Oleh Hamidulloh Ibda
“Sak pinter-pintere guru ndidik anake wong, mesti ra iso ndidik anake dewe”. Demikian salah satu pesan orang Jawa yang masih saya ingat.
Saya pun berkali-kali dengan anak saya “pusing” tidak mampu mengatasi. Misalnya, “Papa, nanti Kakak (anak saya pertama) minta belikan susu kotak ya,” pinta anak saya, Sastra Nadira Iswara. Saya bilang “oke”. Dia pun menepisnya, “Kata Bunda Umi, nggak boleh bilang oke, Pa”.
Saya bodo ndadak, dan tak usah mendebat anak saya yang sudah membenarkan apa yang dipesankan guru TK-nya itu. Namanya anak-anak. Ini sering terjadi pada hal-hal kecil. Utamanya ketika ia menggambar, menulis, makan, mandi, dan menyiapkan peralatan sekolah sebelum berangkat di pagi hari.
- Iklan -
Contoh lain ketika ia mewarnai. “Sapi itu warnanya putih, Kak” kata saya. Dia menjawab “Nggak ya, Pa. Kata Bunda Umi sapi itu ada yang cokelat”. Dalam hati saya, “Yawes karepmu lah”.
Begitu kuatnya ajaran, ucapan, dan apa saja yang diucapkan guru di sekolah, seolah-olah bagi anak menjadi “kebenaran tunggal”. Tak hanya dengan saya, dengan ibunya (istri saya) yang kebetulan guru SD juga tak dapat mendoktrin sebagaimana mestinya. Artinya, guru di pendidikan formal kadang lebih dipercaya anak daripada gurunya di rumah (orang tuanya). Saya yakin, hampir semua anak-anak di muka bumi ini demikian, meski tidak semuanya.
Guru Biologis
Orang tua, hakikatnya ya guru bagi anak-anaknya. Tak hanya guru biologis yang berurusan dengan nasab, darah, cara mandi, makan, tidur, memakai pakaian, namun harusnya, orang tuanya Islam anaknya Islam. Orang tuanya TNI, anaknya jadi TNI. Orang tuanya PNS, anakanya diidam-idamkan jadi PNS. Begitu lainnya.
Orang tuanya bermanhaj NU (Ahlussunnah Waljamaah Annahdliyah), harusnya juga meniru demikian. Tapi kadang, hal itu paradoks. Banyak para anak-anak kiai, yang tidak meniru ideologi bapak atau keluarganya. Mereka hanya sekadar “anak biologis”, belum sepenuhnya menjadi “anak ideologis”. Banyak pula anak-anak orang hebat, pejabat, konglomerat, namun babarblas anaknya tidak ada yang meniru, meski kadang “kacang ora ninggal lanjaran” masih dipegang, namun faktanya paradoks.
Hal itu tentu selaras dengan ajaran Ki Hajar Dewantara tentang Tri Sentra Pendidikan (pendidikan dalam keluarga, sekolah, dan masyarakat). Artinya, guru utamanya itu ya orang tua di rumah, baik berperan dalam urusan biologis maupun ideologis. Sebab, banyak orang tua yang hanya memenuhi tiga kebutuhan anak “sandang, pangan, papan” saja. Sementara kebutuhan agama, ilmu, pengetahuan, hingga soal ideologi terpinggirkan.
Maka wajar, ketika anak-anak menjadi asing di rumahnya sendiri, karena orang tua tak menjadi guru ideologis bagi anak-anaknya. Apalagi di perkotaan seperti Semarang, orang tuanya sibuk bekerja, berkarir, ketika sampai di rumah, mereka sudah kewalahan dalam mendidik anaknya. Contohkan saja saya, ketika sampai di rumah, waktu untuk anak harus saya lebihkan agar anak-anak saya benar-benar menjadi anak ideologis, meski cara saya kadang sedikit galak. Tegaslah, bukan galak yang saya maksud.
Itulah gambaran mini guru biologis. Mereka tak peduli dengan nasib agama, ilmu, dan menjadi apa anaknya. Yang penting sekolah dibayar, les dibayar, sandang dan pangan cukup, selesai sudah. Ketika ada PR atau tugas sekolah saja, orang tua tak ambil susah, karena tinggal pergi ke guru les. Saya berpengalaman sekitar empat tahun mengelola lembaga bimbel bersama istri saya.
Rata-rata, anak-anak les itu bukan untuk serius belajar, namun hanya “pelarian” ketika anak-anak punya PR, atau tugas tambahan dari sekolah. Guru les pun tidak menjadi guru yang transfer ilmu, melainkan petugas yang membantu bahkan full mengerjakan PR anak. Ironis tenan!
Guru Ideologis
Kita harus kembali pada ajaran Bapak Pendidikan Nasional, Ki Hajar Dewantara dan para kiai-kiai yang lama mengajarkan metode estetis-enigmatis soal pendidikan anak. “Ing Ngarsa Sung Tuladha, Ing Madya Mangun Karsa, Tut Wuri Handayani,” (di depan memberi contoh, di tengah memberi semangat, di belakang memberikan dorongan) harus dijadikan pedoman orang tua sebagai guru biologis, agar anak-anak mereka benar-benar menjadi anak ideologis. Artinya, orang tua itu harusnya menjadi guru biologis sekaligus guru ideologis bagi anak-anaknya.
Kita harus sadar, bahwa “anak itu aset”. Aset bagi keluarga, agama, bangsa dan negara, karena jelas pemuda hari ini adalah pemimpin di masa mendatang. Jika anak-anak kemudian besar menjadi pemuda, dan mereka didominasi dari kaum radikal, liberal, fundamental, bisa bubrah bangsa ini.
Gerakan kelompok mainstream kanan yang menolak KB, menghalalkan poligami, dan memperbanyak anak adalah indikator eksplisit, mereka diam-diam memiliki visi memperbanyak keturunan biologis sekaligus ideologis. Anak-anak mereka menjadi anak yang diwarisi ideologi-ideologi mereka.
Ini harus dicegah, dengan memproduksi keturunan bernas, ideologis, dan ramah dalam berbagai aspek. Jangan sampai kelahiran yang membahana dengan bonus demograsi mendatang didominasi generasi dari mereka.
Orang tua harus menjadi “teladan” bagi anak-anaknya. Minimal, jika tidak dapat mewariskan ilmu pengetahuan, adab, budi, dan amal saleh harus tersalurkan pada anak-anaknya. Seperti yang dicontohkan Nabi Muhammad, dan para ulama-ulama kita.
Mengapa penting? Sebab, selain pembelajaran, ketaladanan dan pembiasaan dalam aspek intelektual, spiritual dan emosional sangat urgen. Lebih-lebih, hal itu berurusan dengan adab yang tentu bersumber dari kedua orang tuanya.
Dalam kitab Adabul Alim wal Muta’allim (1343 H: 10), Hadratussyaikh KH. Hasyim ‘Asyari menjelaskan segala amal ibadah kecil atau besar, tidak berguna apapun kecuali di dalamnya terdapat adab. Termasuk amalan yang berkaitan dengan ilmu, yang melibatkan sorang guru dan murid. Ilmu pengetahuan, kehebatan seorang guru dan murid, tidak akan bermakna kecuali dihiasi dengan adab.
Itu artinya, betapa pentinganya adab, laku, amal saleh. Sebab, ilmu itu outputnya amal saleh, laku, adab, akhlak, agar bermanfaat. Seperti yang ditulis Sri Susuhunan Pakubuwana IV (1768-1820) dalam karyanya Serat Wulangreh bahwa “Ngelmu Iku Kelakone Kanthi Laku” (pencarian ilmu hanya akan bermanfaat dan bermakna apabila ilmu itu diamalkan).
Sudah jelas, keluarga lebih dekat dengan dengan adab, ilmu, keteladanan, daripada ilmu pengetahuan. Sebab, embrio adab, amal saleh, itu adalah keluarga, dan orang tua adalah sumbernya. Anak-anak kita, pasti diam-diam mengamati dan meniru kita, maka pendidikan keteladanan ini menjadi penting, dan orang tua harus menyadari hal itu. Soal ijazah, gelar, serahkan kepada pendidikan formal. Keluarga dapat fokus pada penyemaian moral, adab, anak-anak.
Kita harus ingat salah satu ajaran Ki Hajar Dewantara, “dengan bebas dari segala ikatan dan suci hati berhambalah kita kepada sang anak”. Jelas, bahwa penghambaan kepada sang anak tidak lain daripada penghambaan kita sendiri. Berhamba pada diri sendiri, pada hakikatnya berhamba pada Allah. Maka jelas, mendidik dan menjadi guru itu ibadahnya luarnya biasa. Sebab, anak itu investasi dan ladang amal ketika orang tua menyadarinya dengan menjadi guru biologis sekaligus guru ideologis.
Puncak dari ilmu adalah amal saleh. Selain dzikir, pikir, amal saleh menjadi penting. Dan, yang menentukan itu adalah guru-guru biologis dan ideologis bernama orang tua. Pepatah Arab menyatakan “ilmu yang tak diamalkan bagaikan pohon tak berbuah”.
Ketika ada pohon tak berbuah, baiknya memang ditebang dan dijadikan kayu bakar. Menjadikan berbuah atau tidak, semua itu bergantung orang tua. Bagaimana cara menanamnya, apa pupuknya, apa obatnya, bagaimana menyianginya, semua ada di tangah orang tuanya.
Dus, jika menanam pohon dan tidak berbuah, lebih baik dipelihara, atau ditegor dienggo kayu bakar?
-Penulis adalah dosen dan Kaprodi PGMI STAINU Temanggung, Pengurus LTN NU Temanggung, Pengurus Bidang Diklat dan Litbang LP Ma’arif PWNU Jawa Tengah.