Oleh Hamidulloh Ibda
Perkenalan saya dengan kaidah selingkung dimulai sekira tahun 2013 silam. Kala itu, kebiasaan menulis di media massa harus saya sesuaikan dengan dunia ilmiah, akademik, dunia kampus lah. Anda pasti tahu, aturan menulis artikel ilmiah itu kaku, harus sistematis, metodologis, berdasarkan riset, ilmu pengetahuan. Nah, semua itu diikat dalam kaidah selingkung.
Jika menulis karya tulis jurnalistik itu menggunakan pendekatan jurnalistik, populer. Karya sastra lebih pada estetikanya. Namun karya tulis ilmiah harus tunduk dan patuh pada dunia ilmiah, aturannya bernama kaidah selingkung.
Kaidah Selingkung
Dalam Bahasa Inggris, kaidah selingkung disebut author guidelines, atau pedoman penulisan. Bisa dalam sebuah jurnal ilmiah, majalah ilmiah, perlombaan ilmiah, atau diterapkan di perguruan tinggi. Turunannya ada pada karya tulis mahasiswa, bisa makalah, tugas akhir untuk D3, skripsi untuk S1, tesis untuk S2 dan disertasi untuk S3.
- Iklan -
Sebelum membedah jeroan kaidah selingkung, ada kaidah universal atau umum. Kaidah universal ini intinya kaidah umum dalam penulisan yang diterapkan akademisi, guru, maupun pelajar pada umumnya. Sebut saja aturan ketatabahasaan, ada PUEBI, pedoman pembentukan kata, istilah, frasa, kalimat, paragraf, logika kalimat hingga kata baku dan tidak baku.
Secara umum, hampir semua kampus atau lembaga ilmiah sepakat bahwa bahasa formal kiblatnya pada Pedoman Umum Ejaan Bahasa Indonesia atau PUEBI. Bahkan media massa pun kini sudah menerapkan itu. Contohkan saja dalam menulis “sekedar” sudah berganti sesuai kata baku yaitu “sekadar”. Atau, “merubah” sudah ditulis “mengubah” sesuai aturan yang baku.
Soal kaidah universal, clear tidak ada perdebatan. Namun, soal kaidah selingkung ini membingungkan. Contohkan saja ketika saya S1 di IAIN Walisongo yang secara umum menerapkan kaidah selingkung dalam menulis artikel ilmiah menggunakan footnote atau catatan kaki, yang biasanya kiblat manajemen referensinya pada Thurabian, atau Harvard, maka ketika saya dulu kuliah S2 di Unnes dulu kebingungan. Sebab, mazhab kaidah selingkung Unnes dalam menulis artikel ilmiah menggunakan innote atau catatan perut. Biasanya, innote ini kiblatnya pada guide style American Psychological Association (APA). APA pun edisinya beragam.
APA Style intinya gaya dan format penulisan artikel ilmiah yang disepakati asosiasi psikologi Amerika. Gaya ini berbeda pada teknik sitasi dan penulisan daftar pustaka. Lebih jelasnya bisa lihat di laman resmi apastyle.apa.org.
Setelah jadi dosen, dan mengelola beberapa jurnal ilmiah, saya pun harus memahami, mendalami, dan menyebarkan kaidah selingkung ini kepada umat. Sebab, ketika kita di bawah Kemenag (UIN, IAIN, STAIN) atau PTK seperti Universitas, IAI, STAI, maka kiblat kaidah selingkungnya ya kebanyakan Harvard atau Thurabian. Jurnal-jurnal di bawah mereka juga begitu. Berbeda dengan kampus-kampus umum negeri dan swasta di bawah LLDIKTI dan Kemdikbud, kebanyakan menggunakan APA Style.
Kaidah umum dan kaidah selingkung perbedaannya sangat jauh. Kaidah selingkung merupakan aturan atau pedoman penulisan yang berlaku pada kalangan/lingkungan tertentu. Kaidah selingung juga mengatur hal teknis seperti jenis font, besar font, ukuran kertas, spasi, dan lainnya. Sedangkan kaidah universal itu ya hampir sama. Mau UIN, UI, UNDIP, UGM, kata baku sesuai KBBI V ya tetap “salat” bukan “shalat, sholat, atau solat”.
Namun, ketika kaidah selingkungnya menerapkan transliterasi, tentu berbeda. Ia menabrak aturan kaidah umum itu, bahkan sangat berbeda. Contohkan saja yang baku sesuai KBBI adalah “saleh”, namun kalau kaidah selingkung menerapkan transliterasi bisa menjadi “shalih”, “sholeh”, atau “salih”. Semua bergantung pedoman transliterasinya.
Atau contoh lain kata baku sesuai KBBI V adalah “ustaz” dan “azan,” maka ketika kaidah selingkungnya menyepakati transliterasi bisa jadi “ustadz”, “uztadz”, “uztad”, dan “adzan”, adan”, serta lainnya.
Belum lagi kata-kata serapan asing yang sering debatebel seperti do’a, Alloh, jamaah, maqam, thariqah,ndan lainnya. Kalau sesuai kaidah umum KBBI V ya “doa, Allah, jemaah, makam, tarekat”. Anda menggunakan yang mana?
Manut, atau Membuat Mazhab Sendiri?
Jelas, ini soal versi ya. Saya sendiri, ketika mau mengirimkan artikel ilmiah ke jurnal ilmiah ya jelas harus membaca kaidah selingkungnya, author guidelines, atau pedoman penulisannya.
Mulai dari aturan menulis judul artikel, nama, alamat penulis, abstrak, pendahuluan, hingga penulisan sitasi dan daftar pustaka. Daripada ditolak, saya lebih baik memenuhi kaidah selingkung jurnal ilmiah yang akan saya tuju. Bahkan, meski dalam satu payung kampus, kadang pengelola jurnal di sana juga menerapkan kaidah selingkung yang berbeda.
Artinya, perbedaan dalam kaidah seligkung itu wajar. Sebab, pengetahuan tentang pedoman penulisan berbeda. Latar belakang pendidikan juga berbeda, serta kebiasaan menulis juga berdampak.
Anda terbiasa menulis dengan APA Style, ketika mau menulis dengan SPA Style atau Thurabian, tentu perlu penyesuaian. Bisa sehari, seminggu, sebulan, bahkan setahun.l
Saya menyarankan, kita penuhi permintaan redaksi. Untuk memudahkan kita menerapkan gaya atau manajemen referensi du artikel kita, silakan unduh dan instal Mendeley atau Zotero. Dua aplikasi ini akan memudahkan Anda dalam memenuhi kaidah selibgkung permintaan redaksi jurnal.
Meskipun redaksi atau editor sudah asese artikel kita, namun kendala juga biasanya datang dari reviewer. Mereka juga berbeda dalam memahami kaidah selingkung, meski sudah ada template jurnal, dan kita menulis artikel itu berdasarkan template yang kita unduh.
Ini kan paradoks akbar namanya. Nah, kita tinggal pilih kan! Kalau sudah jadi guru, dosen, ASN, ketika mau menulis artikel ilmiah ya harus mau taat pada kaidah selingkung. Bukan malah memakai mazhab sendiri. Kalau memakai mazhab sendiri dan tidak taat aturan, apa perlu dibuatkan kaidah selingkuh?