Oleh: Suwanto
Tahun ini bangsa Indonesia merayakan HUT ke-75 RI. Sudah seharusnya momentum ini dijadikan selain untuk mengisi kemerdekaan, juga bagaimana bangsa ini bersama-sama melawan berbagai bentuk penindasan, di antaranya adalah memerangi kekerasan seksual terhadap perempuan.
Utami (2013) menegaskan bahwa kekerasan seksual tidak hanya dimaknai sempit secara fisikal berbasis peristiwa seks saja. Kekerasan seksual dapat berupa jejak hubungan seksual yang secara emosional dan psikilogis tidak beradab, tidak manusiawi, serta tidak terselesaikan secara pantas dan seimbang.
Setiap warga negara berhak mendapatkan perlindungan negara dari segala bentuk kekerasan, termasuk kekerasan seksual. Segala bentuk kekerasan ini tak ubahnya seperti penjajahan terhadap martabat kemanusiaan yang harus dihapus oleh negara. Sudah saatnya para perempuan yang notabene kerap kali menjadi korban kekerasan seksual dimerdekakan dari segala tindakan kekerasan seksual.
- Iklan -
Apalagi, kalau kita merujuk pada Catatan Tahunan (CATAHU) kasus kekerasan terhadap perempuan di sepanjang tahun 2019. Data yang dilaporkan membuat kita geleng-geleng kepala. Bagaimana tidak, CATAHU 2020 mencatatkan data yang mengejutkan. Setidaknya terdapat 431.471 kasus kekerasan terhadap perempuan yang dilaporkan dan ditangani sepanjang tahun 2019. Jumlah ini naik 6% dari tahun sebelumnya yakni terdapat 406.178 kasus (www.komnasperempuan.go.id).
Data kasus kekerasan seksual terhadap perempuan tersebut tentu masih seperti fenomena gunung es (ice-berg), di mana masih banyak kasus kekerasan seksual di luar sana sebenarnya jauh lebih banyak dari yang tercatat. Bahkan, Komnas Perempuan menyebut paling tidak dua jam sekali ada tiga perempuan di Indonesia yang mengalami kekerasan seksual. Ini adalah pertanda buruk bahwa kondisi perempuan di Indonesia mengalami ancaman dan jauh dari kata aman.
Belum lagi, banyak kasus kekerasan seksual tersebut seperti angin lalu, menguap begitu saja, tanpa ada penyelesaian hukum yang adil kepada si korban. Contoh bukti data Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK) hanya bisa memberikan perlindungan terhadap 440 korban dalam kurun waktu 2014 hingga Mei 2020. Artinya, sebagian besar lainnya terbengkalai.
Ada segudang pemicu kenapa terjadi demikian, diantaranya karena banyak perempuan yang menjadi korban khawatir, sehingga tak berani melaporkan. Alasan kurangnya bukti juga kerap dijadikan pembenar di tingkat kepolisian untuk menghentikan penanganan kasus. Faktor inilah yang semakin membuat para pelaku kejahatan seksual kian liar melancarkan aksinya. Sistem hukum yang tidak ketat inilah yang juga membuat para pelaku kerap kali lolos dari jeratan bui.
Sudah saatnya perempuan berani untuk melapor. Apalagi, ketika tindakan tersebut mengarah pada ranah kriminal. Jangan takut untuk melaporkan kepada pihak berwajib, apabila mengalami pelecehan seksual tersebut, baik yang berupa sentuhan atau rabaan, hingga ke tingkat pemaksaan sekalipun.
Jika merasa khawatir melaporkannya langsung kepada pihak berwajib, bisa juga mengutarakannya terlebih dahulu kepada orang terdekat seperti orang tua. Karena perempuan patut untuk dihargai dan dipandang sederajat, sehingga tidak ada yang bisa memperlakukan mereka dengan semena-mena. Apalagi, sampai melakukan pelecehan. Jangan diam, karena hal itu malah semakin membuat para pelaku merasa aman untuk terus melakukan tindakan tersebut.
Memang harus jujur diakui, sistem hukum di negeri ini belum sepenuhnya menjamin perlindungan terhadap korban kekerasan seksual. Sanksi hukuman pun bahkan tidak setimpal dengan perbuatan. Ambil contoh pelaku kejahatan seksual terhadap anak dijerat dengan hukuman ringan. Undang-Undang Perlindungan Anak menyatakan hukuman bagi pelaku kejahatan ialah 3 hingga 15 tahun penjara saja. Adapun berdasarkan KUHP, pelaku pencabulan anak maksimal dihukum 9 tahun penjara. Ini tentu belum setimpal dengan efek yang ditimbulkan akibat dari kekerasan seksual tersebut yang kadang kala berkepanjangan dampaknya.
Persoalan semakin diperparah oleh masih banyaknya masyarakat justru menyalahkan pihak korban yang bersalah, karena dianggap menggoda, merayu, atau mengundang pelaku untuk melakukan kekerasan seksual tersebut. Banyak media juga yang seolah serempak membuat posisi perempuan sebagai korban semakin terjepit dengan membahas seputaran hal-hal privasi seperti nama, tempat tinggal, pekerjaan, sekolahan, orang tua dan hal-hal lain yang membuat mudah orang lain untuk menelusuri korban tersebut.
Demikian ruwet sengkarutnya kasus kekerasan seksual terhadap perempuan ini, hingga dari sisi korban kerap kali mengalami traumatik, dan goncangan hebat pada mental psikisnya akibat kekerasan seksual. Bahkan tak sedikit yang merasa sudah tak punya lagi harapan masa depan, misal karena kasus pemerkosaan.
Kalau sudah demikian agaknya kita perlu membaca dan merenungi Novel buah pena Muyassaroh Hafidzoh (2020) berjudul “Hilda; Cinta, Luka, dan Perjuangan”. Novel ini memberi kita pemahaman berkaitan dengan kekerasan seksual terhadap perempuan serta bagaimana memaknai hidup secara seimbang.
Tokoh Hilda sebagai sosok kuat dalam novel tersebut digambarkan sebagai perempuan kuat berjuang mempertahankan kehidupannya dan melawan trauma akibat menjadi korban kekerasan seksual yang dialami di bangku sekolahan. Perempuan cerdas dengan kemampuan di atas rata-rata berusaha untuk tegar memperjuangkan masa depannya seusai kejadian pemerkosaan yang menimpanya.
Pasca kejadian naas tersebut Hilda dan keluarganya didera oleh berbagai konflik sosial seperti bullying, cacian, kucilan, dan anggapan minor lainnya. Bahkan lembaga pendidikan enggan menerima kejadian yang secara nalar bukan atas kehendak Hilda. Ia pun dikeluarkan dari sekolah.
Beruntung Hilda memiliki sosok Ibu yang hebat yang selalu merawat Hilda dengan penuh kasih sayang. Hilda pun akhirnya menemukan sosok laki-laki bernama Wafa yang menerimanya dengan tulus. Kemudian di akhir cerita kita disuguhi mengenai bagaimana begitu terhormatnya perempuan dalam pandangan Al-Qur’an terkait keadilan gender.
Meski kisah Hilda adalah novel, namun gambarannya kerap kali terjadi di dunia nyata. Novel tersebut menjadi cerminan bahwa masyarakat kita belum mampu berperilaku adil untuk membedakan antara perkosaan dan perzinaan. Seolah dipukul rata, yang berimbas korban kekerasan seksual atau perkosaan merasa pupus harapan masa depannya. Bahkan, tak sedikit akhirnya bunuh diri.
Oleh karenanya, sudah saatnya kita sadar untuk memperlakukam perempuan korban kekerasan seksual dengan sentuhan kemanusiaan. Perlakukan mereka dengan lembut penuh kasih sayang. Bangkitkan semangat mereka untuk meniti masa depan. Nyalakan asa agar mereka selalu memiliki motivasi hidup maju.
Dukungan orang tua dalam keluarga serta lingkungan masyarakat sangat berperan besar dalam pemulihan psikologis secara menyeluruh. Korban kekerasan seksual terhadap perempuan perlu kita dorong agar selalu punya semangat menata kehidupan dan mimpi-mimpinya.
Selain itu pendidikan seksual juga dirasa penting diberikan kepada perempuan. Mengingat pengetahuan yang diperoleh seseorang pada umumnya adalah hasil edukasi. Adapun edukasi ini dapat dilakukan oleh orang tua, lembaga pendidikan, tokoh agama, tokoh adat, dan semua elemen yang mampu untuk bekerja sama untuk mengedukasi masyarakat. Pemanfaatan media sosial sebagai wadah sosialiasi juga dapat dimanfaatkan secara baik dalam rangka tujuan ini.
Apabila kita mampu menciptakan lingkungan yang positif melalui edukasi yang baik maka kekerasan seksual dapat kita cegah karena masyarakat kita hidup menurut kebiasaan positif yang kita bangun.
Selain itu di level pemerintahan atau negara, pembaruan hukum sangat perlu dilakukan. Hal ini bertujuan untuk memberikan keadilan bagi para korban kejahatan seksual melalui tindakan yang tegas bagi para pelaku atau predator seksual. Pembaruan hukum ini juga diharapkan mampu memberikan dampak pencegahan yang memungkinkan untuk menekan kemunculan kasus-kasus kekerasan seksual secara berulang.
Pembaruan hukum tersebut sudah seharusnya mencakup ranah pencegahan, perlindungan bagi korban, penanganan, dan pemulihan korban kekerasan seksual yang dilaksanakan pemerintah, pemerintah daerah, badan pendidikan, lembaga masyarakat, dan keluarga. Harapannya dengan langkah itu semua serta melalui momentum HUT ke-75 RI ini perempuan Indonesia benar-benar merdeka dari kekerasan seksual, semoga.
-Pengurus Takmir Masjid Kagungan Dalem, Lempuyangan Yogyakarta