Oleh Hamidulloh Ibda
Efek pandemi covid-19 memang beragam. Dari urusan dapur, kasur, sumur, sayur, hingga urusan pendidikan formal. Salah satu fenomena menarik adalah webinar, istilah yang mungkin baru bagi para guru, dosen, pelajar ataupun mahasiswa yang kurang melek teknologi.
Belakangan, saya dan beberapa kawan dosen, sahabat guru, dan teman-teman mahasiswa aktif mantengin gawai dan laptop karena mengikuti webinar. Sebuah kegiatan mengisi “kegabutan” daripada sekadar iseng-iseng belaka. Tak masuk kerja, lagi sedikit malas menulis, mending ikut webinar dengan modal kuota saja. Lebih teknisnya, kita hanya modal laptop atau gawai, internet (kuota), headset, email (username dan password), dapat link (url), dan tinggal registrasi. Oke, langsung kita dapat mengikuti webinar itu!
“Pak, ikut, ini seminar online gratis dapat sertifikat,” tiba-tiba ada layanan pesan di WhatsApp saya sembari mengirim meme dan link untuk login kegiatan itu. Saya bilang “oke, Pak. Suwun”.
- Iklan -
Pesan japri seperti ini terus bermunculan. Bahkan, untuk materi tambahan, saya sering mengirim link webinar ke kelas kulwap alias kuliah Whatsapp yang saya ampu. Mereka saya beri tambahan materi dengan cara mengikuti webinar itu. Dus, masalahnya, apakah webinar sebagai bagian dari kuliah daring itu berkualitas?
Afirmasi Webinar
Saya kemarin pernah mengisi konten Youtube dan artikel, intinya efek pandemi ini memang menggeliatkan aktivitas literasi manusia. Salah satunya adalah webinar sebagai bagian dari kegiatan akademik via daring. Ini menjadi dua tanda, positif dan negatif.
Secara bahasa, webinar merupakan akronim dari “web seminar”, atau ada yang menyebut “website seminar”, “seminar via website” atau kegiatan seminar yang dilakukan melalui situs web atau aplikasi berbasis internet. Ya, pada intinya webinar adalah kegiatan seminar entah itu seminar hasil riset, seminar bernuansa kuliah umum, seminar rasa diskusi, seminar rasa rapat, workshop, lokakarya, presentasi ilmiah berbasis meeting (pertemuan) via daring dengan terkoneksi bersama meskipun lokasi peserta berada di tempat jauh dan berbeda.
Secara teknis, webinar pun bermacam-macam. Ada webcast (web broadcast) atau siaran web. Ada pula web conference (video conference) atau telekonferensi (telekon). Model seperti ini, dalam sejarahnya memang hanya berkembang untuk dunia bisnis, online marketing, promosi produk, brand, dan lainnya. Kini, webinar dikembangkan di dunia pendidikan, bahkan aktivitas religius juga menggunakannya.
Tentu, webinar ini perlu diafirmasi, diteguhkan, bagaimana kualitasnya? Apakah semua peserta paham dengan materi? Apakah mudah, efektif, efesien? Atau hanya efek nggaya dan karena dampak pandemi belaka? Jawabannya tentu berbeda-beda, karena seburuk-buruknya kegiatan hari ini adalah #dirumahsaja tanpa harus ke mana-mana, termasuk mudik.
Webinar menjadi bagian kegiatan yang tentu sesuai zeitgeist (spirit zaman). Mau webinar dengan platform via Youtube Live, Facebook Live, Instagram Live, zoominar (zoom), Google Meet, Cisco Webex, Vimeo Livestream, Demio, Skype Video Meetings, Google Hangouts, ezTalks, atau sejenisnya, sah-sah saja. Semua adalah bagian dari fenomena kemajuan teknologi yang memang menyesuaikan perkembangan zaman.
Selama beberapa minggu ini mengikuti webinar, ada beberapa catatan yang saya dapat dari proses itu. Pertama, webinar sangat mudah nan murah, namun kadang menjenuhkan, karena ini soal koneksi. Kedua, kesiapan panitia/pemateri kadang membuat peserta malas menunggu lama, apalagi pemateri yang agak “gaptek” dan harus mengajari dari nol. Ketiga, adanya gangguan sinyal, atau koneksi yang menganggu proses siaran bahkan membuat video menjadi hitam.
Keempat, terbatasnya akses masuk khususnya via zoom, apalagi yang tidak berbayar. Kelima, webinar via zoom yang diintegrasikan ke Youtube Live kadang membuat kendala tersendiri. Seperti kemarin, sekelas kampus negeri saja, videonya tidak diizinkan dari pihak Youtube dan dihapus otomatis. Ini juga menjadi masalah sendiri, karena jika via Youtube Live bisa dilihat orang tanpa batas, namun jika via zoom sangat terbatas. Masih banyak kendala teknis lainnya yang tentu tiap orang berbeda. Saya tidak bisa membayangkan jika ini terjadi di daerah pedalaman. La di rumah saya saja yang memakai wifi kadang terkendala, apalagi yang di daerah 3T.
Fenomena ini tentu menjadi bagian dari kegelisahan penikmat webinar. Akankah webinar ini menjadi solusi utama ke depan, atau hanya tren saat musim pandemi saja?
Rayuan Sertifikat Gratis
Salah satu motivasi mengikuti webinar adalah sertifikat, tepatnya e-sertifikat. Kita berada di mana saja, tinggal registrasi, mengisi biodata via google form, mau masuk ke webinarnya via zoom atau sekadar menonton Youtube Live saat webinar berlangsung, itu tidak urusan. La nyatanya, mereka yang tidak serius mengikuti materi webinar, rata-rata hanya mengejar e-sertifikat saja.
“Lumayan, kalau ikut seminar yang nyata, misalnya diklat, workshop, apalagi sampai 36 JP, kita harus bayar mahal. Ini webinar hanya modal login dan ngisi biodata, kita dapat sertifikat gratis tinggal ngeprint sendiri,” kata salah satu ASN yang kukenal.
Istri saya juga bernada sama, meski substansi berbeda. “WFH kok tidak digunakan mengikuti acara webinar ya rugi. Ini idep-idep nambah sertifikat untuk kenaikan pangkat. Percuma WFH kok nggak dibuat aktivitas produktif,” kata istriku.
Teman dosenku juga mengucapkan hal sama. “Lumayan, Pak, buat nambah sertifikat untuk PAK dan akreditasi,” ujar dia.
Ungkapan-ungkapan seperti ini membuktikan bahwa tujuan belajar, webinar, ternyata hanya berhenti pada selembar kertas. Harusnya, kita mengutamakan kualitas dari materinya, siapa pematerinya, apa tujuannya, siapa penyelenggaranya, bukan fokus “ada sertifikatnya atau tidak?”
Pola pikir pragmatis inilah yang kadang membuat substansi webinar itu kabur. Bahkan, hanya menjadi formalitas karena kita tidak serius mengikuti acara itu, lalu hanya fokus pada mengisi google form karena sebagai syarat mendapatkan sertifikat saja.
Hal itu nanti ya persis kayak kuliah, tujuan yang lebih substansial, atau sekadar memburu gelar dan ijazah. Tapi, rata-rata manusia ya seperti itu deh. Mau anaknya kiai, gus, bupati, orang sakti, sampai petani, rata-rata kuliah itu ya untuk dapat selembar ijazah dan gelar. Thats’all. Lalu, bagaimana dengan webinar? Podo ah!
Tapi bagi saya, hal-hal semacam itu soal pilihan. Karena namanya manusia jumlahnya banyak, tidak mungkin idealis dan serius mengikuti webinar. Sebab, di era yang serba dibatasi ini, sebut saja salat dibatasi, berkumpul-kumpul dibatasi, ke pasar dibatasi, mudik dilarang, maka serendah-rendahnya kegiatan adalah webinar. Gratis, mudah, murah, dapat sertifikat pula!
Daripada gabut, menggunjing tetangga, nonton acara gosip, dan sekadar melihat e-commerce namun tak kuat membelinya, mending ikut webinar saja. Karena itu mungkin yang Anda bisa! Benarkah demikian?
Mengikuti webinar itu menjadi kegiatan produktif ketika diikuti dengan serius, niat belajar. Akan percuma, ketika hanya berburu sertifikat, karena tanpa berburu, asal kita ikut, akan mendapatkannya secara otomatis. Yang paling nggatel itu, tidak ikut webinar, tapi minta sertifikatnya. Iki wong cap opo?
-Penulis adalah Koordinator Gerakan Literasi Ma’arif (GLM).
web seminar pengisi waktu dan menambah wawasan dari pemateri