Oleh Hamidulloh Ibda
Ini nama-nama hewan. Tapi bukan republik hewan. Bukan pula soal hewan, binatang, animal, atau alkhayawan juga. Tiga jenis hewan ini dapat dijumpai di kebun binatang. Gajah yang besar, dengan tenaga super kuatnya. Macan dengan “marwahnya” sang raja rimba. Kijang dengan kelincahannya dalam berlari.
Masing-masing hewan ini berasal dari dzurriyyah atau ordo berbeda yang memiliki kekurangan sekaligus kelebihan. Gajah ya seperti itu. Macan ya memang begitu. Kijang ya begitu itu. Tak perlu dibanding-bandingkan. Sebab, seringkali membanding-bandingkan itu hanya bikin sakit hati dan emosi.
Namun, di balik tiga nama hewan ini ada beberapa problem mendasar dalam pendidikan kita hari ini. Selain masih sebatas program dan belum terbukti, ternyata di balik nomenklatur tiga jenis hewan ini melahirkan kekisruhan besar dalam sejarah pendidikan kita. Kok bisa?
- Iklan -
Ya, Mendikbud Nadiem Makarim memilih tiga nama hewan ini sebagai macam-macam atau jenis-jenis Program Organisasi Penggerak ( POP). Namun program yang digadang-gadang menjadi “gerakan revolusioner” ini menuai banyak kritik. Ihwal tiga nama hewan di atas, ternyata ada pula tiga ormas besar bahkan terbesar yang “memboikot” program “gajah, macan, kijang” tersebut.
Ketiga ormas itu adalah Nahdlatul Ulama (NU), Muhammadiyah dan Persatuan Guru Republik Indonesia (PGRI). Ini ada apa? Apakah Nadiem sudah meramal bahwa “gajah, macan, kijang” itu adalah “NU, Muhammadiyah, PGRI”? Atau, sudah tahu mereka hengkang dari program-programnya mantan bos Gojek tersebut, khususnya Organisasi Penggerak?
Selama sepekan ini, lebih dari lima belas kali saya melihat sahabat, rekan, guru, pengurus LP Ma’arif dan para kiai tua maupun muda membagikan berita tentang Kemdikbud yang ditinggalkan NU, Muhammadiyah, PGRI. Ini merupakan fenomena “langka” sejak Ki Hajar Dewantara menjadi Menteri Pendidikan dan Kebudayaan (dulu Menteri Pengajaran Indonesia).
Gajah, Macan, Kijang
Saya nukil dari laman POP, dijelaskan tahun 2020-2022 Program Organisasi Penggerak memiliki sasaran peningkatkan meningkatkan kompetensi 50.000 guru, kepala sekolah dan tenaga kependidikan di 5.000 PAUD, SD dan SMP. Terdapat tiga program dalam POP.
Pertama, Gajah. Program dengan bukti peningkatan hasil belajar siswa dan peningkatan motivasi, pengetahuan atau praktik pembelajaran guru atau kepala sekolah. Dalam kategori ini organisasi bisa mendapat bantuan untuk menjalankan proyek rintisan di lebih dari 100 sekolah atau PAUD.
Kedua, Macan, Program dengan bukti peningkatan motivasi, pengetahuan atau praktek pembelajaran guru atau kepala sekolah. Dalam kategori ini organisasi bisa mendapat bantuan untuk menjalankan proyek rintisan di 21 s.d. 100 sekolah atau PAUD.
Ketiga, Kijang. Program dengan bukti pengalaman merancang dan mengimplementasikan program bidang pendidikan. Dalam kategori ini organisasi bisa mendapat bantuan untuk menjalankan proyek rintisan di 5 sampai 20 sekolah atau PAUD.
Perlu diketahui, Kemdikbud telah mengumumkan ada 183 proposal dari 156 organisasi yang lolos seleksi POP. Ormas-ormas ituakan mendapatkan bantuan yang dibagi berdasarkan tiga kategori. Pertama, Gajah yang memperoleh bantuan maksimal Rp 20 miliar per tahun. Kedua, Macan memperoleh maksimal Rp 5 miliar per tahun. Ketiga, Kijang memperoleh bantuan maksimal Rp 1 miliar per tahun.
Bisa dikata, ini Mas Menteri mengikutsertakan masyarakat luas lewat ormas di POP dalam rangka meningkatkan kualitas pendidikan. Khususnya, peningkatkan kualitas guru, kepala sekolah dan tenaga kependidikan untuk meningkatkan hasil belajar siswa. Lalu, apa selama ini tidak ada perencanaan terkait hal itu? Aneh memang!
Di Mana Kampus dan Guru Besar?
Saya menilai ada sesuatu di balik POP itu. Keganjilan itu ternyata juga dirasakan banyak tokoh nasional yang tersiar di beberapa media siber, Youtube, dan juga media sosial.
POP dinilai boros anggaran dan harus diawasi KPK. Mengapa? Karena anggaran POP ini sebesar Rp559 miliar. Gilak! Uang sebanyak ini hanya dihambur-hamburkan dengan program baru yang belum jelas output dan outcome-nya.
Ditambah lagi, dugaan organisasi abal-abal lolos kategori gajah. Padahal, nama dicek tidak ada di Google Map dan tidak menyertakan alamat. Juga masalah organisasi CSR yang rekam jejaknya nggak jelas di bidang pendidikan.
Beberapa organisasi yang sudah layak seperti Muslimat NU, Aisyiyah, IGNU dan lain lain. Semestinya yang malu dan mengundurkan diri dari program ini yaitu Sampoerna Foundation dan Tanoto Foundation, bukan NU Muhammadiyah dan PGRI
Beberapa pakar mengritik, keterlibatan Yayasan Putra Sampoerna dan Yayasan Bakti Tanoto yang memiliki keterkaitan dengan konglomerasi bisnis besar di Indonesia sebagai lembaga yang digunakan untuk menjalankan program tanggung jawab sosial perusahaan. Peran mereka apa sih selama ini di dunia pendidikan? Lebih unggul mana dari NU, Muhammadiyah, dan PGRI?
Yang saya soroti di sini, di mana kampus dan guru besar kita? Mereka tidak dilibatkan sama sekali. Padahal, Kemdikbud secara integral membawahi perguruan tinggi karena Kemenristek Dikti sudah bubar.
Saya usul saja, perlu pelibatan kampus dan guru besar. Skemanya bisa berbentuk teknis atau memang konsep. Pertama, sistem kita sudah ada PPG yang saat ini menjadi Prodi. Harusnya, kalau urusannya meningkatkan kualitas guru, kepala sekolah dan peningkatan pembelajaran siswa, PPG itu sudah selesai. Tinggal, Kemdikbud memperkuat pola, skema, kualitas pendidiknya dan pemerataan, khususnya di daerah 3T. Justru ini lebih riil dan logis.
Kedua, jika skema peningkatan guru dan sekolah/madrasah itu ditentukan oleh kampus yang memproduksi calon guru khususnya LPTK, mengapa tidak memperkuat LPTK saja? Kan aneh, sudah punya ribuan kampus LPTK tapi dibiarkan tidak diurusi, malah ngurusi organisasi yang tiap hari tidak mengelola pendidikan.
Ketiga, perlu memperbaiki sistem akreditasi perguruan tinggi kita yang sampai hari ini masih belum jelas. Tiga ribu lebih, prodi di Indonesia belum status AL, karena BAN-PT kekurangan dana bahkan banyak honor asesor belum dibayarkan. Sedangkan kampus mau melakukan akreditasi mandiri, justru dilarang. Nah, daripada uang sebesar Rp 599 miliar untuk program gagah-gagahannya Mas Menteri, lak mending buat ngurusi problem ini.
Keempat, kritikan terbaru adalah soal renstra pendidikan. Ya, memang, jika POP tidak masuk renstra, harusnya direm dulu. Sejenak saja. Daripada kedarung mlayu kenceng, nanti nabrak peradaban yang sudah mapan dan destruktif malah repot. Yakin, ini bagian dari inovasi dan gerakan revolusioner, namun perlu lah menatap sejenak kebelakang.
Ini hanya bagian kecil dari problem, saya juga menyitir sedikit usul solusi. Karena sebagai pelaku teknis di pendidikan tinggi, problem POP ini memang perlu dikaji. Tapi jika Mas Menteri ngeyel hanya “menatap masa depan”, ya sudah tidak perlu melirik ke belakang soal masa lalu. La, emang majunya pendidikan ini, tidak dibantu peran NU, Muhammadiyah dan PGRI po?
-Penulis adalah dosen dan Koordinator Gerakan Literasi Ma’arif (GLM).