Oleh Hamidulloh Ibda
Maka sangat penting dan baru ada yang sadar, bahwa sumber segala pengetahuan berasal dari keluarga. Sembuh dan kambuhnya wabah ya dari rumah. Demikian hasil diskusi ringan, saya dengan istri sembari “momong” anak di era rezim lockdown seperti ini.
Tak hanya pengetahuan, sebenarnya kalau memakai rumus “pembelajaran, keteladanan dan pembiasaan”, rumah dengan segala atap dan pralonnya lebih menekankan karakter dari kompetensi. Corongnya adalah pendidikan dalam keluarga. Kita bisa menemukan kebahagiaan dari rumah, bahkan menemukan Tuhan itu sendiri karena Dia adalah sumber segala sumber. Rumah segala rumah.
Pemahaman seperti ini penting. Sangat penting. Sebab, gerakan #dirumahsaja, #belajardirumah, #bekerjadarirumah, work from home menjadi “wabah” yang melebihi wabah covid-19 yang ditakuti. Ini namanya israf!
- Iklan -
Kita takut, bahkan ketakutan karena rumah kita mungkin saja tidak ada Tuhan. Tuhan ogah mampir di rumah kita. Jadinya, kita ya ateis! Wajar jika banyak orang gendengnya kelewatan karena jauh dari Tuhan.
Menjadi dokter dan perawat dadakan, pakar dadakan, satpam dadakan. Serba dadakan!
Melihat Rumah dari Rumah
Pola pikir “tak bertuhan” dan rumus pendidikan formal yang kita yakini menjadikan kita jauh dari Tuhan. Ditambah, kita tak bisa menyinkronkan rumus Tri Sentra Pendidikan (pendidikan dalam keluarga, sekolah, masyarakat) dari Ki Hajar Dewantara menjadikan rumah hanya bangunan fisik. Benda mati.
Coba kita simak makna rumah itu dari dalam. Dari rumah itu sendiri. Dari dalam rumah. Tanpa mengutip pendapat dari luar rumah itu sendiri. Rumah itu ya dunia, surga, harta, juga “rumah ilmu” dan perpustakaan. Ada tatanan meja, kursi, atap, dapur, kasur, sumur, jendela, genting, almari, buku, jurnal, surat, baju, popok anak, bedak, cucian, piring, sendok, sepatu, lengkap dah!
Itu fisik rumah. Bagaimana dengan yang metafisik? Rumah, menjadi tempat makan, tidur, berdebat, diskusi, bercinta, belajar, membaca, menulis, mendidik anak, juga tempat ibadah. La, nikah berumah tangga kan ibadah. Waktunya paling lama.
Tapi, kadang, Tuhan tak hadir di rumah kita. Jawabannya, kembali lagi pada hakikat diri manusia itu sendiri. Sebab, sebagus apa pun rumah, ia tetap rumah. Penghuninya yang perlu didekonstruksi jika tak bisa menghidupi.
Penghuninya lah yang menjadikan rumah itu neraka. Karena asalnya, rumah itu ya surga. “Baiti jannati”.
Manusia, hakikatnya adalah Tuhan yang menyejarah. Kita kenal konsep Manunggaling Kawula Gusti, dalam Serat Dewa Ruci, diterangkan “Mungguh pamoring kawula lan gusti, iki kaya dene paesan karo sing ngilo. Wayangan kang ana sajroning pangilon, ya iku jengene kawula”. Artinya, kesatuan manusia dengan Tuhan, ibarat cermin dengan orang yang bercermin. Bayang-bayang dalam itulah manusia.
Melihat rumah, omah, bait, home, balai wisma, ya sama saja melihat penghuninya. Siapa? Ya, kita sendiri. Lalu, apakah rumah itu hanya rumah di dunia? Jelas tidak. Rumah kita yang asli ya surga, karena asal Nabi Adam ya dari surga yang dipindah ke dunia karena melanggar MoU suci memakan buah khuldi.
Untuk kembali ke sana, kita harus belajar “sangkan paran”. Allah dalam Alquran surat Al-baqarah ayat 156 jelas menyeru “inna lillahi, wa inna ilaihi raji’un”. Dari Allah ke Allah lah intinya. Dari rumah ke rumah.
Maka, tak ada laku lain selain menghadirkan Tuhan di rumah kita sebagai intinya inti dalam kehidupan. Untuk menyatu (manunggal) dengan Tuhan, syaratnya harus suci. Dalam Serat Dewa Ruci, Purwadi (2009:27) mencatat, manusia harus suci dengan langkah takhalli, tahalli, dan tajalli.
Untuk ke sana, rumah dengan konsep wujud, zat, sifat, dan makrifat harus-harus benar-benar menyatu dengan Tuhan. Hal itu dapat dilakukan penghuni rumah dengan senantiasa menghadirkan Tuhan dalam segala hal. Baik dalam aspek fisik (zikir jahri) dan metafisik (zikir sirri).
Sunan Kalijaga pernah berpesan yang ditulis dalam wirid Hidayat Jati, bahwa manusia dapat menempuh tujuh martabat untuk menuju Tuhannya. Begitu pula dengan rumah. Ketujuh pemikiran tajalli dalam wirid itu yaitu “ahadiyat, wandat, wahidiyat, alam arwah, alam misal, alam ajzan, insan kamil”. Jika seisi rumah mengomparasikan tujuh martabat itu, saya yakin Tuhan selalu hadir dalam rumah kita.
Bagaimana langkahnya? Kita mulai dari rumah kita sendiri. Membangunnya dengan tembok persatuan, batu bata kerja keras, kasur kemesraan, selimut kelembutan, atap kepercayaan, meja kesederhanaan, pintu kejujuran, jendela keterbukaan, dapur kebersamaan, lantai kelapangan, buku pengetahuan, almari kerapian, baju kesetiaan, sumur kejernihan, teras masa depan, kamar kasih sayang, dan genting pengayoman.
Rumah secara fisik saja, sangat multifungsi. Bisa jadi sekolah, perpustakaan, kantor, hotel, restoran, bahkan rumah sakit. Apalagi itu rumah metafisik.
Insyaallah, rumah kita menjadi rumah masa depan, dan selalu dihadiri- dilindungi Tuhan. Sebab, hakikatnya Tuhan itu adalah “rumah” kita sendiri.
Sebab, “lebih baik di sini, rumah kita sendiri” kata God Bless dalam lagunya!
Jika bukan dari rumah kita, rumah siapa lagi?
–Penulis adalah Koordinator Gerakan Literasi Ma’arif (GLM).