Oleh Syukur Budiardjo
Banyak pembaca puisi yang sulit memahami makna dan pesan yang terkandung di dalam sajak atau puisi “Malam Lebaran” karya Sitor Situmorang. Termasuk saya. Ini puisi terpendek karyanya yang pernah dimuat di majalah Zenith dan terkumpul dalam buku Dalam Sajak (1955).
MALAM LEBARAN
bulan di atas kuburan
- Iklan -
Banyak tafsir yang ditulis oleh pembaca mengenai isi, makna, atau pesan puisi tersebut. Mereka mendasarkannya atas teks puisi tersebut semata. Entah dengan pendekatan struktural ataupun semiotik.
Semula saya pun demikian. Hanya membaca kata per kata kemudian menafsirkannya begitu saja. Dalam benak bertanya: Mana mungkin pada tanggal 1 Syawal tepat “malam lebaran” terlihat bulan mengambang di langit yang menaungi kuburan? Sesuatu yang musykil. Tak masuk akal.
Penanda 1 Syawal adalah hilal, bulan sabit “njlirit” nan kecil yang terlihat hanya sangat sebentar. Akan tetapi, di dalam puisi Sitor Situmorang tersebut digambarkan “bulan” yang meski tidak purnama, terlihat oleh mata telanjang. Nonsens, itu logikanya!
Pengakuan Sitor Situmorang
Rupanya kita melupakan latar belakang proses penciptaan puisi tersebut. Itu sebabnya, banyak interpretasi terhadap puisi tersebut meskipun itu sah-sah saja. Bukankah pembaca memiliki kebebasan dalam menemukan dan memberikan makna atas puisi yang telah dibacanya?
Inilah latar belakang proses penciptaan puisi “Malam Lebaran”, yang merupakan pengakuan Sitor Situmorang, saya kutip dari buku Proses Kreatif: Mengapa dan Bagaimana Saya Mengarang II (Editor Pamusuk Eneste, Jakarta: Gramedia, 1984, halaman 1-2).
“Tahun 1954, Jakarta. Beberapa hari sesudah Hari Raya Idul Fitri umat Islam. Suatu sore saya berniat pergi bertamu ke rumah Pramoedya Ananta Toer, untuk kunjungan halalbihalal. Apa lacur, rumah (gubuk)-nya di daerah Kober sepi orang dan hari sudah malam ketika saya sampai. Kecewa amat rasanya!”
“Pulang dari daerah perkampungan tempat tinggalnya, yang berselokan-selokan mampet yang bau busuk, saya kesasar ke suatu tempat yang penuh pohon-pohon tua dan rimbun, serta dikelilingi tembok. Ada bulan. Karena kepingin tahu ada apa di balik tembok yang seperti tembok loji di Jawa itu, saya mendekatinya.’
“Berdiri berjingkat, di atas seonggok batu, saya berhasil melongok mencari tahu ada apa di balik tembok itu: ternyata pekuburan berisi berbagai ragam bentuk kuburan berwarna putih, tertimpa sinar bulan di sela-sela bayangan dedaunan pepohonan! Pekuburan tua orang Eropa penuh tanda salib!”
“Saya terpesona, sejenak saja, mungkin hanya beberapa detik, mengamati tamasya itu! Bahkan terpukau seperti tersihir. Saya lalu berpaling, turun dari onggokan batu. Rasa kecewa ini diharu biru oleh kesan bulan di atas kuburan (rekaman ingatan dalam kata-kata).”
“Kesan yang terumus dalam kata-kata secara spontan itu, terucap dalam hati berulang-ulang, terus-menerus memburu ingatan, kemudian melemah, tapi tidak lenyap sama sekali, di saat saya mendekati jalan raya, yang penuh keriuhan lalu lintas. Saya merasa terasing dari bunyi kesibukan, walaupun jelas tetap mampu bergerak melakukan apa yag harus dilakukan: mencegat oplet tumpangan pulang.”
“Pulang? Tujuan rutin, ke rumah sendiri, terasa hilang arti. Bulan itu, kuburan itu. Kematian, sedang di atas dan di sekelilingnya: dunia, ya, jagad yang berjalan dan beredar terus, di hari baik, di bulan baik orang percaya!”
Puisi Impresionistik
Jadi, masuk akallah jika bulan tampak mengambang di langit di atas kuburan. Sebab, seminggu setelah 1 Syawal (Idul Fitri) bulan tampak setengah purnama, belum purnama penuh. Pertanda tanggal muda. Bulan yang tampak itu rupanya dikaitkan dengan situasi Idul Fitri atau Lebaran yang masih terasa auranya, oleh penyairnya.
Momen Sitor Situmorang menyaksikan bulan menyinari kuburan adalah beberapa hari setelah Hari Raya Idul Fitri. Pengalaman indrawi yang unik dan khas yang membekas di dalam jiwanya akhirnya mendapat jalan keluar yang indah namun juga unik dan bernas dalam bentuk puisi. Puisi terpendek dalam sejarah puisi di negeri ini, seperti puisi haiku, puisi dari Jepang.
Sebagai puisi impresionistik puisi “Malam Lebaran” berisi kesan yang mendalam tentang sinar bulan yang menyinari kuburan (orang-orang Belanda) di Taman Prasasti di Tanah Abang, Jakarta Pusat. Suatu kebetulan bagi seorang Sitor Situmorang yang non-muslim menulis puisi ini. Karena perjumpaan yang menghunjam dan menggetarkan jiwanya bertepatan dengan suasana Idul Fitri atau Lebaran. Hingga menghasilkan puisi fenomenal nan ikonik milik Sitor Situmorang.
Kebahagiaan dan kesucian lahir dan batin akan bersemayam di dalam jiwa kaum muslimin dan muslimat di seantero dunia ketika Idul Fitri atau Lebaran tiba senyampang telah ditunaikannya sebulan penuh berpuasa pada bulan Ramadhan. Ini terlepas dari kondisi pandemi Covid 19 atau corona yang tak pernah kita ketahui kapan akan berakhir.
Selamat Hari Raya Idul Fitri, 1 Syawal 1441 Hijriah.
Cibinong, Mei 2020
–Penulis dan Pensiunan Guru ASN di DKI Jakarta. Alumnus Fakultas Pendidikan Bahasa dan Seni (FPBS) Jurusan Bahasa Indonesia IKIP Jakarta. Menulis artikel, cerpen, dan puisi di media massa cetak, media daring, dan media sosial. Kontributor sejumlah antologi puisi. Selain itu juga menulis buku kumpulan sajak Mik Kita Mira Zaini dan Lisa yang Menunggu Lelaki Datang (2018), Demi Waktu (2019), dan Beda Pahlawan dan Koruptor (2019), buku kumpuan esai Enak Zamanku, To! (2019) dan Solilokui Menulis Puisi (2019), dan buku nonfiksi Strategi Menulis Artikel Ilmiah Populer di Bidang Pendidikan sebagai Pengembangan Profesi Guru (2018). Tinggal di Cibinong, Kabupaten Bogor, Jawa Barat.