Oleh Hamidulloh Ibda
Selama dua hari, Selasa-Rabu 18-19 Agustus 2020, kami Tim Gerakan Literasi Ma’arif (GLM) LP Ma’arif PWNU Jawa Tengah mengawal guru dan pelajar di SMP Islam Al Bayan Wiradesa, Pekalongan. Saat sesi literasi media dan jurnalistik, saya menyampaikan hal krusial ihwal pemberitaan. Soal hoax news, fake news, cyberbullying, hate speech dan idiom dalam jurnalistik yang dikategorikan sebagai musuh atau pengganggu.
Ada hal yang menarik dan perlu diulas lagi di sini. Ini soal sikap pewarta, atau penulis berita rillis yang tidak berimbang. Utamanya sikap pewarta yang bekerja di perusahaan pers mapan. Sebab, menulis berita apa saja jenisnya harus berimbang, tidak boleh berat sebelah. Tak boleh terlalu mainstream kanan, tak boleh pula mainstream kiri. Berita harus moderat. Produk jurnalistik harus moderat. Begitu!
Moderasi Jurnalistik
- Iklan -
Sebuah produk jurnalistik utamanya berita harus memenuhi unsur-unsur sesuai ruh dari media massa atau pers itu sendiri. Berita selain memenuhi unsur 5 W dan 1 H, harus pula memenuhi prinsip pokok, mulai dari to inform (untuk menginformasikan), to educate (untuk mengedukasi), to bridge (untuk menjembatani), to control (untuk mengontrol), to entertaint (untuk hiburan), ditambah to bisnis (untuk bisnis).
Masalahnya, prinsip-prinsip di atas kadang terabaikan dengan beberapa sebab. Mulai dari kepentingan politik praktis, politik media massa, media yang dicengkeram pemiliknya yang kebetulan politisi bahkan ketua umum partai, medianya abal-abal, dan sebab lain. Selanjutnya juga karena berita titipan, settingan, pelintiran, dan tujuan membuat berita palsu (fake news) atau berita bohong (hoax news), perundungan siber (cyberbullying), ujaran kebencian (hate speech).
Saya amati, prinsip moderasi sirna karena beberapa sebab di atas. Padahal spirit jurnalisme kita harusnya tidak bebas nilai. Jurnalis yang baik tentu harus menerapkan empat sifat dasar Nabi Muhammad. Mulai dari sidiq (jujur), amanah (dapat dipercaya), tabligh (menyampaikan apa adanya), dan fatanah (cerdas).
Maklumat sifat-sifat nabi itu tentu harus dimiliki jurnalis. Secara tersirat, ketika mereka mengikuti Uji Kompetensi Wartawan (UKW) yang menyaratkan Standar Kompetensi Wartawan (SKW) juga sudah ada prinsip-prinsip kenabian di atas. Harusnya ini menjadi syarat ketika mereka menempuh kepangkatan atau karir kewartawanan, mulai dari wartawan muda, wartawan madya, dan wartawan utama. Mau yang aktif di PWI, AJI, ITJI, AMSI maupun SMSI.
Tugas kewartawanan adalah tugas kenabian. Sebab ia nubuwah, naba’a, nabi, substansinya adalah kabar, berita, penyampai, atau pewarta sebuah berita, pesan, atau sekadar informasi. Jadi, hukumnya wajib bagi seorang wartawan, pewarta, jurnalis menerapkan empat sifat Kanjeng Nabi Muhammad di atas.
Jika seorang wartawan tidak memiliki syarat-syarat “kenabian” yang baik, maka bisa jadi ia merusak tatatan kehidupan. Wajar jika Nasida Ria pernah merillis lagu berjudul “Wartawan Ratu Dunia” karena apa saja yang ditulis wartawan memengaruhi pembaca koran. Ia laiknya pembentuk suatu warna. Orang baik bisa menjadi buruk karena diberitakan buruk. Orang hitam bisa menjadi putih karena diframing dengan narasi-narasi berita yang putih. Jika demikian, rusaklah dunia kita.
Dalam dunia kejurnalistikan, dikenal cover both sides atau “berimbang tak memihak”. Bagi saya, memihak harus namun pada kebenaran. Dalam praktiknya, menulis berita memang harus apa adanya tanpa njomplang nganan atau njomplang ngiri. Maka solusinya ya harus moderat.
Ayat Jurnalisme
Dalam buku The Elements of Journalism, What Newspeople Should Know and the Public Should Expect (New York: Crown Publishers), Bill Kovach dan Tom Rosenstiel (2001), membuat Sembilan Elemen Jurnalisme.
Pertama, jurnalisme adalah pada kebenaran. Para jurnalis bertugas menyampaikan kebenaran, sehingga masyarakat mendapatkan informasi yang mereka butuhkan untuk berdaulat. Bentuk kebenaran jurnalistik yang ingin dicapai ini bukan sekadar akurasi, namun merupakan bentuk kebenaran yang praktis dan fungsional. Ini penting, karena jurnalis hidup di bawah sistem dan aturan pemilik media. Ketika juragannya kok politisi, bahkan ketua umum partai, ini sangat berbahaya karena sarat kepentingan politik.
Kedua, loyalitas pertama jurnalisme adalah kepada warga (citizens). Pemberitaan dituntut melayani berbagai kepentingan konstituennya: lembaga komunitas, kelompok kepentingan lokal, perusahaan induk, pemilik saham, pengiklan, dan banyak kepentingan lain. Ketiga, esensi jurnalisme adalah disiplin verifikasi. Pembeda antara jurnalisme dengan hiburan (entertainment), propaganda, fiksi, atau seni, adalah disiplin verifikasi. Keempat, jurnalis harus tetap independen dari pihak yang mereka liput. Jurnalis harus tetap independen dari faksi-faksi. Independensi semangat dan pikiran harus dijaga wartawan yang bekerja di ranah opini, kritik, dan komentar. Jadi, yang harus lebih dipentingkan adalah independensi, bukan netralitas.
Kelima, jurnalis harus melayani sebagai pemantau independen terhadap kekuasaan. Jurnalis harus bertindak sebagai pemantau independen terhadap kekuasaan. Wartawan tak sekedar memantau pemerintahan, tetapi semua lembaga kuat di masyarakat. Keenam, jurnalisme harus menyediakan forum bagi kritik maupun komentar dari publik. Apapun media yang digunakan, jurnalisme haruslah berfungsi menciptakan forum di mana publik diingatkan pada masalah-masalah yang benar-benar penting, sehingga mendorong warga untuk membuat penilaian dan mengambil sikap. Ketujuh, jurnalisme harus berupaya membuat hal yang penting itu menarik dan relevan. Tugas jurnalis adalah menemukan cara untuk membuat hal-hal yang penting menjadi menarik dan relevan untuk dibaca, didengar atau ditonton.
Kedelapan, jurnalis harus menjaga agar beritanya komprehensif dan proporsional. Jurnalisme itu seperti pembuatan peta modern. Ia menciptakan peta navigasi bagi warga untuk berlayar di dalam masyarakat. Maka jurnalis juga harus menjadikan berita yang dibuatnya proporsional dan komprehensif. Kesembilan, jurnalis memiliki kewajiban untuk mengikuti suara nurani mereka. Setiap jurnalis, dari redaksi hingga dewan direksi, harus memiliki rasa etika dan tanggung jawab personal, atau sebuah panduan moral. Terlebih lagi, mereka punya tanggung jawab untuk menyuarakan sekuat-kuatnya nurani mereka dan membiarkan yang lain melakukan hal yang serupa.
Dalam perkembangan berikutnya, Bill Kovach dan Tom Rosenstiel menambahkan elemen ke-10, yaitu Warga juga memiliki hak dan tanggung jawab dalam hal-hal yang terkait dengan berita. Elemen terbaru ini muncul dengan perkembangan teknologi informasi, khususnya internet. Warga bukan lagi sekadar konsumen pasif dari media, tetapi mereka juga menciptakan media sendiri. Ini terlihat dari munculnya blog, jurnalisme online, jurnalisme warga, jurnalisme komunitas dan media alternatif. Warga dapat menyumbangkan pemikiran, opini, berita, dan sebagainya, dan dengan demikian juga mendorong perkembangan jurnalisme.
Empat dasar sifat Kanjeng Nabi Muhammad dan ayat-ayat jurnalisme di atas harus digelorakan kembali. Setidaknya, masyarakat sudah literat akan semakin percaya dengan media massa. Sementara yang masih pra literasi, dapat terdidik dengan konsumsi produk jurnalistik yang moderat.
Kini, sudah saatnya moderasi jurnalistik digelorakan. Berita memang tidak boleh memihak, kecuali memihak pada kebenaran itu sendiri. Sebab, hakikat kebenaran juga tidak berat sebelah, ia moderat. Ada pendapat lain?
–Penulis adalah Koordinator Gerakan Literasi Ma’arif (GLM) LP Ma’arif PWNU Jawa Tengah
Baca lagi kumpulan esai-esai Hamidulloh Ibda.