Oleh S. Prasetyo Utomo
/1/
Dalam hati saya selalu bertanya-tanya: mengapa kian banyak menemui puisi yang dicipta sebagai ekspresi kritik terhadap bangsa kita? Apakah memang cara mengeskpresikan kecintaan terhadap bangsa dan negara sudah mengalami pergeseran estetika? Atau memang telah terjadi pembusukan dalam integritas berbangsa karena hegemoni kekuasaan?
Sejak awal mula kemunculan puisi modern Indonesia senantiasa diwarnai dengan tema integritas kebangsaan. Tiap kali saya membaca puisi-puisi yang dicipta pada masa kolonial, bertabur metafora-metafora kebangsaan. Puisi-puisi itu dicipta dengan imaji dan memancarkan ekspresi nasionalisme, persatuan, dan kemerdekaan. Dorongan untuk mencipta puisi bertema kebangsaan, dengan konvensi-konvensi estetika yang belum sepenuhnya bebas dari tradisi lama, telah memberi empati tentang interpretasi politik pragmatis.
- Iklan -
Pada mulanya Muhamad Yamin, sebagai seorang cendekiawan yang menyadari dominasi kekuasaan Belanda, menulis puisi “Indonesia Tumpah Darahku”. Dalam puisi ini saya menangkap sugesti tentang kesadaran kebangsaan, tanah air, dan integritas aneka suku dalam larik: “Bangsa Indonesia bagiku mulia/ Terjunjung tinggi pagi dan senja/ Sejak syamsiar di langit nirmala/ Sampai malam di hari kelam/ Penuh bintang cahaya bulan/ Mengapalah mulia, handai dan taulan/ Badan dan nyawa ia pancarkan//”.Puisi ini sangat terikat konvensi estetika puisi lama, tetapi secara tematik mendobrak belenggu kemapanan dominasi kekuasaan kaum kolonial. Dengan metafora, penyair menyusupkan gagasan mengenai makna berbangsa dan bernegara. Tampak benar bahwa kesadaran kebangsaan itu dimulai dari kaum intelektual seperti Muhamad Yamin, yang menafikan semangat kedaerahan, suku, dan kubu kekuasaan.
Begitu pula dengan puisi Sutan Takdir Alisyahbana “Menuju ke Laut”: Kami telah meninggalkan engkau/tasik yang tenang, tiada beriak/diteduhi gunung yang rimbun/dari angin dan topan/ Sebab sekali kami terbangun/dari mimpi yang nikmat//. Betapapun ia berorientasi ke Barat dan pragmatis, tetapi sesungguhnya ia mencipta sugesti akan perubahan kebudayaan yang statis, usang, dan terselubung mimpi kemakmuran. Ia memberikan kesadaran pada masyarakat akan tantangan zaman, perubahan kultur yang dinamis, yang dimetaforakan sebagai “tasik yang tenang, tiada beriak”. Ia menghendaki kultur yang dinamis, yang meninggalkan budaya masa lalu, budaya lama yang lapuk: tercerai-berai, terbelenggu dominasi kekuasaan kolonial.
/2/
Satir, kritik sosial-politik yang terselubung humor, menjadi salah satu cara yang kemudian diekspresikan penyair untuk keutuhan bangsa dan negara. Taufiq Ismail dengan puisi “Kembalikan Indonesia Padaku” mencipta satir kecemasan akan hegemoni kekuasaan yang tak bisa memberi kesejahteraan hidup rakyat. Akan tetapi, sesungguhnya, dalam satir kecemasan itu ia melihat hal sebaliknya: Hari depan Indonesia adalah dua ratus juta mulut yang menganga, dan/ di dalam mulut itu ada bola-bola lampu 15 wat, sebagian putih/ dan sebagian hitam, yang menyala bergantian// Satir menjadi ekspresi bahasa yang dipilih untuk melancarkan kritik terhadap hegemoni kekuasaan, agar mengembalikan kesejahteraan rakyat, memulihkan harapan mereka. Satir yang mengandung makna paradoks bukankah ujaran kebencian, bukan pula upaya untuk menjatuhkan hegemoni kekuasaan.
Saya tak bisa mungkir bahwa memang berkembang pengaruh politik pragmatis dalam penciptaan puisi. Akan tetapi, bukan berarti bahwa puisi lantas diturunkan kadar estetikanya sebagai untaian bahasa verbal yang menyerang kubu politik tertentu. Teks puisi yang mengeskpresikan satir – kritik, parodi, atau sindiran – menghadirkan estetika oposisi, dengan penafsiran yang tak terduga, untuk menciptakan norma-norma pandangan yang baru. Penyair menciptakan kode-kode baru. Inilah yang dilakukan Sutardji Calzoum Bachri dengan puisi “Tanah Airmata”: tanah airmata tanah tumpah dukaku/ mata air airmata kami/ di sinilah kami berdiri/menyanyikan airmata kami//. Sutardji Calzoum Bachri mempermainkan kata, menciptakan parodi fakta, tetapi dengan kecintaan terhadap bangsanya. Sama seperti Taufiq Ismail, ia tak meruntuhkan hegemoni kekuasaan kubu politik tertentu.
Begitu pula dengan Hamid Jabbar – yang meninggal di panggung pembacaan puisi – mencipta puisi dengan satir. Ia bermain-main dengan fakta, imaji, empati, dan metafora. Ia berhadap-hadapan dengan hegemoni kekuasaan yang kuat, dan menciptakan estetika oposisi, mencipta simbol-simbol multitafsir, dan mengalirkan kemampatan imaji pembaca akan realitas politik negerinya. Ia melakukan penjelajahan dan pencarian estetika yang bergeser terus-menerus dalam puisi “Indonesiaku”: (Barangkali berjuta pohon telah tumbang/ dalam pacuanmu. Barangkali berjuta mulut telah mengeringkan/ tanahmu o indonesiaku. Barangkali berjuta kemelut telah menguap-udarakan segala airmu pengap/ o indonesiaku. O siapakah yang telah tercerabut, sayangku/ engkau tanah-airku atau aku anak-negerimu?)//. Betapa tajam parodi yang disampaikan Hamid Jabbar, tetapi ia berada dalam empati kebangsaan, yang meminta katarsis: agar negara dan bangsa Indonesia tak tercerabut dari akar budayanya.
/3/
Para penyair yang lahir sekitar tahun 1960-an, yang menghadapi pergulatan politik masa reformasi dalam proses kreatif mereka, dan mengalami pergeseran hegemoni kekuasaan Orba, cenderung memandang persoalan kebangsaan dengan kritik yang terselubung humor. Kadang kritik mereka terasa sangat tajam, dengan diksi lugas sebagai sebuah gugatan, atau bahkan kebangkitan, untuk menjadi bangsa dengan kesadaran yang baru. Di antara para penyair itu, saya menandai beberapa nama yang terkemuka seperti Eka Budianta, Agus R. Sarjono, Dorothea Rosa Herliany, dan Jamal D. Rahman.
Pada puisi Eka Budianta, “Menuju Negeri Abadi”, satir yang disampaikannya dikemas dalam diksi yang lebih lembut. Ia memasuki ruang kontemplasi pembacanya, untuk mencapai kesadaran bahwa kekuasaan selalu dilingkupi keterbatasan-keterbatasan, sebuah masa yang tak akan kekal: Aku takut negara ini akan runtuh/ Sesaat setelah lebaran, sesaat sebelum natal/ Sesaat sesudah nyepi, sesaat sebelum waisyak/ Aku tahu tentara rezim akan hancur/ Dan muncul penguasa baru//.
Puisi itu ditulis pada tahun 1998, yang menandai pergantian kekuasaan Orba. Pembusukan dominasi kekuasaan dengan kekuatan militer, dalam keyakinan penyair, akan mengalami kehancuran, dan muncullah penguasa yang baru. Ia tak lagi memerlukan metafora, tak memerlukan simbol, kias, untuk menyembunyikan kritiknya terhadap kehancuran kekuasaan lama, dan harapan munculnya kekuasaan baru.
Satir terhadap nasib bangsa itu pula yang menggerakkan daya cipta Agus R. Sarjono dengan puisi “Demokrasi Dunia Ketiga” yang masih sarat dengan kekerasan militer. Ia mencipta satir dalam puisi untuk mengolok-olok dominasi kekuasaan yang dirasuki kekerasan militer: Kalian harus demokratis. Baik, tapi jauhkan/ tinju yang kaukepalkan itu dari pelipisku/bukankah engkau…Tutup mulut! Soal tinjuku/ mau kukepalkan, kusimpan di saku/ atau kutonjokkan ke hidungmu/ tentu sepenuhnya terserah padaku//. Sebagaimana Eka Budianta, Agus R. Sarjono tidak perlu lagi mencipta puisi dengan metafora, simbol, atau bahasa kias yang menyembunyikan ideologi yang ingin diekspresikannya.
Dorothea Rosa Herliany cenderung main-main dengan satir dalam puisi “Indonesia, Suatu Hari”: hidup yang sesungguhnya adalah mimpi yang lugu/ begitu singkat dan menggemaskan, atau ketakutan/ yang aneh dan menggelikan//. Satir yang dilontarkan Dorothea Rosa Herliany terasa lebih menikam dan meminta perenungan karena dihadirkan dalam metafora. Tak semata-mata diekspresikannya dengan bahasa lugas. Ia masih mengolok-olok kekuasaan sebuah negeri yang menggunakan kekerasan militer untuk membangkitkan “ketakutan” rakyat.
Saya juga menemukan satir kebangsaan itu pada puisi Jamal D. Rahman, “Doa Indonesia 2000”: tanah tak tahu airnya/ langit tak tahu lengkungnya/laut tak tahu palungnya/ tangkai tak tahu batangnya/ daun tak tahu uratnya/ pohon tak tahu seratnya//. Keprihatinan kebangsaan yang dituangkannya dalam metafora menyebabkan satir itu terasa lebih mendalam dalam perenungan. Jamal D. Rahman mengolok-olok alienasi kita terhadap tanah air, jatidiri, dan integritas bangsa.
/4/
Empat hal dilakukan penyair membawa daya cipta puisi yang mencapai kontemplasi, betapapun berobsesi pada politik pragmatis. Pertama, empati kebangsaan menjadi pertanda bahwa puisi yang diciptakan penyair tidak untuk menumbangkan penguasa. Kedua, ketulusan mencipta satir menyebabkan penyair meletakkan dirinya pada suatu wilayah yang netral, yang tak berkeinginan menjatuhkan hegemoni kekuasaan. Ketiga, pertaruhan pada pencarian estetika, eksplorasi bahasa dan imaji puisi bermuara pada estetika oposisi yang membuka kesadaran baru bagi para pembaca. Keempat, tak muncul kata-kata dengan pamflet kebencian yang mencipta disintegritas bangsa.
Batapapun tajam kritik yang dilontarkan penyair, tidak untuk melukai siapa pun, kecuali untuk mencapai katarsis. Satir kebangsaan dalam puisi justru untuk meneguhkan kecintaan pada bangsa dan negara. Satir mempertajam nilai dan makna dalam dunia kepenyairan.
***
*) S. Prasetyo Utomo, sastrawan, doktor Ilmu Pendidikan Bahasa Unnes.
S. Prasetyo Utomo, lahir di Yogyakarta, 7 Januari 1961. Menyelesaikan program doktor Ilmu Pendidikan Bahasa Unnes pada 9 Maret 2018 dengan disertasi “Defamiliarisasi Hegemoni Kekuasaan Tokoh Novel Kitab Omong Kosong Karya Seno Gumira Ajidarma”. Semenjak 1983 ia menulis cerpen, esai sastra, puisi, novel, dan artikel di beberapa media massa seperti Horison, Kompas, Suara Pembaruan, Republika, Koran Tempo, Media Indonesia, Jawa Pos, Bisnis Indonesia, Nova, Seputar Indonesia, Suara Karya, Majalah Noor, Majalah Esquire, Basabaasi.
Tulisannya dibukukan dalam antologi Perdebatan Sastra Kontekstual (antologi esai, 1985), Antologi Puisi Jawa Tengah (antologi puisi, 1994), Serayu (antologi puisi, 1995), Ritus (antologi cerpen, 1995), Lawang Sewoe (antologi puisi,1996), Sesudah Layar Turun (antologi puisi, 1996), Jentera Terkasa (antologi puisi, 1998) Horison Sastra Indonesia 2 Kitab Cerpen (2002), Cerita-cerita Pengantin (antologi cerpen, 2004), Bidadari Sigar Rasa (antologi cerpen, 2005), dan Forum Sastra Indonesia Hari Ini: Jawa Tengah (2010). Kumpulan cerpen tunggalnya Bidadari Meniti Pelangi (Penerbit Buku Kompas, 2005), dibukukan setelah lebih dari dua puluh tahun masa proses kreatifnya. Novel yang telah diterbitkannya dalam bentuk buku adalah Tangis Rembulan di Hutan Berkabut (HO Publishing, 2009). Menerima Anugerah Kebudayaan 2007 dari Departemen Kebudayaan dan Pariwisata untuk cerpen “Cermin Jiwa”, yang dimuat Kompas, 12 Mei 2007. Menerima penghargaan Acarya Sastra 2015 dari Badan Pembinaan dan Pengembangan Bahasa. Menerima penghargaan Prasidatama 2017 dari Balai Bahasa Jawa Tengah. Cerpen “Sakri Terangkat ke Langit” dimuat dalam Smokol: Cerpen Kompas Pilihan 2008. Cerpen “Penyusup Larut Malam” dimuat dalam Pada Suatu Hari, Ada Ibu dan Radian: Cerpen Kompas Pilihan 2009 dan diterjemahkan Dalang Publishing ke dalam bahasa Inggris dengan judul “The Midnight Intruder” (Juni 2018). Cerpen “Pengunyah Sirih” dimuat dalam Dodolitdodolitdodolibret: Cerpen Pilihan Kompas 2010. Novel terbarunya Tarian Dua Wajah (Pustaka Alvabet, 2016), Cermin Jiwa (Pustaka Alvabet, 2017).