Oleh Mohamad Muzamil
Bagaimana titik temu Al-Qur’an dan sains? Tentu ini pertanyaan yang menarik perhatian, bukan saja dari para ilmuwan, namun juga dari umat beragama Islam.
Sebagai kitab suci terakhir yang diturunkan oleh Alloh SWT kepada Rasulullah Muhammad Saw melalui malaikat Jibril as, untuk disampaikan kepada umat manusia, Al-Qur’an memiliki ruang lingkup yang sangat luas, sebagai pedoman agar manusia dapat selamat dan bahagia di dunia dan di akhirat.
Sementara itu sains yang merupakan ilmu pengetahuan hasil dari usaha sadar guna menyelidiki, menemukan, dan meningkatkan pemahaman manusia dari berbagai segi kenyataan alam manusia memiliki ruang lingkup yang terbatas. “…dan tidaklah kamu diberi pengetahuan melainkan sedikit” (QS. Al-Isra: 85).
- Iklan -
Kebenaran Al-Qur’an adalah mutlak karena merupakan wahyu dari Alloh Yang Maha Mutlak. Sedangkan kebenaran sains bersifat probabilitas, karena sains merupakan suatu cara untuk mempelajari berbagai aspek-aspek tertentu dari alam secara terorganisir, sistematik dan melalui metode saintifik yang terbarukan. Artinya kebenaran sains dapat diuji melalui penelitian terbaru oleh ahlinya.
Banyak ilmuwan yang kemudian mampu membuktikan kebenaran Al-Qur’an secara ilmiah seperti Prof Baiquni, Ismail Raji Al-Faruqi. Dan jauh sebelum itu ada Ibnu Rusyd, Ibnu Khaldun, Ibnu Sina, Al-Jabar, Al-Kindi dan seterusnya. Bahkan dengan kegiatan penelitian ilmiah banyak ilmuwan yang kemudian bersyahadat masuk Islam, seperti Jacques Yves Costeau , Maurice Bucaille, Prof William Brown, dan masih banyak lagi ilmuwan yang diberitakan masuk Islam.
Kemudian dapatkah sains membantu bagi umat untuk mengamalkan Islam? Tentu ini masih menjadi kontroversi. Satu sisi sains memang bisa membantu bagi umat untuk menjalankan ajaran agamanya, seperti mengetahui arah kiblat, mempermudah memperoleh air suci yang mensucikan, perjalanan ibadah haji dan umroh, dan masih banyak lagi yang menggambarkan manfaat sains bagi umat beragama.
Namun di sisi lain, barangkali karena keterbatasan sains, justru malah merekomendasikan atau bahkan menghalangi umat untuk mengamalkan Islam.
Taruh contoh misalnya sekarang pandemi covid-19, justru membatasi umat Islam untuk jama’ah. Seharusnya sains mampu memberikan solusi agar umat Islam mudah untuk berjama’ah. Atau melakukan ibadah haji.
Justru sekarang ini, dengan atas nama sains, orang malah dianjurkan atau bahkan dilarang untuk berjama’ah, atau tidak melakukan ibadah haji.
Meski banyak orang yang mengikuti rekomendasi tersebut, namun juga tidak sedikit orang yang bertanya-tanya bahwa ternyata sains belum mampu menemukan solusinya untuk sepenuhnya melayani umat beragama. Hal ini sangat penting karena beragama terkait dengan keyakinan atau keimanan.
Pasti semua orang ingin selamat dan sehat wal afiyat, namun juga semua orang yang beriman mengendaki jika meninggal dunia dalam keadaan membawa iman dan Islam, atau disebut kalau saatnya tiba ingin khusnu al-khatimah. Dalam Islam, diajarkan banyak do’a seperti itu.
Sebelum masa pandemi ini, banyak orang tua yang mendaftar ikut haji. Bahkan diantara mereka yang ingin bila saatnya tiba ingin wafat di tanah suci. Atau bagi yang belum mampu menunaikan ibadah haji, pokoknya ingin agar jika wafat dalam keadaan beriman dan berbuat baik. Jadi, masalahnya tidak sederhana bukan? Hendaknya kita tidak saling menyalahkan, namun saling memahami dan membantu.
Wallahu a’lam.