Oleh Hamidulloh Ibda
Suatu ketika, di pagi yang dingin, ada pesan nyasar dari nomor WhatsApps yang tidak saya simpan. “Bro, aku wes duwe ID Scopus, awakmu wes duwe durung?”
Setengah sadar, saya membaca pesan singkat di layanan pesan berwarna hijau itu. Saya tidak tanya “niki sinten” karena di foto profilnya juga hanya foto cangkir kopi. Lalu saya tanya ke dia “Kuwi jurnal predator atau tidak?” Dia jawab “mbuh”.
Sejak saat itu, saya tidak berkomunikasi lagi. Usut punya usut, dia adalah teman jauh yang sekarang menjadi dosen dan baru saja dipromosikan sebagai doktor bidang ilmu pendidikan.
Setelah saya selidiki ternyata artikelnya di salah satu jurnal internasional itu ternyata kategori predator. Ladalah!
Teman saya tadi, bisa jadi adalah korban dari jurnal predator. Dalam dunia artikel ilmiah atau jurnal ilmiah, dikenal jurnal predator. Istilah ini bukan merujuk julukan pada binatang yang hidupnya dari memangsa binatang lain, atau hewan pemangsa hewan lain, namun berangkat pada jurnal palsu, abal-abal, atau asli jurnal namun ia melenceng dari aturan ilmiah pada umumnya.
Dalam dunia akademik, menulis artikel di jurnal ilmiah diakui dan diyakini paling susah daripada menulis makalah, tugas akhir untuk D3, skripsi untuk S1, tesis untuk S3, dan disertasi untuk S3. Maka wajar, untuk syarat kelulusan studi, atau syarat kenaikan pangkat, banyak akademisi rela “membeli” karya itu.
Saya sering menolak permintaan seperti itu. Dalam hati saya bilang “wegah”, eman-eman tenaga dan pikiranku. Karena saya sendiri butuh!
Sudah artikelnya hasil beli, jurnalnya predator, ini namanya “zulmun ala zulmin”. Ironisnya, banyak bermunculan juga jurnal predator yang mengklaim atau benar-benar terindeks Scopus namun ia melenceng dari aturan, atau disebut predator itu sendiri.
Tujuan akademisi menulis artikel di jurnal selain bagian dari kewajiban adalah naik pangkat, atau syarat kelulusan studi. Biasanya, untuk kenaikan pangkat atau jabatan fungsional sampai profesor/guru besar adalah artikel ilmiah di jurnal yang terindeks Scopus. Selain itu, khusus untuk mahasiswa S3 juga ada kewajiban publikasi di jurnal terindeks Scopus sebagai syarat ujian terbuka/promosi doktor.
Apa itu Jurnal Predator?
Predatory journals atau jurnal predator dari laman UI yang diungggah ulang Unsyiah, menyebut pada mulanya yang mengenalkan istilah jurnal adalah pustakawan Universitas Colorado, Jeffrey Beall.
Pandangan Jeffrey Beall ini hadir di kala ia meneliti semua jurnal-jurnal predator yang baru muncul yang bersifat open-access (OA), yaitu jurnal yang hanya tersedia secara siber, tidak ada versi cetak (print), hanyalah versi cetak lepas (reprint) yang tentu saja sangat mudah dicetak.
Catatannya, ada puluhan penerbit dan ribuan jurnal yang ia kategorikan sebagai jurnal predator. Secara ringkas, jurnal-jurnal predator ini diterbitkan oleh penerbit predator dengan tujuan utama bisnis, dodolan kalau bahasa saya, untuk menghasilkan uang bagi si pembuat jurnal. Ongkos untuk satu artikel yang masuk sekira ratusan hingga ribuan dolar Amerika.
Paparan tentang apa itu jurnal predator ini bagi saya memang dilatarbelakangi oleh kepentingan kapital dan orientasi bisnis. Dunia publikasi ilmiah harusnya terang, bukan bejibun pasar gelap yang mengarah pada jurnal predator. Kita dimangsa para “predator” itu lewat jurnal-jurnal ilmiahnya yang hakikatnya pseudo ilmiah.
Chrissy Prater dalam artikelnya menyebut ada delapan ciri jurnal predator. Pertama, membayar saat submit. Saat submit saja, author sudah diminat membayar. Padahal, kalau umumnya ketika artikel itu publish baru sah membayar. Kedua, tidak ada Editorial Board. Ketiga, artikel yang terbit tidak terintegrasi.
Keempat, jurnalnya menyatakan artikel kjra akan terbit edisi sekian pada waktu yang akan datang, tetapi ternyata tidak pernah terbit. Kelima, tampilan website atau laman OJS ala kadarnya, kelihatan tidak profesional.
Keenam, jurnalnya disebut sebagai “international journal of …” atau “national journal of ,,,” tetapi editorial boardnya tidak mencerminkan namanya. Bahkan, banyak editorial board namanya abal-abal. Ketujuh, terdalaf banyak kesalahan di judul maupun abstrak (apalagi isinya). Kesalahan ini dapat berupa kesalahan gramatikal, typo, hingga substansi. Kedapan, isi jurnal tidak sesuai dengan scope alias campursari.
Ini penyakit, dan virusnya sudah disebar lewat dogma bahwa tembus Scopus itu hebat. Lebih parah lagi ketika yang dinilai bergengsi adalah artikel jurnal yang terindeks Scopus, Web of Science, atau Thomson Reuters dan sejenisnya.
Pilih Sinta Saja
Dalam academic writing atau artikel ilmiah, kita memang tidak melawan rezim Scopus. Khususnya untuk syarat kelulusan S3 atau kenaikan jabatan fungsional guru besar. Coba saja, kalau Kemdikbud berpijak pada akreditasi atau indeks milik asli Indonesia yaitu Sinta.
Sinta atau Science and Technology Index sebenarnya tidak kalah kualitas dari artikel di jurnal Scopus. Lihat saja, kualitas artikel jurnal-jurnal yang terindeks Scopus itu ya begitu-begitu saja. Hanya beda bahasa jika saya menyebut. Padahal, jurnal di Indonesia saat ini juga lagi gila-gilanya memuat artikel berbahasa asing. Lalu bedanya apa antara Sinta dan Scopus?
“Ini soal politik kebijakan pendidikan” demikian kata aktivis dan pemerhati pendidikan.
Kembali pada jurnal predator, munculnya kategori atau label predator karena orang pada gila-gilanya tembus Scopus. Makanya, kesempatan ini dimanfaatkan para produsen jurnal predator untuk memuat artikel dengan mudah dan berbayar.
Kan jelas, munculnya jurnal predator ini karena misi bisnis. Mereka berusaha keras untuk lolos Elsiver, SCImago Journal Rank (SJR), Scopus, Web of Science, Thomson Reuters, dan kawan-kawannya lah pokoknya.
Saya dalam artikel ini tidak menawarkan solusi. Hanya saja, perlu digelorakan bahkan harus ada payung hukum kita mengganti Scopus dengan Sinta. Sebab, Indonesia sendiri sudah punya ribuan jurnal ilmiah yang terindeks atau terakreditasi Sinta 1-6 yang orisinil khas Indonesia.
Jika ingin menulis tembus di Scopus, bagi saya tidak ada masalah. Sebab, rezim dan syarat akademiknya masih demikian, baik untuk syarat doktoral atau mencapai jabatan fungsional guru besar. Dan, selama lektor kepala-kebanyak sudah doktor-belum tembus Scopus, ya jadi lektor kepala abadi.
Masalahnya, ketika mereka tidak dapat menembus Scopus dengan jalan benar, akankah menjadi predator dengan menerbitkan artikel di jurnal predator?
-Penulis adalah editor dan reviewer di beberapa jurnal ilmiah.