Oleh : Khamim Saifuddin
Hampir setiap hari di berbagai media, kita selalu disuguhi berita tentang wabah Corona yang mengakibatkan banyak di antara kita merasa ketakutan yang luar biasa. Tidak hanya masalah kesehatan jasmani, ternyata kondisi batin juga mulai mengalami guncangan dahsyat. Bayangkan kehidupan sosial antar sesama jauh dari kondisi normal seperti biasanya. Terlepas dari persoalan kehidupan sosial yang carut marut patut kiranya kita mencoba menganalisis keberadaan wabah ini dengan kacamata kearifan lokal.
Dalam terminologi ilmiah, Corona atau Covid 19 merupakan sejenis virus yang proses penularannya melalui berbagai media khususnya cairan tubuh penderita. Begitulah, berbagai ahli memberikan analisis dari sisi kesehatan masyarakat. Guna memutus persebaran, anjuran demi anjuran selalu didengungkan oleh pemangku kebijakan di berbagai lini.
Narasi, bila habis bepergian, jangan dulu sentuh anggota keluargamu sebelum cuci tangan. Atau hindari kontak fisik dengan orang lain yang belum diketahui asal usulnya, kalaupun harus maka wajib hukumnya untuk menjaga jarak. Ada lagi yang menganjurkan untuk melakukan pepe (berjemur) setiap pagi jam 9-10. Masih banyak lagi anjuran yang lain yang kadang tidak masuk akal di tengah gelombang modernitas budaya masyarakat.
- Iklan -
Anjuran dan pembatasan seperti ini mengingatkan pada orang tua kita yang selalu memberikan nasihat untuk berhati-hati terhadap sawan.
Dalam budaya masyarakat jawa, sering kita jumpai nama sawan. Ada sawan bayi, sawan manten, sawan mayit, sawan celeng, sawan wangke dan masih banyak lagi nama-nama sawan tergantung dari asal muasalnya. Dalam kamus bahasa indonesia disebutkan makna sawan adalah suatu penyakit yang datang tiba-tiba dengan gejala demam tinggi, badan terasa lungkrah dan lemas. Beda lagi yang ungkapkan oleh tetua jawa, sawan adalah sejenis hewan mikro organisme yang bertebaran di udara. Hewan ini keluar dari suatu obyek benda yang disinyalir mengandung penyakit.
Solusi dari masalah ini adalah setiap orang yang baru saja bepergian diharapkan untuk bebersih dengan wudlu atau juga dengan cuci tangan. Kasus ini ditemukan ketika seseorang habis melayat/ takziyah. Beda lagi ketika menjenguk bayi (bayen : Jawa) seseorang di minta untuk masuk dapur dulu sebelum memegang si jabang bayi.
Tradisi ini mengingatkan pada anjuran saat ini terhapap pencegahan akan pandemi corona ini. Kembang macan kerah juga merupakan pengobatan terhadap sawan yang di derita seseorang. Campuran tujuh rupa bunga yang dimasak dalam satu wadah dan kemudian digunakan untuk mandi. Dalam budaya modern kita mengenal Sauna dan SPA yang diberikan sebagai layanan konsumen di berbagai pusat kebugaran dan hotel.
Korelasi Corona dan Sawan
Melihat tata cara pengobatan dan perlakuan terhadap penyakit ini, saya berfikir ada hubungan yang sangat erat antar keduanya. Kebersihan badan dan pola hidup sehat dengan nutrisi makanan yang seimbang untuk meningkatkan stamina menemukan titik kesamaan. Hanya saja kayakinan penulis petugas medis akan membantah pandangan ini karena terkesan tidak ilmiah. Untuk itu kiranya tidak berlebihan jika kemudian penulis memberikan beberapa catatan dan kesimpulan dari dua kasus tersebut.
Pertama, tidak semua budaya nenek moyang/para tetua kita selalu berimplikasi negatif. Bayangkan jauh sebelum dunia kedokteran/medis menemukan berbagai macam obat, orang tua kita telah banyak memberikan khasanah pengobatan baik dengan media herbal maupun dengan doa ataupun penggabungan dua hal tersebut. Kiranya sangat naif jika kemudian menganggap semua budaya dan model kehidupan nenek moyang serba terbelakang dan tidak ada tuntunan dalam agama.
Kedua, bagi para akademisi, pemerhati dan praktisi pengobatan kiranya perlu untuk mengadakan pengkajian secara serius tentang keilmiahan model pengobatan tradisonal, warisan nenek moyang kita ini. Meski semua mafhum bahwa cara ini tidak lazim digunakan dalam keilmuan kedokteran modern. Sesungguhnya para pendahulu kita telah memberikan contoh tentang pentingnya penemuan cara pengobatan baru terhadap suatu penyakit. Ibnu Sina, Al Kindi dan Gabriel Bakhtisu merupakan contoh ilmuan sekaligus tabib yang menggabungkan teori lama dengan teori baru dunia kedokteran.
Ketiga, semua model pengobatan tidak akan pernah bisa lepas dari campur tangan sang pencipta, maka sudah sepantasnya semua bersandar kepadaNya setelah melakukan proses ikhtiar lahir. Sebagaimana orang tua kita mengajarkannya dengan sangat baik keseimbangan lahir dan batin. Seperti dicontohkan ketika kita akan minum obat dengan terlebih dahulu melafalkan doa “tombo teko molo lungo, lungo kersane Allah lahaula wala quwwata illa billah”. Doa jawa ini terkesan sepele namun jika ditelaah lebih jauh mempunyai nilai filosofis yang tinggi (hubungan transedental manusia dan sang khalik).
Keempat, narasi tentang social distancing harus segera dirubah menjadi physical distancing. Penggunaan istilah ini akan merubah mindset kita bahwa yang harus dijauhi ialah penyakit atau wabahnya bukan orangnya. Seringkali kita melihat berbagai fenomena penolakan jenazah di berbagai wilayah, ini membuktikan bahwa yang dilaksanakan adalah pembatasan sosial (social discancing).
Maraknya penlokan jenazah menjadikan ancaman bagi semua orang pasalnya orang akan segan melapor jika memiliki gejala-gejala karena takut dikucilkan bahkan diasingkan dari lingkungan sosialnya. Berbeda dengan physical distancing atau pembatasan hubungan fisik. Anjuran demi anjuran telah dibeberkan untuk tidak melaksanakan kegiatan-kegiatan yang melibatakan banyak massa atau kerumunan. Namun bukan berarti kita mengesampingkan kemanusiaan, dan menghiraukan anjuran kesehatan. Jaga kesehatan memang perlu dilaksanakan namun kemanusiaan harus tetap ditegakkan.
Selanjutnya semua punya penafsiran dan alangkah lebih baiknya jika bijak dalam mengartikan nilai-nilai humanisme trasnsedental yang ada pada kita. Wallahu ‘alam.
-Penulis adalah dosen STAINU Temanggung, Ketua IKA PMII Temanggung.