Oleh Hamidulloh Ibda
Di awal mengajar mata kuliah Filsafat Umum, saya selalu bertanya pada mahasiswa. “Apa yang membuat kalian yakin dengan Islam?” “Sebutkan alasan ilmiah, mengapa Islam yang paling benar?” Jangan hanya sebatas Islam keturunan, karena Bapak dan Ibu Anda Islam, maka Anda Islam.
Jangan sekadar berpatron pada ayat “innaddina indallahil Islam”. Itu doktrin, ideologis, monopolis. Mas, Mbak, semua sabun, dalam iklan tidak ada yang mau menyebut sabun nomor dua. Semua sabun pasti mengklaim nomor satu, paling benar, baik, dan berkualitas. Agama pun sama, baik agama samawi maupun ardli.
Dus, mengapa Islam, Anda yakini paling benar?
- Iklan -
Semua mahasiswa terdiam. Ada yang ingin menjawab, tapi ragu-ragu. Ada yang menjawab, tapi muter-muter, mbulet kayak zaman saya kuliah dulu. Ah, mbuh!
Sejak 2017, saya kebagian mata kuliah yang bagi saya berat. Sebab, mendekonstruksi pikiran mahasiswa yang berlatarbelakang aneka ragam memang susah bin angel.
Lantaran mereka menyerah, saya pun menjawab pertanyaan di atas sendiri. Takon dewe, dijawab dewe. Salah satu alasan dasar, Islam adalah agama benar dan ilmiah, karena adanya Alquran. Kitab suci ini memiliki bahasa yang kaliber sastranya tinggi. Ya’lu wala yu’la alaih.
Bayangkan saja, hanya Alquran yang bahasa sastranya tak tertandingi. Itulah sebabnya, sangat sedikit mufassir yang mampu menafsirkan Alquran secara pas. Ada ayat muhkamat, ada mutasyabihat. Ada nasikh, ada mansukh. Mbulet pokoknya lah!
Mau memakai metode tafsir tahlili, ijmali, muqarran maupun al-Maudhu’i, semua tetap tidak bisa mendekonstruksi sampai ke akarnya, dengan apa yang Allah maksud dalam Alquran.
Bahkan, ketika Allah murka pun, Allah masih bisa berpuisi. Bisa kita tadabburi Surat Al-Lahab; “Tabbat yadā abī lahabiw wa tabb, mā agnā ‘an-hu māluhụ wa mā kasab, sayaṣlā nāran żāta lahab, wamra`atuh, ḥammālatal-ḥaṭab, fī jīdihā ḥablum mim masad”.
Rima indah ini tak mungkin kebetulan. Tapi keajaiban yang bagi saya ini adalah mukjizat, kekuasaan Allah.
Saking enigmatisnya Alquran, bahasa metafor yang tinggi, menjadikan Alquran sebagai penyempurna kitab-kitab terdahulu. Wajar jika satu ayat Alquran saja, jika diteliti akan melahirkan puluhan disertasi. Ngeri!
Meski syurutul mufassirin menyaratkan penafsir Alquran harus alim, ngelotok bahasa Arab, paham ilmu mantik, nahwu, sorof, balaghah, hafal Alquran, disyaratkan paham ulumul quran bahkan ulumul hadis, dan juga memiliki adabul mufassirin, tapi sangat sedikit penafsir yang mampu menafsir Alquran sesuai “maksud” Allah itu sendiri.
Sebut saja, Alif Lam Miem. Rata-rata, hanya ditakwil, semuanya bilang wallahu a’lam. Ada yang menyebut “Allah, Jibril, Muhammad”. Ada pula “Allah, Latif, Majid”. Tapi apa benar itu? Mau Tafsir Jalalain, Tafsir Al-Ibriz, Tafsir Al-azhar, Tafsir Ibnu Katsir, dan lainnya, semua hanya tafsir.
Islam dengan tafsir Islam beda. Cinta dengan tafsir cinta juga “seje”. Itulah hebatnya Alquran, yang secara bahasa memiliki nilai sastra paling tinggi dibandingkan dengan kitab-kitab suci lainnya. Apalagi sekadar puisinya WS. Rendra, Sutardji Calzoum Bachri, Sapardi Djoko Damono, Emha Ainun Nadjib, Joko Pinurbo, dan puisiku. Tidak ada secuilnya.
Kapasitas manusia hanya menafsir, bahkan mentadabburi (menelaah). Belum lagi kalau kita dihadapkan pada ayat-ayat yang metafornya tinggi. Bikin mumet dan njelimet. Maka, menafsir atau mentadabburi Alquran haruslah melihat realitas sosial, harus kontekstual tidak sekadar tekstual.
Misal, kita menafsir “yadullah”, kalau secara tekstual ya jelas “tangan Allah”. Tapi masak Allah ditafsir punya tangan? Kan harus dikontekskan, yaitu “kekuasaan Allah”. Saking susahnya menjadi penafsir Alquran, saya semakin yakin bahwa Alquran itu memang “kitab puisi”. Meski di dalamnya ada cerita, peringatan, perintah, ancaman, iming-iming nikmat, janji, dan lainnya.
Puasa dan Puisi
Ramadan merupakan bulan indah. Ia dipilih Allah sebagai bulan diturunkannya Alquran. Maka, saya menyebut Ramadan itu “bulan puisi”. Puasa itu puisi.
Alquran adalah kalam Allah yang diperuntukkan kepada manusia. Kebetulan, dulu, tradisi masyarakat Arab primitif juga sudah melestarikan syair, sastra, kahin, dan lainnya.
Maka di dalam Alquran, jelas bahwa Alquran bukan bahasa atau ciptaannya Rasulullah Muhammad Saw. Namun, benar-benar kalam Allah yang kala itu, Muhammad ketika mendakwahkan Islam dituduh sebagai kahin, majnun. Jadi, secara antropologis, Alquran diturunkan di Arab, karena masyarakat di sana juga senang dengan sastra.
Surat An-najm ayat 3-4 berbunyi “Wama yantiqu ‘anil hawa, in huwa illa wahyun yuha” yang artinya “dan tiadalah yang diucapkannya itu (Alquran) menurut kemauan hawa nafsunya. Ucapannya itu tiada lain hanyalah wahyu yang diwahyukan (kepadanya).” (Q.S. An-Najm:3-4).
Ayat ini menegaskan bahwa Alquran adalah kalam Allah. Bagi saya, Alquran itu puisinya Allah kepada manusia yang diturunkan kepada Muhammad lewat Malaikat Jibril. Dengan total 320.671 huruf, ada yang berpendapat kalimat Alquran berjumlah 77.277, ada pula 77.934, pendapat lain lagi 77.434 kalimat. Jumlah ayat Alquran sendiri ada yang berpendapat 6.200 ayat, ada pula 6.666 ayat.
Imam Syafi’i dalam kitab Majmu al-Ulum wa Mathli’u an Nujum menyebut jumlah total semua huruf dalam Alquran sebanyak 1.027.000. Jumlah ini sudah termasuk jumlah huruf ayat yang di-nasakh. Semuanya itu bagian dari usaha mencari kebenaran. Dan, Alquran sebagai puisi, bagi saya memang susah ditafsirkan dalam matematikanya manusinya. Angkanya manusia.
Dari segi kuantitatif saja, semua imam dan ulama berbeda pendapat. Semakin menegaskan, bahwa secara kuantitas saja, Alquran “susah dihitung”. Laiknya matematika sastra yang susah disimpulkan, tak habis dituliskan, semakin enigmatis ditafsirkan.
Untuk itu, tiada puisi yang indah kecuali puasa. Dan puasa, sumbernya dari Alquran, dari Allah. Karena saat puasa Ramadan, puisi teragung (Alquran) itu diturunkan. Dan, kebetulan pada puasa tahun ini, bertepatan pada Hari Puisi Nasional, yaitu 28 April 2020.
Untuk itu, mari kita ciptakan rima-rima indah dalam puasa ini. Sebab, puasa tanpa keindahan yang melampaui masalah fikih dan tasawuf, akan gersang nan usang. Kita pun hanya dapat teksnya, lapar dan dahaga.
Dus, adakah puisi ciptaan manusia yang menandingi puisinya Allah?
–Penulis adalah Koordinator Gerakan Literasi Ma’arif (GLM)