Oleh Hamidulloh Ibda
“Mosok kudu benar plek ngunu kuwi, kan sing penting substansine ya?” Salah satu teman berkelakar karena mendapat sindiran ketika ia menulis ihwal ucapan Kemerdekaan Indonesia. Ya, tiap 17 Agustus sejak era digital memang sudah wajar banyak ucapan bertebaran. Lewat meme, stiker, flayer, pamflet, atau apa saja namanya kita dapat merayakan perayaan sakral bagi bangsa ini.
Soal berbahasa, memang wilayahnya ada tiga; benar-salah, baik-buruk, indah-jelek yang muaranya berangkat dari logika, etika, dan estetika dalam bahasa. Benar sesuai kaidah baku, dalam konteks ini PUEBI berdasarkan Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Nomor 50 Tahun 2015 tentang Pedoman Umum Ejaan Bahasa Indonesia dan KBBI Daring versi V yang dikembangan Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa Kemdikbud RI. Baik sesuai kondisi, situasi, objek, atau mitra tutur ketika bahasa lisan, pembaca ketika bahasa tulisan, dan lainnya. Indah sesuai estetika, wilayahnya sudah sastrawi.
Memang, berbahasa itu “susah diatur”. Maksudnya, bahasa itu bersifat arbitrer, mana suka, sewenang-wenang, sakarepe dewe lah. Wajar, sebelum munculnya media sosial pun berbahasa itu memang sewenang-wenang. Lantaran media sosial itu menjadi media yang mengonstruksi sikap bahasa kita, dan kita melupakan kitab suci bahasa PUEBI, KBBI, dan pedoman lain, maka ya wajar jika sikap bahasa kita “super arbiter”. Asal orang paham, keren, dan berbeda, maka itulah yang dianggap sebagai “bahasa benar, baik, dan indah”.
- Iklan -
Sikap Bahasa Kita
Saya sepakat berbahasa itu ya demikian: benar, baik, indah. Ini diperkuat dengan cabang-cabang ilmu bahasa secara akademik, bisa linguistik yang cakupannya ada pragmatik, fonologi, fonetik, morfologi, sintaksis, semantik, dan lainnya. Ditambah, psikolinguistik, sosiolinguistik, dialektologi, dan lainnya.
Masalahnya, bagaimana sih secara praktis sikap bahasa kita yang kini dibangun melalui media sosial. Intinya bagi saya simpel, perlu menerapkan diglosia. Apa itu? KBBI V menyebut diglosia sebagai situasi kebahasaan dengan pembagian fungsional atas variasi bahasa atau bahasa yang ada dalam masyarakat (misalnya ragam atau bahasa A untuk suasana resmi di kantor dan ragam atau bahasa B untuk suasana intim di rumah).
Diglosia dalam konteks ini bisa terjadi ketika kita menuliskan (bahasa tulis) maupun menuturkan (bahasa lisan). Ucapan-ucapan ihwal kemerdekaan memang bejibun saat 17 Agustus. Banyak sekali yang disebut salah, karena tidak sesuai kaidah. Namun ada satu teman berpendapat, kan berbahasa ada ragamnya, formal dan tidak formal. Masak bermedia sosial harus menerapkan ragam formal? Saya pun berpendapat, ya kalau mau beriman dan bertakwa pada PUEBI ya silakan berbahasa dengan benar, baik, dan indah. Kita pun disyaratkan harus menjadi contoh.
Bahkan ketika dulu kuliah bersama Prof Dr Rustono, beliau menjelaskan ada beberapa orang yang wajib menjadi contoh anutan dalam berbahasa. Pertama, Presiden dan Wakil Presiden. Kedua, Menko dan Menteri. Ketiga, pemimpin lembaga tinggi. Keempat, pemimpin ABRI. Kelima, guru dan dosen. Keenam, wartawan. Ketujuh, sekretaris dan pengonsep pidato. Kedelapan, pemuka agama dan tokoh masyarakat. Kesembilan, semua warga negara, ini tambahan saya sendiri.
Namun, mengapa kita tidak mau berbahasa Indonesia dengan benar terlebih dahulu? Padahal selain sebagai alat komunikasi, bahasa itu berfungsi juga untuk kontrol sosial, ekspresi, adaptasi, bahkan untuk pembentukan sebuah peradaban lewat ilmu. Mana ada ilmu tanpa tulisan? Jadi jelas, sikap bahasa kita harus mengarah pada kebenaran, kebaikan, sekaligus keindahan sesuai posisi, pekerjaan, dan fungsinya masing-masing. Jelas ya!
Beberapa Informasi Kesalahan
Secara umum, ada beberapa kesalahan dalam berbahasa. Mulai dari kesalahan pembentukan kata, pemilihan kata, penyusunan kalimat, penataan penalaran, penerapan kaidah ejaan, kesalahan bahasa dalam meme, surat, status WA, Facebook, dan media sosial lainnya.
Ada beberapa informasi kesalahan yang disebar lewat meme oleh Balai Bahasa, kampus, atau komunitas yang peduli terhadap bahasa. Tak sekadar menyampaikan kesalahan, lewat meme itu juga disebutkan kebenarannya.
Dari catatan yang saya dapat dari meme itu ada beberapa kesalahan dan kesalahan. Pertama, “Dirgahayu HUT RI” adalah kesalahan, “Dirgahayu Republik Indonesia” adalah kebenaran.
Kedua, “Dirgahayu RI ke-75” adalah kesalahan, “Dirgahayu RI” atau “Dirgahayu RI. Selamat Ulang Tahun ke-75” adalah kebenaran.
Ketiga, “Dirgahayu Kemerdekaan Kita ke-75” adalah kesalahan, “Dirgahayu Kemerdekaan Indonesia” adalah kebenaran.
Keempat, “Hari Ulang Tahun Republik Indonesia ke-75” adalah kesalahan, “Hari Ulang Tahun ke-75 Republik Indonesia” adalah kebenaran, “Ulang Tahun Republik Indonesia ke-75” adalah kesalahan, “Ulang Tahun ke-75 Republik Indonesia” adalah kebenaran, “Selamat Hari Ulang Tahun RI ke-75” adalah kesalahan, dan “Selamat Ulang Tahun ke-75 Republik Indonesia” adalah kebenaran.
Kelima, “Peringatan Ulang Tahun RI ke-75” adalah kesalahan, dan “Peringatan Ulang Tahun ke-75 Republik Indonesia” adalah kebenaran. Keenam, “HUT RI ke-75” adalah kesalahan, dan “HUT ke-75 RI” adalah kebenaran.
Kesalahan dan kebenaran ini perlu didakwahkan, disampaikan kepada publik. Sebab, inti dari bahasa itu memang menjadi alat untuk penyampai kebenaran, misi kenabian ini harus diluncurkan lewat bahasa. Kita pun harus rajin belajar, saya juga belajar tentang pokok-pokok bahasa yang benar, pembentukan kata, pemilihan kalimat, penyusunan kalimat, pembentukan paragraf, penataan penalaran, dan penerapan pedoman EBI, KBBI dan dasar lainnya.
Sebagai bangsa yang baik, berbahasa yang benar, baik, indah memang wajib. Ya, bagi saya wajib. Sebab, sifat dari kebenaran itu memang pahit, maka wajar Islam memegang teguh “sampaikan kebenaran walaupun itu pahit”. Kepahitan itulah justru menjadi obat, agar kita terbiasa mencapai kebenaran. Mau dibilang kaku, linier, konservatif, oke bagi saya sih tidak ada masalah. Sebab, kebenaran itu modal awal untuk menggapai kebaikan dan keindahan.
Ini hanya bagian kecil dari wujud kepedulian berbahasa. Pada momentun Agustus 2020 ini, tentu menjadi wahana juga untuk menyampaikan kebenaran walaupun lewat meme. Lewat tulisan ini, meme sebenarnya menjadi sesuatu kecil untuk menyampaikan sesuatu yang benar. Termasuk, kebenaran dalam berbahasa. Lalu, apa sing pentingnya meme bagi Anda?
– Dosen Bahasa Indonesia Lanjutan STAINU Temanggung