Oleh Hamidulloh Ibda
Judul tulisan ini bukan bermaksud menjelekkan pihak tertentu. Bahkan, judul seperti ini justru mengungkap sisi buruk profesi saya sendiri, dosen. Lantaran dunia perbrokeran, kartel, atau jual beli tugas akhir skripsi, tesis, disertasi, artikel ilmiah ini justru dilakukan oknum dosen. Ironis!
Saya, kolega, dan sahabat-sahabat yang berkecimpung di dunia literasi, ada yang masih kuat memegang tali idealismenya. Ada pula yang memang “melacurkan” diri karena alasan tertentu, sehingga tali idealisme itu putus secara alami bagai layang-layang yang putus talinya di siang bolong.
Paradoks memang. Waktu mahasiswa idealis, setelah lulus ironis. Saya tidak menyebut pragmatis, karena ini soal kebutuhan, keterdesakan, kemepetan, himpitan hidup lah. Kalau niat pragmatis bisa dilakukan sejak dulu saat kuliah, namun usai lulus lain masalah.
- Iklan -
Memang idealis itu susah, apalagi sudah berkeluarga, punya anak, kebutuhan menggunung. Bahkan Tan Malaka (1897-1949), Bapak Republik pernah berkata “idealisme adalah kemewahan terakhir yang hanya dimiliki oleh pemuda”.
Kalau terlalu idealis, tidak punya pekerjaan tetap dan penghasilan cukup, bisa jadi istri minta cerai karena dapur tak berasap. Bisa terbakar kepala ini karena besar pasak daripada tiang.
Broker Literasi
Dalam KBBI V, broker berarti makelar, pialang, atau pedagang perantara yang menghubungkan pedagang satu dengan yang lain dalam hal jual beli atau antara penjual dan pembeli (saham dan sebagainya). Broker literasi, berarti makelar di dunia literasi.
Broker literasi, dalam praktiknya beragam. Saya menemukan beberapa pola, dari pengamatan atau cerita teman. Pertama, jasa penulisan artikel ringan. Bisa opini, esai, atau sejenisnya. Intinya, si broker ini siap menuliskan seorang yang ingin tenar, atau ingin tulisan hasil buah pikir dari si broker itu dimuat di media massa. Tentu, dengan nama, afiliasi dan foto sang pembeli atau pemesan tulisan.
Kedua, broker di dunia tugas akhir dalam perkuliahan. Bisa yang ringan seperti makalah, atau yang berat seperti tugas akhir untuk D3, skripsi untuk S1, tesis untuk S2 dan disertasi untuk S3.
Ketiga, broker artikel ilmiah untuk kenaikan pangkat. Seperti artikel ilmiah yang siap dipublikasikan di jurnal ilmiah, prosiding seminar, PTK, PTS, atau sejenisnya.
Keempat, broker buku. Beragam juga jenis ini. Buku ilmiah, diktat, kumpulan makalah, hasil riset dan sejenisnya. Bisa ia hanya menuliskan naskah saja, atau paket lengkap sudah menghasilkan buku yang sudah ada ISBN, KDT, barcode dan sudah tercetak.
Kelima, broker antologi puisi atau cerpen. Kategori buku antologi juga bisa dijadikan bahan kenaikan pangkat untuk mereka yang ASN. Para broker tahu kriteria, berapa jumlah puisi/cerpen yang laik dijadikan syarat Penilaian Angka Kredit (PAK).
Keenam, kategori broker olah data. Ada yang canggih, pakai SPSS, atau manual. Saat mengambil uang di ATM dekat kampus besar di Semarang, saya pun kaget, di lingkungan kampus ada banner tertempel “Olah data, skripsi, tesis, disertasi, hubungi nomor….” Ini sudah gendeng namanya.
Ketuju, broker artikel ilmiah di jurnal yang sudah terindeks Sinta, Scopus, WOS, atau Thomson Reuters, dan sejenisnya. Jenis ini biasanya untuk syarat ujian tertutup atau terbuka (ujian promosi) doktor. Atau untuk doktor yang akan naik jenjang ke guru besar / profesor. Secara syarat administratif, mereka sudah laik, namun susah menembus Scopus, makanya butuh broker.
Kedelapan, broker administrasi seperti RPP, Silabus, atau RPS, kurikulum, dan sejenisnya ketika sekolah, madrasah, kampus mau akreditasi.
Kesembilan, broker sertifikat. Lagi-lagi soal kepangkatan, berkas berkelas sebagai syarat naik pangkat atau akreditasi. Broker sertifikat juga menjadi bagian kejahatan akademik yang meresahkan.
Kejahatan Intelektual
Jenis karya dan pola brokerisasi di atas jelas kejahatan intelektual yang harus diputus mata rantainya. Kejahatan ini rentan lahir karena himpitan ekonomi. Bisa jadi karena kurang ekonomi, fakir, atau memang karena sudah jadi profesi, pekerjaan, kemaruk lah bahasa kasarnya.
Solusinya sangat sederhana. Pertama, kesadaran dan kejujuran berpikir, bertindak, dan menghargai otentitas. Karya jelek lebih berharga daripada bagus tapi hasil plagiasi, duplikasi, fabrikasi maupun falsifikasi.
Bukankah uang yang didapat dari hasil pelacuran akademik itu subhat bahkan haram? Akankah Anda membiarkan tumbuh daging haram pada anak-anakmu dari hasil broker itu? Pikir sendiri lah, ndak perlu dalil-dalil naqli atau aqli.
Kedua, perlu kejelian, ketelitian, dan objektivitas dalam mengevaluasi karya. Baik itu kampus, dosen pembimbing, promotor, redaksi jurnal, atau tim PAK bagi ASN.
Selama ini, apa sempat dosen pembimbing mengecek sampai detail karya-karya mahasiswa bimbingannya itu? Apa sempat sampai akarnya, para tim penilai PAK itu menelisik dari mana berkas-berkas yang dinilai? Sempat jugakah, asesor akreditasi mengecek borang-borang yang diasesmen? Meski ada surat pernyataan bermaterai, ah bisa “diakali” kan?
Ketiga, tindakan tegas. Kejahatan kriminal selama ini ditindaktegas. Namun, sanksi broker literasi di atas masih tercengkeram dan tersendat dengan bayang-bayang “kebebasan mimbar akademik”. Abai dan tutup mata. Buktinya, temukan saja iklan olah data di dekat-dekat kampus. Di Semarang banyak, itu yang tampak, la yang “kucing-kucingan?”
Keempat, menghilangkan syarat-syarat akademik itu. Ini solusi terakhir, karena kadangkala perlu, membunuh tikus itu sekaligus menghancurkan lumbungnya.
Kejahatan itu lahir karena ada celah, kesempatan, dan syarat akademik yang bertele-tele tersebut. Tapi, ini ketika pesimis jika SDM kita lemah. Sebab, banyak ahli madya produk duplikat, sarjana produk jahitan, magister produk plagiat, doktor produk imitasi. Bisa-bisa, guru besar produk broker.
Mbok ya cari jalan lain. Baik untuk broker, atau pembeli produk broker literasi ini. Kayak tidak ada jalan lain saja.
Saya ingat salah satu bait dalam pelajaran saat MTs yaitu Kitab Ta’lîm al-Muta’allim Tharîq at-Ta’allum karya Imam al-Zarnûji. Bait itu “fasadun kabirun alimun mutahatikun waakbaru minhu jahilun mutanasikun. Huma fitnatuh fi al-alamina adzimatun liman bihima fi dinihi yatamassaku”. Artinya “sungguh merupakan kehancuran yang besar, seorang yang alim yang tak peduli. Dan lebih parah lagi dari itu, seseorang yang bodoh yang beribadah tanpa aturan”.
Hadratussyeikh KH Hasyim Asyari (1871-1947) dalam kitab Adab al Alim wa al Muta’allim juga berpesan agar pendidik harusnya “mendekatkan murid pada hal-hal terpuji”. Bukan sebaliknya, memberi teladan yang kurang bijak bahkan mencontohkan kemunkaran.
Ki Hajar Dewantara (1889-1959) dalam ajarannya “Neng-Ning-Nung-Nang” memberi pelajaran sakral. Guru harus “Neng” atau “meneng”, tenteram lahir batin, tidak grogi kita menjadi “Ning”, wening, bening, jernih pikiran kita, mudah membedakan ntara yang haq (benar) dan bathil (salah), guru menjadi “Nung” atau hanung, kuat sentosa, kokoh lahir dan batin untuk mencapai impian. Puncaknya “Nang”, menang, dan mendapat wewenang, berhak dan kuasa atas usaha guru itu sendiri.
Para pepunden di dunia pendidikan kita, sudah memberi pesan sakral bahwa guru harusnya ya demikian. Menjadi manusia alim pikir dan alim laku, mencontohkan kebenaran, bukan semakin pandai malah semakin jahat perilakunya. Salah satunya menjadi broker literasi.
Lalu, apakah Anda yang pandai ini akan terus jadi broker?
–Hamidulloh Ibda, Koordinator Gerakan Literasi Ma’arif (GLM).
Baca lagi kumpulan esai-esai Hamidulloh Ibda.
Miris banget, trmasuk keberadaan ghost writer.