Oleh Dian Marta Wijayanti
Pada 7 April 2020 ini diperingati Hari Kesehatan Internasional di tengah penularan wabah corona (covid-19). Momentum ini menjadi refleksi dunia pendidikan untuk mencari jalan terbaik memasukkan kurikulum atau program kesehatan di sekolah.
Langkah Kemdikbud menunda ujian nasional (UN) perlu diapresiasi guna untuk mengutamakan keselamatan dan kesehatan siswa, guru, dan keluarganya di tengah penularan wabah covid-19. Namun yang tak kalah urgen di sini adalah edukasi kesehatan di sekolah sebagai investasi masa depan. Sebab, prinsip “mencegah lebih baik daripada mengobati” masih dipercaya dan terbukti jitu dalam menghalau wabah penyakit.
Pendidikan harus menjadi garda terdepan dalam melakukan edukasi sebagai langkah preventif mencetak generasi sehat. Meski Kemdikbud kini fokus pada tiga capaian, yaitu numerasi, literasi, dan karakter, namun harusnya edukasi kesehatan juga menjadi program prioritas.
- Iklan -
Akan tetapi, realitas kualitas pendidikan kita masih rendah. Sesuai data hasil skor Programme for International Student Assessment (PISA) untuk Indonesia pada 2018 yang diumumkan Desember 2019 masih jauh dari harapan. Data PISA yang bidang pengukurannya matematika, sains, dan literasi, menyebut skor matematika siswa Indonesia berada di urutan 72 dari 78 negara yang dinilai. Urutan Indonesia jauh di bawah negara tetangga, contohnya Malaysia yang diurutan 47 dan Thailand di urutan 57. Nilai kita pun jauh di bawah skor rata-rata yakni 379 dari skor rata-rata 489 (MI, 25/3/2020).
Hasil itu menjadi tamparan keras bahwa banyak pekerjaan rumah yang harus diselesaikan Mendikbud dan stakeholders pendidikan di Indonesia. Salah satu bagian integral dari hal itu adalah adanya kurikulum atau program kesehatan yang ada di sekolah. Hal itu hakikatnya sangat mendukung pencapaian keterampilan matematika, sains, dan literasi. Sebab, sepintar-pintarnya anak didik, kesehatan tetap menjadi nomor satu.
Salah satu unit kecil di sekolah yang terabaikan saat ini adalah usaha kesehatan sekolah (UKS). Peran UKS sangat strategis untuk mencegah munculnya banyak penyakit termasuk virus corona (covid-19). Akan tetapi, selama ini UKS hanya berwujud kamar kecil, kumuh, berdebu, dan hanya untuk tiduran atau istirahat anak-anak yang kecapekan usai olahraga. Padahal, UKS hakikatnya wadah dan menjadi “rumah sehat” bagi anak-anak dan umumnya warga sekolah.
Ironisnya, UKS justru menjadi tempat nongkrong anak-anak dan bersembunyi ketika pelajaran berlangsung. Realitas ini harus disadari semua stakeholders sekolah dalam rangka mewujudkan warga sekolah sehat dan edukasi kesehatan di bangku pendidikan.
Mangkraknya UKS dan peran edukasi termarjinalkan karena beberapa sebab. Pertama, tidak adanya manajemen UKS. Kedua, lemahnya SDM pengelola. Ketiga, ketidakpedulian warga sekolah pada UKS. Keempat, kurangnya kesadaran akan kesehatan warga sekolah. Kelima, minimnya alat-alat kesehatan. Keenam, tidak adanya program edukasi kesehatan.
Untuk itu, UKS harus dibangkitkan lagi di tengah maraknya virus covid-19 yang kini menghantui masyarakat dan khususnya warga sekolah. Sekolah tidak hanya melakukan edukasi dalam bidang olah pikir, olah hati, olah rasa, namun juga olah raga yang secara substansial berperan mewujudkan kesehatan warga sekolah.
Efek Corona
Sebagai wabah penyakit dan termasuk Kejadian Luar Biasa (KLB), corona menjadikan sekolah libur selama dua pekan, bahkan bisa jadi akan melebihi kebijakan yang ada. Hal ini bisa menjadi refleksi bersama bahwa penyakit bisa datang kapan saja, di mana saja, dan dengan siapa saja. Tanpa terkecuali bagi pelajar maupun guru.
Corona memang bukan penyakit pribumi, melainkan dari luar negeri. Namun efeknya, pelajar yang pergi ke luar negeri atau daerah menjadi terhantui. Seperti contoh enam pelajar SMAK Frateran Maumere menjalani karantina rumah dan dipantau selama 14 hari oleh petugas medis dari Dinas Kesehatan Kabupaten Sikka NTT untuk mencegah virus Corona (Liputan6.com, 14/3/2020). Mereka dikarantina sesuai sesuai Standar Operasional Prosedur (SOP) dan berstatus Orang Dalam Pemantauan (ODP) virus Corona karena baru saja belajar delapan bulan dari Jepang.
Tak hanya itu, rombongan SMAN 1 Temanggung yang melakukan piknik di Bali ketika pulang di Temanggung juga dipantau selama 14 hari terhadap seluruh peserta study tour tersebut (Kompas.com, 16/3/2020). Sebanyak 289 murid, 15 guru, dan 14 orang dari biro wisata itu menjadi sorotan karena merebaknya corona.
Di Kota Semarang sendiri, meskipun siswanya libur, namun para guru masih masuk untuk melakukan beberapa kegiatan. Selain membersihkan bangku, ruang kelas, kantor, semua guru melakukan kerja bakti dengan menyemprotkan cairan disinfektan di area sekolah. Langkah ini sah-sah saja karena ini merupakan instruksi dari pemerintah. Akan tetapi, dalam jangka panjang, di mana peran UKS dalam melakukan langkah mencegah penyakit yang datangnya tidak pernah diundang?
Revitalisasi UKS
Penyair Romawi, Juvenal, pernah mengatakan bahwa mensana incorpore sano (di dalam tubuh yang kuat, terdapat jiwa yang sehat). Tubuh secara jasmani dan rohani menjadi satu paket yang menjadi tugas pendidikan. Maka wajar jika arah pendidikan kita tidak sekadar olah rasa, olah pikir, dan olah hati, namun juga olah raga.
Ki Hadjar Dewantara (1889-1959) mendefinisikan pendidikan sebagai daya-upaya memajukan bertumbuhnya budi pekerti (kekuatan batin, karakter), pikiran (intelek) dan tubuh anak, dalam rangka kesempurnaan hidup dan keselarasan dengan dunianya. Maka secara teknis, pendidikan orientasinya membentuk manusia berbudi pekerti, berpikiran (pintar, cerdas) dan bertubuh sehat.
Dalam konteks ini, UKS sebagai unit di sekolah harus mengimplementasikan pesan sakral di atas. Sebab, selain corona, masih banyak penyakit lain seperti HIV/AIDS, DB, malaria, leptospirosis yang menghantui warga sekolah. Penyakit datang kapan saja dan harus dicegah secara preventif agar tidak meneror umat manusia. UKS harus hadir sebagai pionir kesehatan utamanya bagi warga sekolah. Untuk itu, revitalisasi UKS menjadi penting untuk mencegah penyakit-penyakit tersebut termasuk corona.
Ada beberapa strategi revitalisasi UKS agar dapat kembali kepada tujuan dan fungsinya. Pertama, penguatan manajemen dan SDM pengelola UKS. Selama ini UKS hanya formalitas dan hanya “pemanis” ketika akreditasi sekolah. Padahal perannya sangat strategi utamanya menjawab problem penyakit yang semakin berkembang.
Kedua, mengembalikan “Trias UKS” yang semakin sedikit siswa-siswi yang hafal. Mulai dari pendidikan kesehatan, pelayanan kesehatan, dan pembinaan lingkungan kehidupan sekolah sehat. Pendidikan kesehatan cakupannya harus berupa kegiatan promotif, preventif, kuratif dan rehabilitatif yang menitikberatkan pada upaya untuk meningkatkan perilaku hidup sehat warga sekolah. Pelayanan kesehatan ini harus melibatkan semua warga sekolah karena kesehatan itu “mahal”. Pembinaan lingkungan kehidupan sekolah sehat dapat dilakukan melalui pembinaan lingkungan fisik, mental, dan sosial.
Ketiga, pemenuhan alat-alat dan obat-obatan. Tidak hanya P3K, namun alat-alat dan obatan-obatan di UKS harus lengkap meskipun dengan biaya terjangkau. Keempat, membangun sinergi dengan Puskesmas, Rumah Sakit, apotek, dokter, bidan, maupun perawat di tingkat desa dan kabupaten/kota. Tujuannya jelas, selain sinergi program, membantu pengadaan alat-alat dan obat-obatan, juga menyukseskan Trias UKS di atas.
Keempat, mengembalikan budaya/tradisi dokter kecil dan UKS di jenjang SD/MI, dan PMR dan UKS di jenjang SMP/MTs, dan SMA/SMK/MA. Hal ini menjadi penting karena budaya yang baik di sekolah harus diteruskan meski zaman semakin berubah.
Kelima, membangun kesadaran akan kesehatan diri, lingkungan fisik, mental, dan sosial kepada semua warga sekolah, wali murid, tetangga sekolah, dan komite. Seperti contoh pembinaan siswa-siswi tentang corona. Anak-anak, wali murid, dikenalkan tentang pengertian, bahaya, dan cara menghindarkan diri dari penyebaran virus tersebut. Tidak hanya soal cuci tangan, pengadaan sabun dan hand sanitizer, namun juga edukasi tentang etika hidup sehat dan berinteraksi di tempat publik.
– Penulis adalah alumnus Program Pascasarjana Universitas Negeri Semarang