Oleh Muhammad Adi Sucahyo
“Takkan ada program revolusioner yang berarti jika tidak ada pergerakan revolusioner”. (Tan Malaka).
Kemajuan bangsa dan negara dapat diukur dengan kemajuan dalam bidang politk, kemajuan dalam bidang ekonomi, kemajuan dibidang teknologi, dan yang paling penting adalah kemajuan di bidang pendidikanya. Pendidikan menjadi bagiaan terpenting dalam kemajuan suatu negara dikarenakan kemajuan politik, ekonomi, ataupun teknologi dapat terjangkau jika SDM dari satu negara tersebut mempunyai suatu ilmu yang digunakan untuk memajukan disatu persatu bidang, dan sebuah ilmu hanya akan bisa didapatkan dengan pendidikan. Sehingga di belahan dunia manapun yang disorot paling pertama adalah pendidikanya, karena tonggak dari sebuah perubahan suatu negara adalah bagaimana keberhasilan pendidikan tersebut. Penilaian atas tingkah laku ataupun etika daripada seseorang kerap kali di ukur dari pendidikan dari seseorang, karena karakter dan kepribadian sebagai salah satu tujuan daripada pendidikan, Begitupula yang terjadi di Indonesia.
Revolusi Prancis, revolusi Iran, revolusi Brozovik, adalah suatu bentuk perubahan yang diinginkan rakyat karena ketidak adilan dan perubahan melawan krisis dalam suatu wilayah atau melawan kejamnya kapitalisme, atau skat sosial. Perubahan besar besaran dan dilakukan secara cepat yang disitu bermaksud merubah sebuah sistem ataupun budaya yang ada didalam suatu wilayah dengan tujuan untuk kemajuan, ataupun perlawan terhadap rezim otoritarian yang menindas, dalam implimentasinya bisa secara damai tapi biasa dengan cara berdarah, demikianlah orang banyak mengartikan sebuah revolusi. Yang mau dibahas disini bukan tentang suatu revolusi negara seutuhnya melainkan revolusi dalam bidang pendidikan yang diketahui sebagai tonggak pertama dalam revolusi sebuah negara. Sehingga mewujudkan mental mental revolusioner dalam diri rakyat Indonesia, yang diharapkan mampu bersaing dan seacara cepat dapat beradaptasi dengan zama dan kemajuan yang dibawa oleh zaman tanpa menghilangkan suatu identitas bangsa Indonesia, maka dari itu perlunya pendidikan revolusionerisme.
- Iklan -
Jika mengok pada visi Presiden Jokowi dalam periode pertama dalam nawa cita terdapat satu visi yang sangat ditunggu oleh masyarakat Indonesia yaitu revolusi mental, dan lagi – lagi sektor pemdidikan yang ditunjuk untuk mewujudkan itu. Revolusi mental lebih ditekankan pada perubahan mind-set perilaku masyarakat dalam melakukanya. pertama integritas, kejujuran, dapat dipercaya, karakter, bertanggung jawab, dan konsistensi. Dibagian kedua adalah etos kerja, meliputi disiplin, daya saing, optimis, produktif dan inovatif. Selanjutnya gotong royong yang berisi tentang kerja sama, rasa tolong menolong, komunalitas, kepekaan, dan berorientasi pada kemaslahatan. Semua itu sebenarnya sudah menjadi cita – cita sejak dahulu, pembangun karakter sebagai tegasan atau identitas kepribadian dan jatidiri bangsa. Sepertihalnya amanat trisakti Soekarno, yakni berdaulat secara politik, mandiri dalam ekonomi dan kepribadian dalam kebudayaan. Untkuk mencapai itu semua, sistem pendidikan harus diarahkan pada identitas bangsa Indonesia yang berbudaya dan beradap, menjunjung nilai moral dan agama.
Pancasila adalah suatu ideologi bangsa sehingga semua sistem ataupun produk hukum di Indonesia harus berdasarkan pancasila, dan pancasila sebagai nafas dari kehidupan rakyat Indonesia dalam berbangsa dan bernegara. Revolusi mental merupakan sekumpulan rangkuman dari isi pancasila yang kemudian diubah dengan mempermainkan narasi sehingga menjadi sebuah misi, dan sepantasnya pendidikan yang ditunjuk menyelesaikan persoalan ini. ( Dn Aidit, dalam wawancara pres, 18 agustus 1958 ) mengatakan bahwa pancasila adalah sikap marxis yang tepat.
Pancasila dipandang dari sudut pandang agama (sila ketuhanan yang maha ESA), patriotisme ( sila kebangsaan ), humanisme ( sila kemanusiaan ), cita – cita politik ( sila kedaulatan rakyat ), dan dipandang dalam sosial ( sila keadilan sosial ). Begitulah aidit pemimpin partai PKI yang dianggap makar dan ingin menggantikan Pancasila dengan komunis namun malah memuji dari kesaktian dan keampuhan pancasila yang sangat teruji dan selalu dapat beradaptasi dengan zaman ataupun kemajuan teknologi. Banyak orang Indonesia yang tahu dan hafal pancasila namun dalam realitas keseharian malah jauh dari pemaknaan pancasila, sehingga membuat Presiden Jokowi meletakan cita – cita itu pada salah satu visinya, lantas siapa yang harus bertanggung jawab, apakah itu adalah imbas dari kegagalan pendidikan di Indonesia.
Kegagalan negara dalam menyelenggarakan pendidikan tidak layak dan mewadai kepada kaum muda yang sedang dalam semangat berkobar dalam belajar. Kaum muda yang sedang berkobar itu hanya bisa didukung dengan serangkaian kegiatan diluar kegiatan yang di tanggung jawabi oleh lembaga pendidikan formal. Jika Soekarno yang sangat percaya dengan kaum pemuda sampai sampai mengatakan, “beri saya sepuluh niscaya akan ku guncangkan gunung sumeru”, bukankah itu adalah rasa optimis soekarno terhadap pemuda.
Dalam sejarah kemerdekaan dimana kaum muda sangat berperan aktiv yang kala itu mendesak kepada kaum tua untuk segara meproklamirkan kemerdekaan Indonesia. Dan saking percaya kepada anak muda, bahwa kaum muda haruslah terdidik, bahkan dalam pembukaan undang – undang tertera mencerdaskan kehidupan bangsa, sampai diatur wajib belajar 9 tahun dam setiap anak berhak mendapatkan pendidikan gratis. Maka dari itu untuk mewujudkan revolusi mental setidaknya akan ada revolusi pendidikan yang sangat besar sehingga akan terwujudnya bangsa yang berjiwa – jiwa revolusioneris.
Revolusi Pendidikan dan Pendidikan Revolusioner
Marx dan Egles dalm menggambarkan sebuah revolusi adalah perubahan yang radikal karena untuk melawan kekuasan kapitalisme harus melalui proses yang panjang dan menggunkan strategi yang matang dan tangguh terhadap resiko. Begitupula dengan revolusi pendidikan yang dalam perjalananya akan ada banyak hambatan dan tantangan entah dari rezim yang sedang berkuasa disektor pendidikan atau sampai keranah model dan penerapan pendidikan tersebut. Jika suatu negara menginginkan kemajuan pendidikan maka semua lembaga pendidikan harus dipegang oleh pemerintah, karena jika dipegang oleh suwasta akan ada banyak praktik mengkapitalisasi dunia pendidikan. Bukan lagi ilmu yang menjadi orientasi daripada lembaga pendidikan namun malah bergeser membicarakan soal keuntungan dan kerugian. Peserta didik akan didorong dalam upaya perbudakan atau sebagai kelas pekerja bukan lagi bagaimana dengan terdidik supaya dapat berkontribusi lebih terhadap negri dan ikut mengawal jalanya demokrasi ataupun mampu bersaing dalam berinvestasi.
Dari pola yang seperti ini dibarengi dengan perusahan yang mempertanyakan pendidikanya bukan skilnya apa tapi lebih memandang ijazahnya. Maka akan menciptakan mind-set masyarakat bahwa mereka sekolah ataupun menyekolahkan supaya mendapatkan pekerjaan yang layak, bukan lagi beorintasi terhadap ilmu namu lebih mengedepankan profesi yang menjadi tujuan pendidikan. Maka dari itu jika revolusi mental adalah sebagai jawaban maka perlulah usaha menyadarkan masyarakat dengan pendidikan revolusioner, yaitu pendidikan yang membentuk mental revolusioner yang berbudaya dan menjunjung nilai moral agama tanpa menghilangkan identitas bangsa Indonesia.
Program revolusi yang sangat revolusioner bila digerakan oleh kaum borjuis maka dapat dipastikan hasilnya sama saja atau berganti nama saja. Dapat dipastikan bahwa pola yang dibangun tetaplah sama yaitu untuk melanggengkan statusquo. Bukan benar – benar ingin merubah sistem samapi ke dalam pengaplikasianya sehingga usaha untuk suatu kedinastian itu tetap langgeng. Satu contoh, anak orang elit atau borjuis akan dengan mudah masuk kedalam sekolah favorit di banding anak – anak petani, dan anak kaum politariat. Disini ada sebuah ketimpangan yang dihasilkan oleh revolusi berjuasi.
Upaya menggerakan kesadaran akan dapat menggeser dari pendidikan kritis menuju pendidikan revolusioner. Menurut Fereir Pendidikan revolusioner adalah sistem kesadaran untuk melawan sistem borjuis, karena tugas daripada pendidikan selama ini adalah upaya mproduksi idiologi borjuis. Dalam pendidikan revolusioner ada beberapa sistem ataupun paradigma belajar yang harus dirubah. Yang pertama adalah sistem yang benar – benar memerdekakan dari setiap elemen pendidikan. Jika kita lihat raelitas yang terjadi pendidikan di Indonesia dan dengan konsep merdeka belajar namun dalam praktiknya malah menambah beban dan jauh dari kata merdeka.
Akhir – akhir ini banyak guru yang disibukan dengan hal administrative sehingga membuat mereka lupa akan arti pendidikan tersebut, bisa dikata prosesi pembelajaran hanyalah penyampaian materi yang guru tersebut juga tidak tahu kepahaman murid terhadap materi itu seperti apa. Sepert halnya guru mengajar hanya menggugurkan kewajibanya yang berprofesi sebagai guru, sehingga yang dikejar bukan kepahaman murid tapi kepentingan dari pada guru tersebut. Dari konsep yang diterapkan tadi seperti halnya Indonesia ini mempunyai orang pintar tapi kepintaran tidak bermanfaat bagi orang banyak. Hanya bermanfaat bagi dirinya sendiri karena ndiberangkatkan dari kepentingan pribadi.
Paulo Fereir, pendidikan sebagai praktik pembebsan yang sekaligus suatu bentuk revolusi pendidikan dalam semua elemen pendidikan. Dengan tujuan pendidikan konsientisasi atau suatu proses manusia berpartisipasi dalam aksi perubahan, atau bisa diartikan sebagai kesadaran untuk ikut berperan melakukan prubahan dunia. Kesadaran akan membentuk suatu paradigma berpikir bahwa pendidikan dalam praktik pembelajaran dikaitkan tentang realitas yang sedang terjadi di masyarakat dengan penggunaan bahasa yang lebih dimengerti oleh peserta didik, sehingga dari situ akan menciptakan komunikasi dengan baik maka mental akan terbentuk, dan bisa dikatakan sebagai revolusi mental.
– Penulis adalah Aktivis PMII Temanggung.
Artikel yang mantap. Sungguh menyegarkan mata ini:) hehe
Misal artikel ini aku re-Post di blogku yang masih baru aja jadi ini boleh gak ya min?
Artikel yang mantap. sangat menyegarkan saat membacanya:) hehe
Misalkan kalau aku mau re-Post artikel ini di blogku yg baru aja jadi ini boleh nggak ya ?
Boleh asal mencantumkan sumber