Oleh Irham Wibowo
Semangat kebangsaan adalah salah satu pilar yang menyatukan komponen pejuang se-tanah air. Nusantara yang dahulu terdiri atas kerajaan-kerajaan lokal dan masyarakat adat, memiliki musuh yang sama yaitu kolonialisme dan segala macam bentuk penjajahan serta penindasan. Perasaan senasib dan sepenanggungan itulah kemudian memantik semangat kebangsaan dari komponen pejuang yang ingin membebaskan bangsa Indonesia. Sayangnya setelah 75 tahun bangsa Indonesia merdeka, semangat kebangsaan yang menggebu baru nampak ketika memasuki bulan Agustus, di mana semarak pemasangan atribut merah-putih, perlombaan, hingga malam tirakatan. Sejatinya nasionalisme itu bukan sekadar slogan yang menggema jelang peringatan kemerdekaan. Semangatnya harus terus berkobar tanpa mengenal situasi dan kondisi.
Terma Republik Indonesia (RI) sebagai bangsa merdeka baru dikenal secara luas pascakemerdekaan tahun 1945. Usaha untuk mencapainya memerlukan waktu yang cukup lama dan pengorbanan nyawa yang tidak sedikit. Banyaknya Taman Makam Pahlawan yang berdiri di seluruh Indonesia menjadi bukti nyata bahwa kata ‘merdeka’ pada masanya dianggap suci dan harus diperjuangkan oleh segenap komponen bangsa, serta menjadi kata yang menakutkan dan tabu untuk diucapkan bagi golongan penjajah
Menumbuhkan kesadaran ideologis pada setiap warga negara dalam memperjuangkan tegaknya panji Merah-Putih merupakan kebutuhan primer. Indonesia adalah negara majemuk dengan beragam suku, agama, ras, golongan, adat istiadat yang terbingkai dalam satu semboyan Bhinneka Tunggal Ika. Para pendiri bangsa sadar bahwa heterogenitas negara Indonesia sejatinya merupakan karunia Ilahi yang harus dijaga dan dipertahankan. Sehingga satu hari pascakemerdekaan diputuskan oleh founding fathers, Indonesia adalah negara kesatuan yang berbentuk republik. Guna mengikat seluruh komponen bangsa yang tersebar dari Sabang sampai Merauke, maka nasionalisme menjadi kunci utama dalam merajut tenun kebangsaan dan mempertahankan kedaulatan negara supaya tercapai cita-cita bersama.
- Iklan -
Dalam konteks Islam, nasionalisme sering dihubungkan dengan Piagam Madinah. Pandangan ini, dikemukakan oleh sarjana-sarjana Barat, diantaranya Montgemery Watt (1988) dan Bernard Lewis (1994). Pandangan ini diawali dengan asumsi, bahwa sosok Nabi Muhammad SAW. adalah pemimpin bagi semua masyarakat Madinah. Pada saat itu, Madinah dihuni oleh masyarakat yang heterogen baik dari suku, strata sosial maupun agama. Salah satu fungsi Piagam Madinah adalah untuk mengikat persaudaraan, kebersamaan, dan persatuan dalam menangkal serangan dari luar Madinah.
Di Indonesia, nasionalisme “berbalut” agama muncul pada abad ke-19, setelah pengaruh kolonialisme Belanda mendominasi kerajaan-kerajaan lokal di Indonesia. Namun demikian, gerakan nasionalisme melawan kolonialisme di Indonesia, menemukan “wajah baru” setelah berdiri beberapa organisasi yang mengusung pembaruan pemikiran di bidang pendidikan Islam dan sosial, sebut saja SDI, Sarekat Islam, Muhammadiyah, Nahdlatul Ulama (NU), Persis, Perti, dan lainnya. Dari beberapa organisasi “bernafaskan Islam” tersebut, terdapat banyak pahlawan Islam yang berjiwa nasionalistik. Tidak sedikit pula, diantaranya terdapat tokoh-tokoh bangsa yang memiliki latar belakang sebagai ahli ilmu agama alias ulama.
Sebagai negara dengan jumlah penduduk muslim terbanyak di dunia, sudah barang tentu ormas Islam di Indonesia peran dan kontribusinya cukup menonjol. Salah satunya adalah NU yang berdiri 19 tahun sebelum RI merdeka. Organisasi NU beserta Banom dan seluruh lapisan kadernya melalui semangat hubbul wathan minal imaan terbukti hingga saat ini menjadi garda pelindung dan pemersatu bangsa dari segala macam rongrongan yang hendak memecah belah NKRI.
NU dengan ormas-ormas Islam menyandang beban berat dipundaknya, karena selain mengemban misi dakwah, mereka juga memikul tugas ganda sebagai agen pemersatu bangsa alias misi kebangsaan. Tugas reguler ormas Islam di Indonesia memang mensyiarkan ajaran Islam, namun sejatinya misi kebangsaan tidak boleh ditinggalkan. Perjuangan generasi muda bangsa tak perlu lagi dilakukan dengan berlelah-lelah mengangkat senjata, menguras keringat, hingga mengorbankan nyawa, kini perjuangan kita adalah menyemai nama harum mereka agar kelak Indonesia tidak tercerai-berai.
Banyak satuan pendidikan yang dikelola dan bernaung di bawah Ormas Islam, seperti yang dijalankan oleh Lembaga Pendidikan (LP) Ma’arif NU dengan jumlah 20.136 unit, yang terdiri atas 12.674 madrasah dan 7.462 sekolah. Ribuan sekolah dan madrasah Ma’arif NU tersebut dapat dijadikan sebagai media penanaman dan pengejawantahan nilai-nilai Islam Kebangsaan yang dilakukan melalui berbagai macam program kerja. Guru mata pelajaran Pancasila dan Kewarganegaraan (PKn) sebagai ujuang tombak, -dengan dukungan penuh dari warga sekolah,- bertindak layaknya pemimpin orkestra yang akan menentukan ke mana arah dan langkah, serta berapa lama program Islam Kebangsaan dijalankan.
Para peserta didik di LP Ma’arif NU kedepannya jangan lagi hanya belajar melulu di dalam kelas. Upayakan agar mereka bisa merasakan atmosfer luar sekolah dengan mendatangi obyek-obyek vital seperti gedung parlemen (DPRD), kantor kepala daerah, tangsi militer, atau mengundang para tokoh yang dipandang berpengalaman di bidangnya ke sekolah atau madrasah. Apalagi kita tahu NU dengan jejaring nasionalnya yang tidak diragukan lagi kapasitas para wakilnya di lingkungan pemerintahan dan legislatif.
Guna mengasah daya tajam dan sikap kritis anak didik, mereka bisa diikutkan pula pada perlombaan tingkat lokal dan nasional. Di Jawa Tengah ada ‘Jateng Leadership Project’, sebuah proyek kebangsaan yang bertujuan untuk mewujudkan generasi emas (muda) Indonesia, sedangkan pada level nasional setiap tahun DPR RI menyelenggarakan kegiatan ‘Parlemen Remaja’ di mana pesertanya adalah para pelajar pilihan mewakili 34 provinsi di Indonesia.
Menyemai program Islam Kebangsaan dalam lingkungan pendidikan berbasis Islam, bukan bermaksud membuat anak didik (para santri/murid) menjadi sekular. LP Ma’arif NU dengan bermacam satuan pendidikannya dapat berperan sebagai katalisator pendidikan Islam moderat, sehingga muncul di masyarakat kader-kader muda NU yang rahmatan lil ‘alamiin, toleran, dan berjiwa ke-Indonesia-an.
-Alumni Pascasarjana Fakultas Syariah dan Hukum UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta tahun 2019. Mantan pengajar (ustadz) di sebuah pesantren di Bantul, DIY. Kini menyibukkan diri sebagai mubaligh.