Nyaris mati akibat menghirup gas air mata terlalu banyak dan cedera pada pergelangan kaki karena jatuh saat berlari menghampiri pendemo yang terluka. Itulah sebabnya dia akhirnya mampu mengendalikan diri untuk bersikap tenang saat memberikan pertolongan dalam situasi yang betul-betul rusuh.
“Tenang, kau akan baik-baik saja,” katanya berusaha menenangkan pria itu.
5 detik ketiga Al-Najjar.
Baru saja dia selesai membalut kepala pria itu, dan meminta salah seorang rekan mengantar pria tersebut menjauh dari pagar perbatasan. Tiba-tiba terdengar suara tembakan lagi. Dia terkejut. Perasaan asing itu mulai datang lagi. Tapi segera ditepisnya. Ada banyak hal yang perlu dipikirkan dan dilakukan dalam keadaan darurat seperti itu. Dia hanya perlu fokus mengobati para korban yang terluka.
Akan tetapi, sungguh dia betul-betul tidak tahu. Sampai ketika sesuatu yang panas dan menyakitkan telah mencapai bagian punggungnya, barulah dia sadar bahwa dirinya telah tertembak. Peluru yang meluncur dari senapan yang berdesing keras itu ternyata menembus dadanya.
“Punggungku! Punggungku!” katanya, saat perasaan asing itu mulai memenuhi lagi tiap bagian dari pikirannya, dan rasa sakit menjalar cepat ke seluruh tubuh. Lalu detik berikutnya dia pun ambruk. Kehilangan sebagian besar kekuatannya untuk bertahan.
5 detik keempat Al-Najjar.
Rekan-rekannya bergegas menghampiri dia yang telah tersungkur dan tak sanggup lagi untuk berdiri, apa lagi berbicara. Kecuali erangan kecil. Mereka berlimpah kecemasan dan rasa takut saat itu. Maka dia segera dibawa ke ambulans untuk segera mendapat pertolongan intensif.
Ketika dalam perjalanan menuju ambulans, dia tidak lagi bisa berpikir normal. Seluruh yang terlihat menjadi buram. Namun sesekali kenangan-kenangan indah masuk untuk membuatnya sedikit lebih baik. Dia teringat ibu, ayah, keluarga, teman-teman, ladang-ladang di Khuza’ah, dan tentu saja Palestina. Meski langit semakin tampak gelap dan rasa sakit terus menderanya seperti ledakan di pusat kota Gaza, dia masih sempat bercakap pada dirinya sendiri dan berdoa agar semua baik-baik saja.
“Aku seperti gedung tertinggi di Gaza, berharap tetap menatap langit dan melindungi orang-orang di dalam. Tapi ledakan ini terlalu kuat.” Dia berkata dalam hati ketika udara sejuk dari selang oksigen mengalir ke dalam paru-parunya.
5 detik kelima Al-Najjar.
Dia tahu semua sangat cemas sekarang. Dia tahu kekacauan tidak bisa dihentikan. Dia juga sadar keadilan betul-betul tidak mudah untuk ditegakkan. Gas air mata dan asap ban-ban yang dibakar akan terus memenuhi kota hingga ke sudut-sudut jauh. Suara tembakan akan selalu terdengar seperti musik penanda kematian.
Gadis muda dari keluarga Al-Najjar, dirinya, hanya seseorang yang ikut berjuang meraih kebahagiaan untuk tanah kelahiran. Merelakan seluruh waktu tanpa takut dan mengeluh. Tetapi sungguh dia tidak tega, menyaksikan bagaimana jadinya bila ibunya tahu bahwa dia sedang sekarat saat itu. Dia tidak bisa membayangkan wajah cantik ibunya akan bersimbah air mata. Seakan sungai Yordan pindah ke sepasang matanya yang teduh.
Mobil ambulans menambah kecepatannya untuk segera sampai di rumah sakit. Semua orang berdoa untuknya. Menaruh harapan besar kalau dia akan baik-baik saja. Tentu saja tidak ada yang pernah menyangka kalau petugas medis akan menjadi korban penembakan sniper Israel. Dia adalah korban tembak pertama, meski terluka selalu jadi bagian dari tiap insiden. Sebab semua yang bekerja untuk itu selalu yakin, mantel putih bergaris merah akan melindungi mereka dari serangan. Namun kenyataanya hal itu telah berbeda.
“Ini sebuah pelanggaran! Mereka menyerang petugas medis!” kata seseorang.
5 detik terakhir Al-Najjar.
Dia berdiri di tepi laut. Ombak bergulung di bawah langit biru bergelimang awan. Sementara di sisi lainnya, padang tandus dipenuhi orang-orang, asap kelabu, dan percik api dari sesuatu yang dilepaskan.
Sebuah anomali pemandangan. Dia ingin berlari menuju orang-orang itu seperti anak-anak muda berseragam putih lainnya. Membawa mereka yang kesakitan menjauh dari areal penuh ancaman. Tapi dia tidak bisa. Dia hanya bisa menatap semua itu tanpa bisa beranjak ke manapun. Sampai akhirnya dia diisap lubang aneh yang tiba-tiba muncul, terjun bebas, dan entah bagaimana kembali masuk ke dalam tubuhnya yang terkapar untuk sesaat. Melihat banyak cahaya dan orang-orang berseragam dokter mengelilinginya, lalu pada detik berikutnya semuanya pun langsung mendadak gelap. Dia ternyata telah seutuhnya lepas dari raganya tanpa sempat mengucapkan sepatah kata saja. Begitu pun dengan seluruh rasa sakit, saat itu juga musnah.
Razan Al-Najjar sudah tiada.
***
5 detik setelah Al-Najjar.
Kekacauan masih berlangsung. Serangan tidak begitu saja berhenti. Ketidakadilan masih belum berdiri. Orang-orang masih terluka. Pagar perbatasan masih penuh dengan demonstran. Langit terus menyaksikan semuanya. Tapi pada hari itu, dia adalah satu-satunya yang tewas. Seperti harapannya, tak perlu lagi ada yang tewas, terutama Jumat yang terasa asing kala itu.
Semua sangat berduka. Seperti kabut kesedihan yang menyelimuti hingga ke pelosok jauh di luar negeri. Hari yang sungguh berat saat mengantar tubuh seorang martir ke tempat istirahatnya yang terakhir. Bendera kebanggaan dikibarkan untuk memberi hormat dan mendekapnya dengan penuh rasa cinta. Serta doa-doa pun diunggah ke langit agar Tuhan memberinya tempat terbaik di sana.
Dengar, kita semua tahu, siapa pun yang gugur di tanah Palestina, akan dibimbing Tuhan menuju surga yang damai. Tempat yang tidak pernah diperuntukkan untuk mereka yang serakah dan tidak memiliki belas kasih.
*M.Z. Billal, lahir di Lirik, Indragiri Hulu, Riau. Menulis cerpen, cerita anak, dan puisi. Karyanya termakhtub dalam kumpulan puisi Bandara dan Laba-laba (2019, Dinas Kebudayaan Provinsi Bali), Membaca Asap (2019), Antologi Cerpen Pasir Mencetak Jejak dan Biarlah Ombak Menghapusnya (2019) dan telah tersebar di media seperti Pikiran Rakyat, Rakyat Sumbar, Radar Mojokerto, Haluan Padang, Padang Ekspres, Riau Pos, Fajar Makassar, Banjarmasin Post, Magelang Ekspres, Radar Cirebon, Kedaulatan Rakyat, Medan Pos, Radar Malang, Radar Tasikmalaya, Bangka Pos, Radar Bekasi, Tanjung Pinang Pos, Bhirawa, Takanta.id, Koran Analisa, Merapi dll. Fiasko (2018, AT Press) adalah novel pertamanya. Bergabung dengan Community Pena Terbang (COMPETER), Komunitas Pembatas Buku Jakarta, dan Kelas Puisi Alit.