Oleh Ahmad Hamid
Kalau mendengar lagu Indonesia Raya berkumandang di kancah Internasional. Rasa sedih, bahagia, haru dan bangga berbaur menjadi satu, mengendap lalu menjadi butiran air mata. Meskipun hanya melalui layar kaca. Mungkin baru itu yang bisa saya persembahkan untuk Indonesia.
Sedih adalah kata yang menggambarkan kekecewaan, ketika bendera Merah Putih tidak bisa berkibar karena kalah. Ditambah dengan kebiasaan ejekan musuh dari negeri jiran terhadap negaraku yang mereka anggap Macan Asia yang sedang tertidur. hal itu membuat masyarakat Indonesia sedih, namun ada hal yang jauh lebih menyedihkan lagi. Pancasila, sebagai alat pemersatu bangsa, dewasa ini berkali-kali diusik bahkan ada yang menganggap ideologi Pancasila, adalah ideologi ‘sesat’.
Jas merah, begitulah yang sering digaungkan oleh Sang Proklamator, jangan lupakan sejarah. Kalau menilik perjalan panjang berdirinya pancasila, harusnya kita bersyukur bukan malah takabur.
- Iklan -
Pancasila bisa ada, berkat Perjuangan para pahlawan yang merelakan harta, benda bahkan nyawa sebagai taruhannya. Mereka tidak mengenal dari mana mereka berasal, apa pekerjaannya, apa rasnya, apa sukunya, apa agama, dan budayanya. Mereka bersatu demi berdirinya Pancasila, demi berdirinya sebuah negara yang kemudian kita kenal dengan sebutan negara Indonesia.
Bersimbah peluh berkuah keringat, melalui beberapa kali persidagan dari BPUPKI, PPKI kemudian ada Panitia Lima dan Panitia Sembilan. Itu seklumit tentang terbentuknya Pancasila.
Presiden Soekarno pernah berpesan bahwa perjuangannya lebih mudah karena melawan penjajah, namun perjuangan kalian akan sangat sulit karena berjuang melawan bangsamu sendiri. Hari ini, kata-kata tersebut benar telah terjadi.
Politik dibentur-benturkan dengan agama, padahal kita tahu berdirinya negara tidak lepas dari ‘perkawinan’ antara elit politik dan tokoh-tokoh agama. Agama saja bukan hanya agama yang mayoritas, agama minoritas juga diikutsertakan. Bukankah ini menandakan bahwa jauh sebelum Indonesia berdiri Bineka Tunggal Ika sudah diimplementasikan.
Sekarang apa alasannya segelintir kelompok mengadu domba dengan saudara sendiri yang sudah jelas sebangsa, setanah air, sesuku bahkan seiman. Jangan korbankan negara ini demi kepentingan kelompok yang belum jelas asal usul dan motifnya.
Keonaran terjadi dimana-dimana, Ideologi Pancasila akan diganti dengan Ideologi ‘Khilafah Islamiyah’. Ya kita tahu, tidak ada satupun agama yang mengajarkan kepada umatnya untuk melakukan tindakan kekerasan, membuat keresahan, dan mengusik ketentraman sebuah negara. Selama negara dan pemerintahnya masih dalam koridor yang sesuai.
Indonesia sudah mempunyai sebuah ideologi Pancasila yang sudah disahkan dalam Undang-Undang 1945. Pancasila yang terdiri dari lima sila dan nyata tidak ada satupun sila yang bertentangan dengan kebinekaan yang ada di Indonesia.
Karena ruh dari Pancasila digali dari bangsa Indonesia sendiri. Tidak ada yang salah dengan Pancasila, yang salah adalah yang mau menghancurkan Pancasila. Mereka berjuang mengatasnamakan agama dengan dilabeli kata ‘Jihad’. Mereka menganggap Pemerintah yang berideologi Pancasila dianggap thagut dan pro kafir sehingga halal darahnya.
Padahal yang perlu kita garis bawahi bahwa jihad tidak melulu identik dengan kekerasan. Jihad zaman Rasullulah dan sekarang bisa dikatakan berbeda, meskipun arah dan tujuannya masih sama. Mencari ilmu, dakwah, membantu orang-orang miskin, itu termasuk Jihad karena alhamdulilah Indonesia negara yang aman, damai dan tentram.
Jangan mau Indonesia dijadikan seperti negara-negara Timur Tengah, Suriah, Afghanistan, Irak, Palestina dan lain-lain. Mereka berperang mengatasnamakan ‘Tuhan’ yang sama, dengan balutan jihad. Mereka tidak sadar bahwa mereka seperti sedang bermain sandiwara, mereka adalah tokoh-tokoh utamanya dan pihak asing sebagai sutradaranya.
Berapa banyak korban, anak-anak, perempuan, rakyat sipil yang tidak berdosa. Kerugian dari segi apapun sudah tidak terhitung jumlahnya. Bisa dikatakan hanya ‘kiamat’ yang bisa menghentikan peperangan mereka.
Isu-isu yang intinya Indonesia akan di arahkan ke peperangan seperti Timur Tengah santer terdengar. Kita sebagai masyarakat yang cinta damai, masyarakat yang mayoritas muslim. Dan kita tahu muslim, Islam adalah agama yang rahmatallil’alamin, agama yang menyebarkan kedamaian dan ketentraman.
Mari kita kembalikan Islam yang terkenal santun, meski ada oknum yang punya fikiran pendek dengan menganggap Islam adalah agama ‘teroris’ sekali lagi itu anggapan yang salah plus kaprah. Tidak ada ajaran agama manapun yang mengajari pengikutnya untuk menjadi seorang teroris. Kapolri mengatakan bahwa teroris adalah tindakan kriminal, tidak ada kaitannya dengan agama manapun.
Anggapan tentang agama dan Pancasila yang sudah di ‘tafsirkan’ negatif, ini adalah PR kita semua. Apalagi beberapa hari yang lalu Kepala Badan Pembinaan Ideologi Pancasila (BPIP) Yudian Wahyudi mengatakan bahwa agama adalah musuh pancasila, harus hati-hati apalagi berbicara tentang agama. Agama adalah sesuatu yang sensitif karena hal sekecil apapun jika dikaitkan dengan agama akan menjadi sesuatu yang luar biasa.
Mungkin yang dicap ‘agama’ disini adalah agama yang bagaimana? jadi masyarakat perlu diberi pemahaman karena pendidikan di Indonesia belum semua merata. Jadi anggapan agama adalah musuh pancasila tanpa embel-embel ekstream adalah hal yang menurut saya blunder yang sangat tidak perlu dilakukan.
Sebagai manusia yang diciptakan oleh Tuhan sebagai makhluk yang paling sempurna, dengan kelebihan mempunyai akal. Di zaman serba teknologi, segala macam berita bisa datang dari arah mana saja. kita harus punya filter, jangan semua berita kita telan bulat-bulat. Harus kita kupas, ambil sarinya saja dan kalau perlu tabayun. Bukan hanya istilah tapi benar-benar cari kebenaran dan sumber datangnya berita.
Kalau dulu ada istilah ‘mulutmu harimaumu’, lidah tak bertulang’ namun sekarang muncul yang namanya ‘jari-jarimu adalah harimaumu’. Kita ingat beberapa Minggu yang lalu seorang penghina Wali Kota Surabaya. itu berawal dari apa? dari jempol, dan sekarang harus berurusan dengan kepolisian. Meskipun Ibu Risma sudah memaafkan dan laporan sudah dihentikan, cukuplah menjadikan bahan perenungan dan pembelajaran.
Bukan tidak mungkin Indonesia negara yang besar ini bisa hancur hanya karena berawal dari perang ‘jari-jari’, seandainya masyarakatnya tidak bijak dalam bersosial media.
Dari kejadian tersebut, kita bisa memahami bagaimana bahayanya media sosial. Semua sadar manusia tidak ada yang sempurna dan pasti mempunyai celah kesalahan, namun banyak cara mengkritik, dengan bahasa sopan tanpa harus dengan hinaan.
Hinaan adalah musuh terbesar bangsa Indonesia, karena Indonesia terkenal dengan perbedaanya. Bineka Tunggal Ika, sudah jelas Indonesia yang disebut negeri seribu pulau, karena memang disini ditumbuhi beribu pulau. Dari situ, lahir berbagai ras, suku, agama, pekerjaan dan budaya.
Kalau sedikit-sedikit dihina, sedikit-sedikit dicela. Indonesia akan perang saudara. Contoh beberapa bulan yang lalu seorang mahasiswa berkulit hitam, kemudian di ejek dengan sebutan ‘monyet’. Akhirnya semua tidak terima dan demo dimana-mana.
Harusnya kita sadar Tuhan menciptakan segala sesuatu berpasangan dan berbeda-beda. Ada malam ada siang, laki-laki ada perempuan, ada hitam ada putih dan seterusnya. Bisa kita bayangkan, jika kita tidak mensyukuri perbedaan itu. Bagaimana dengan kita yang ‘normal’ jika menikah dengan sesama jenis, apakah nikmat? Hmmmm. Bukankah perbedaan akan memunculkan keindahan. Pelangi disukai karena adanya perbedaan. Bisa direnungkan jika pelangi hanya satu warna apakah akan indah? Kesimpulannya perbedaan itu indah.
Semuanya tidak boleh menyalahkan perbedaan. Saya punya pengalaman di masyarakat, tempat dulu bekerja. Di salah satu desa di Provinsi Jawa Tengah. Di situ berdampingan antara beberapa agama, tidak ada mayoritas dan minoritas karena sebaran agamanya sama. Uniknya kalau urusan sosial yang tidak bertentangan dengan aqidah, mereka lakukan bersama-sama. Tempat ibadah berdampingan, kalau ada salah satu warga yang meninggal mereka bersama-sama bergotong royong. Dari pasang tenda, menggali liang kubur, menererima tamu, semua ikut terlibat tanpa memandang perbedaan.
Acara pernikahanpun sama, jika yang punya hajat adalah orang Islam, kadang prasmanannya berada di halaman Gereja. Harusnya itulah yang perlu kita contoh. Perbedaan jangan dijadikan sebagai alat untuk kehancuran, justru karena perbedaan bisa menjadi sesuatu yang menguntungkan. Karena perbedaan kita bisa belajar banyak hal, kita bisa saling mengenal, dan karena perbedaan kita bisa menikmati cerita yang selama ini belum kita dapatkan.
Peran kita untuk mengamalkan pembukaan UUD 1945 alinea keempat yang berbunyi: “… dan ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial …” jangan mencari celah keburukan dalam perbedaan tetapi carilah hal positif dalam sebuah perbedaan agar tercipta perdamaian.
Sesuai cerita Nabi Isa. as, bersama dengan muridnya. Suatu hari, Nabi Isa as. Berjalan dengan para muridnya. Di sebuah perjalanan, ada seekor anjing yang mati tergeletak. Melihat bangkai anjing itu, seorang murid Nabi Isa as. berkata, “Ihhh busuknya bau bangkai anjing ini.” Mendengar muridnya bicara seperti itu, Nabi Isa as. Kemudian berkata kepada muridnya, “coba lihatlah giginya, alangkah bersih dan putihnya.”
Murid – muridnya pun terpaku mendengar nasihat sang guru. Mereka telah mendapat ilmu baru, dari perjalanan tersebut.
Dari kisah nabi Isa as. tersebut, dapat kita simpulkan bahwa dalam keburukan, dalam perbedaan sekalipun pasti ada sisi nilai positifnya, tergantung dari sudut mana kita melihat. Intinya dintara kita, masyarakat kita, jangan egois jangan merasa menang sendiri, jangan mudah mengecap ‘pendosa’, ‘kafir’, ‘sesat’ padahal kita masih punya Tuhan yang sama, kiblat yang sama, nabi yang sama.
Dari empat Madzhab, siapapun yang kita ikuti insyaallah semua benar, karena para Imam mempunyai jalur keilmuan yang sama, sanad yang jelas. Jadi selagi kita masih sama-sama sholat lima waktu, kita masih Islam, tidak perlu mengkafir-kafirkan.
Sholat subuh pakai qunut baik, tidak qunut juga baik, yang tidak baik mengaku Islam tetapi tidak sholat Subuh.
Kita jaga, kita rawat Indonesia di bawah Pancasila, di Bawah panji-panji Bineka Tunggal Ika jangan ada fitnah, jangan ada hoax di antara kita.
Hiduplah kita di Indonesia seperti filosofi lebah. Dimanapun dia hinggap tidak pernah merusak, dia selalu memakan makanan yang bagus, bersih, dari sari bunga. Dia baru bergerak, melawan, jika benar-benar sudah terancam dan yang tidak kalah penting dimana ada lebah di situ pasti ada madu. Begitulah harusnya kita masyarakat Indonesia untuk merajut kembali perdamain yang kemarin-kemarin sempat memudar.
Lebih dewasa dalam menyikapi perbedaan, boleh berbeda dalam pilihan politik tetapi sadar kita punya tanggung jawab untuk kelangsungan bangsa ini. Tentunya kita masih ingin melihat anak, cucu kita menjadi Presiden, menjadi gubernur, wali kota di negara yang gemar ripah loh jinawi, Tanah Air Indonesia ini.
Tanamkan sikap saling mengahargai sejak dini, pada anak-anak kita, calon penerus bangsa, dengan pendidikan menghargai perbedaan. Kebetulan di kurikulum 2013 SD terutama, ada materi tentang mengahargai perbedaan, disini adalah momentum untuk menanamkan hal positif tentang Bineka Tunggal Ika. Sebagai seorang guru, saya mengagendakan belajar di luar ruangan atau bahasa lainya out bond dengan mengunjungi tempat-tempat ibadah agama lain.
Anak-anak latihan bertegur sapa dengan anak disana (lintas agama), dan dapat kesimpulan “Pak guru ternyata di Indonesia ada agama selain Islam, dan penganutnya baik dengan kita”. Dari sini anak sudah tertanam tentang baiknya perbedaan, dengan demikian fanatik, ekstrem terhadap kebinekaan terutama dalam hal agama, tidak akan ada lagi. Asal anak-anak tidak terpengaruh dalam hal aqidah, berbaur dengan lintas agama sebagai wujud syukur atas nikmat yang diberikan Tuhan kepada Indonesia, setop jangan lagi ada perdebatan yang tidak berfaedah. Berbicaralah, menulislah yang bermanfaat, tetapi kalau tidak bisa bicara dan menulis yang bermanfaat, lebih baik diam, karena “ diam adalah emas”.
-Guru Yayasan Al Madina Unsiq Wonosobo, Relawan Literasi Ma’arif.