Oleh: Al-Mahfud
Dunia seni sedang berduka. Kita baru saja kehilangan salah satu sastrawan penyair ternama. Minggu (19/7/2020) sekitar pukul 09.17 WIB kemarin, sastrawan senior Sapardi Djoko Damono meninggal dunia di RS Eka Hospital BSD, Tangerang Selatan. Kepergian Sapardi meninggalkan banyak warna dan kenangan indah bagi dunia kesusasteraan kita, terutama melalui karya-karyanya yang dikenal luas di masyarakat.
Menilik sedikit ke belakang, Sapardi Djoko Damono lahir di Solo 20 Maret 1943. Sejak kecil, beliau sudah gemar membaca karya sastra. Pendidikannya hingga jenjang SMA beliau jalani di Solo, tempat lahirnya. Kemudian, beliau mengambil sastra Inggris di Universitas Gadjah Mada (UGM). Sapardi menyelesaikan program doktornya dengan predikat sangat memuaskan di Universitas Indonesia (UI) dikukuhkan sebagai guru besar Fakultas Sastra UI pada 1995.
Eyang Sapardi memiliki karir panjang di dunia pendidikan dengan mengajar di berbagai universitas. Beliau juga aktif di lembaga seni dan sastra. Beliau pernah menjadi Direktur Pelaksana Yayasan Indonesia Jakarta (1973-1980), redaksi majalah sastra Horison (1973), Sekretaris Yayasan Dokumentasi Sastra HB Jassin (Sejak 1975), anggota Dewan Kesenian, anggota Badan Pertimbangan Perbukuan Balai Pustaka Jakarta (Sejak 1987).
- Iklan -
Sepanjang hidupnya, eyang Sapardi telah menghasilkan banyak karya atau buku, baik berupa puisi, novel, maupun cerita pendek. Atas dedikasinya, beliau telah mendapatkan banyak penghargaan. Pada tahun 1978, beliau menerima penghargaan Curtural Award dari Pemerintah Australia. Pada 1983, memperoleh Anugerah Puisi-Puisi Putera II. Kemudian pada tahun 1986, beliau menerima anugerah SEA Write Award. Pada 2004, Sapardi juga mendapatkan Khatulistiwa Award, dan masih banyak penghargaan lainnya.
Cinta, Membaca, Generasi Muda
Mengenang eyang Sapardi membawa kita pada renungan banyak hal. Dari sosoknya, karakternya, sepak terjang dan karya-karyanya, kita bisa menyesap nilai-nilai dan pesan penting tentang kehidupan. Bagi penulis, dari sosok Sapardi Djoko Damono, kita bisa belajar berbagai hal, di antaranya:
Pertama, tentang pentingnya cinta, ketabahan, ketulusan, kearifan, dan kebijaksanaan. Hal tersebut bisa kita resapi dari karya-karya puisinya yang terkenal sederhana tapi begitu lembut, romantis, dan liris. Eyang Sapardi menyuarakan nilai-nilai luhur kemanusiaan tersebut melalui bahasa sederhana namun terasa mendalam dan kaya makna.
Misalnya, kita simak dalam salah satu puisinya yang paling terkenal, yang berjudul “Hujan Bulan Juni”. Tak ada yang lebih tabah/dari hujan bulan Juni/dirahasiakannya rintik rindunya/kepada pohon berbunga itu. Tak ada yang lebih bijak/dari hujan bulan Juni/dihapuskannya jejak-jejak kakinya/yang ragu-ragu di jalan itu/tak ada yang lebih arif/dari hukan bulan Juni/dibiarkannya yang tak terucapkan/diserap akar pohon bunga itu.
Setiap orang bisa memaknai karya sastra puisi, sesuai interpretasi masing-masing. Menurut Wahyu Wiji Astuti (2015) puisi “Hujan Bulan Juni” memetaforkan kesederhanaan hujan dalam sebuah filosofi hidup, yakni tentang “mencintai” dalam hal yang universal. Melalui hujan (cinta dan kasih sayang) kita belajar mengerti tentang ajaran-ajaran kehidupan.
Eyang Sapardi, melalui keindahan sajaknya, memadukan apa apa yang ada di sekitar kita (alam: hujan, rintik air, pohon, bunga, akar) dengan nilai-nilai kehidupan: ketabahan, kearifan, dan kebijaksanaan. Membaca dan meresapinya, kita seperti diingatkan kembali tentang nilai-nilai utama kehidupan tersebut: pentingnya cinta, kesabaran dan ketabahan dalam menghadapi setiap persoalan. Juga kearifan dan kebijaksanaan, baik dalam berkata maupun bersikap. Pada gilirannya, kita bisa memaknainya juga sebagai pesan-pesan penting tentang bagaimana membangun hubungan baik dengan sesama, agar tercipta ketentraman dan keharmonisan.
Kedua, tentang pentingnya membaca. Sebagai sastrawan senior, jelas eyang Sapardi banyak membaca berbagai macam karya dalam perjalanannya. Kegemaran membaca ini juga menjadi hal yang paling beliau tekankan dalam proses berkarya. Seperti dikatakan Arif Saifudin (2020), dalam sebuah dialog di Balai Soedjatmoko Solo, eyang Sapardi pernah ditanya mengapa dan bagaimana menulis puisi. Beliau menjawab, resep bagaimana menulis puisi adalah dengan gemar membaca.
Di kesempatan tersebut, eyang Sapardi juga berpesan kepada generasi muda agar tidak berhenti membaca. Sebab, kelemahan generasi sekarang adalah ingin cepat berkarya tapi jarang membaca. Ini poin penting, bahwa generasi muda mesti menguatkan literasinya. Terlebih, di era digital sekarang berbagai informasi beredar dengan cepat. Ketika budaya literasi kuat, generasi muda akan mampu berpikir kritis, sehingga tak gampang terpengaruh haoks, provokasi, dan berbagai konten negatif lainnya. Termasuk konten-konten kejahatan, kekerasan, hingga paham radikalisme-terorisme.
Ketiga, merangkul generasi muda. Meski telah menjadi sastrawan senior, eyang Sapardi dikenal sebagai sosok sastrawan yang sangat merangkul generasi muda. Beliau kerap diundang ke acara-acara yang diadakan anak-anak muda. Beliau juga dikenal sering memberi pengantar di buku karya anak-anak muda. Beberapa tahun terakhir, eyang Sapardi juga kerap berkolaborasi berkarya bersama anak-anak muda. Seperti pada tahun 2020 ini menerbitkan buku puisi berkolaborasi dengan penulis muda Nadhifa Allya Tsana, juga berkolaborasi dengan ilustrator muda berbakat Naimatur Rofiqoh
Eyang Sapardi aktif mengikuti perkembangan generasi muda dengan kebijaksanaan dan kearifananya: memberi dukungan tanpa menggurui. Secara tak langsung, hal tersebut memberi kita pesan pentingnya menggandeng dan mendampingi generasi muda. Kita tahu generasi muda adalah masa depan bangsa yang harus terus didampingi dan didorong untuk belajar dan berkembang. Kerelaan eyang Sapardi berbagi ilmu, merangkul, mendukung, dan berkolaborasi dengan generasi muda adalah pelajaran berharga bagi kita semua. Dari sana, tersirat pesan-pesan tentang pentingnya sifat peduli, rendah hati, serta banyak mendengar dan menghargai sesama.
Selamat jalan eyang Sapardi. Engkau memang telah pergi, tapi karya-karyamu akan tetap abadi.
-Al-Mahfud, penulis, penikmat karya sastra. Menuis artikel, esai, dan ulasan buku di berbagai media.