Oleh Hamidulloh Ibda
Kabid Media Massa, Ekonomi dan Hukum FKPT Jawa Tengah
Good looking. Penampilan bagus, indah, elok, sedap dipandang. Namun siapa sangka, di balik penampilan itu tersimpan “sesuatu di balik sesuatu”. Ada kamuflase yang disadari atau tidak oleh masyarakat kita. Pemaknaan good looking kira-kira demikian. Meski tidak semua orang demikian, namun kita harus memiliki bekal untuk mendeteksi sesuatu di balik sesuatu yang tampak.
Apa yang disampaikan Menteri Agama Fachrul Razi terkait pernyataannya yang kontroversial soal penyusupan radikalisme melalui orang-orang good looking dan hafiz Alquran menjadi cacatan penting. Banyak perspektif dapat kita lakukan untuk memaknai pernyataan yang masih viral tersebut.
- Iklan -
Soal hafiz Alquran saya tidak berkomentar. Namun yang masih bebas nilai dan perlu diluruskan adalah stigma good looking yang menjadi bola liar. Lempar sana lempar sini, tendang kanan tendang kiri, seolah tidak ada wasit dalam irama sepakbola. Pasti kacau!
Maka ini harus diluruskan, karena ini soal radikalisme, terorisme, soal keutuhan bangsa dan negara yang jelas-jelas hari ini menjadi konsen pemerintah untuk menuntaskannya. Khususnya, Kemenag, Kemendagri maupun Kemenpan RB.
Fachrul menjelaskan topik pembahasan di acara tersebut mengusung tema ‘ASN No Radikalisasi’. Sebab itu, ia pun membahas soal radikalisme di lingkungan pemerintahan.
Di Balik Good Looking
Jika kita telisik, ada sesuatu di balik good locking. Dalam kesempatan itu Menag membahas perihal radikalisme khususnya dalam konteks rekrutmen, pendidikan, dan tempat ibadah di lingkungan ASN.
Ada beberapa solusi yang ditawarkan Menag soal perekrutan ASN agar tidak radikal. Pertama, rekrutmennya. Kedua pada saat pendidikan-pendidikan di level kelanjutnanya yang dilakukan oleh pemerintah. Ketiga pada saat ibadah.
Substansi yang disampaikan Menag sangat bagus. Hanya saja, ini hanya saja, sadar atau tidak sadar ia mengucapkan kalimat bahasa asing “good locking” yang berarti mereka yang berpenampilan bagus, rapi, keren. Kira-kira begitu.
Seoalah-olah, frasa good looking ini membius masyarakat atau menstigma bahwa teroris identik dengan good looking. Di satu sisi memang benar, karena banyak teroris berpakaian “good” ala mereka. Tapi di sisi lain, sangat paradoks. Mengapa? Karena teroris di Indonesia kebanyakan adalah mereka yang “good” berpakaian secara budaya Arab, sebut saja berjubah bagi laki-laki, bercadar bagi perempuan.
Tapi, bisa jadi Menag mencurigai ada kamuflase kaum radikal intoleran maupun teroris yang awalnya identik islami, kemudian berkamuflase menjadi “good looking”, keren, gaul, milenial, kekinian, dan kontemporer.
Ungkapan Menag sudah diklarifikasi. Namun, menyadarkan kepada kita akan kewaspadaan. Tetap waspada akan bahaya laten terorisme lebih baik daripada menggunjingkan sesuatu yang bebas nilai laiknya sepakbola tanpa wasit. Bukankan demikian?