Oleh Tjahjono Widarmanto
Cerita wayang Petruk Dadi Ratu merupakan salah satu lakon wayang yang populer dan digemari masyarakat Jawa. Cerita Petruk Dadi Ratu merupakan cerita carangan yang tak terdapat dalam babon Mahabarata maupun Ramayana yang dianggap sebagai naskah rujukan pertunjukkan wayang di Indonesia.
Di sebuah manuskrip yang tersimpan rapi di Reksa Pustaka Mangkunegara, Surakarta (Sukadi, 2006), dapat telisik asal usul dan siapa pengarang cerita carangan Petruk Dadi Ratu. Pada manuskrip tersebut terdapat pupuh dandanggula yang pada awal baris pupuh tersebut terdapat sandiasma berbunyi Can Cu Han Cayudan Surakarta:
Cancaleng tyas sumedya mrih manis
- Iklan -
Cumanthaka angiket gitaya
Hancake driya ge-age
Caranya durung weruh
Yutun tan win ingkang ngesemi
Dandanana budi tama
Surya tembang tembung
Rasanendriya sumeda
Karya tepa palupi mrih irip-irip
Talirpra sujana
Sandiasma tersebut menerakan nama seorang etnis Cina bernama Tjan Tjoe Han yang berasal dari Cayudan Surakarta. Tjan Tjoe Han inilah yang mengarang cerita carangan Petruk Dadi Ratu yang ditulis pada tahun 1932 Masehi.
Naskah ini menceritakan tokoh Petruk, seorang rakyat jelata atau pidak pendarakan yang menjadi punakawan atau abdi pelayan yang tiba-tiba menjadi raja di sebuah negara bernama Negara Mulwarengka. Ketika menjadi raja, ia bergelar Prabu Belgedhuwel Beh. Nama gelar tersebut adalah akronim dari sugih blegedhu rakyate dhedel dhuwel kabeh (raja yang kaya raya tapi rakyatnya compang camping semua)..
Pada mulanya Sang Petruk adalah seorang punakawan, pemomong yang suka memberi nasihat, suka berunjuk rasa, suka protes, suka berdebat, suka mengkritik dengan argumentasi muluk-muluk, dan suka menggerakan massa. Namun, saat ia diberi kekuasaan ternyata hanya memikirkan dirinya sendiri, mementingkan kepentingan pribadinya sendiri dengan menumpuk kekayaan, korupsi besar-besaran, sedangkan rakyatnya dibiarkan keleleran dalam perangkap kemiskinan. Terjadilah kesenjangan sosial yang terbentang lebar antara pejabat dan rakyat. Raja dan pejabat negara hidup bergelimangan harta sedangkan rakyatnya miskin dan papa.
Sama dengan Ranggawarsita, melalui karyanya Petruk dadi Ratu, Tjan Tjoe Han menunujukkan sebuah fenomena sosial yang sampai sekarang boleh jadi tetap hadir di sekeliling kita. Dari naskah itu pula dapat kita lihat sebuah trik politik yang mengatasnamakan rakyat sehingga dapat meraih kekuasaan namun justru melupakan rakyatnya. Penggambaran ini merupakan potret yang nyata dalam jagat perpolitikan kita. Lihat saja, para penguasa, baik itu birokrasi maupun legeslatif, saat mengampayekan dirinya acap kali mengatasnamakan rakyat bahkan menjadikan rakyat sebagai isu sentral politiknya, namun saat telah berhasil merebut dan menggenggam kekuasaan ia segera melupakan rakyat, bahkan menggerogoti rakyatnya dengan rakus.
Cerita Petruk dadi Ratu sesungguhnya sebuah kritik terhadap perilaku dan mentalitas para pemimpin yang lupa diri akan asalmuasal diri dan kewajibannya sebagai pemimpin. Cerita ini sesungguhnya menjadi kritik dan oto kritik yang selalu relevan dalam tiap zaman sekaligus mengingatkan bahwa kita harus selalu mawas diri sekaligus tidak mengkhianati jati diri dan asal muasal.
Yang paling penting: semoga kita tidak menjadi salah satu dari petruk-petruk itu atau kita salah memilih Petruk dalam pilkada yang sebentar lagi akan digelar di tengah-tengah pagebluk ini!
– Penulis adalah esais, sastrawa dan guru SMAN 2. Bukunya Percakapan Tan dan Riwayat Kuldi Para Pemuja Sajak menerima Anugerah buku puisi terbaik Tingkat Nasional 2016 dan bukunya yang lain Perbincangan Terakhir dengan Tuan Guru (2018) dan Kitab Ibu dan Kisah Hujan (2019) menjadi buku terpuji versi HPI 2018 dan 2019.