Oleh Ahmad Hamid
Menulis tentang sesuatu yang baru atau yang viral adalah hal yang biasa. Namun, sesuatu yang tidak baru tetapi diangkat kembali agar menjadi pengingat adalah sesuatu yang menurut saya biasa- biasa saja juga. Diibaratkan seperti benang yang sudah kusut tetapi kita bisa merubah benang tersebut menjadi baru dan bermanfaat lagi.
Saya ambil contoh, sesuatu yang klise, sejak lama bahkan ketika saya baru lahir permasalahan ini sudah ada. Ketika zaman sekolah, berbicara tentang nama pahlawan, Soekarno misalkan. Disitu ada perdebatan ,mengenai penulisan apakah Soekarno atau biasa Sukarno. Beda tapi sama, bedanya dimana “Soe” dan “Su”. Samanya dimana? ya itu tidak perlu dijelaskan panjang lebar, jelas itu yang dimaksud adalah presiden pertama Indonesia yaitu Bung Karno. Hanya masalah ejaan saja. Dan tidak ada masalah apalagi setelah belajar ejaan dari van Ophuijsen, oh ternyata seperti itu. Mau pakai “Su”, atau pakai “Soe” pada awal Soekarno, menurut saya sama, tidak mengurangi rasa hormat dan wibawa untuk Putra Sang Fajar.
Lanjut, penduduk Indonesia merupakan pemeluk agama Islam terbesar di dunia, dan Islam lahir di tanah Arab. Jadi mustahil kalau pemeluk agama Islam Indonesia tidak terpengaruh budaya Arab terutama dalam memberi nama anak atau ucapan sehari-sehari. Bahasa Arab karena perjalanan jauh sampai di Indonesia terutama lidah-lidah Jawa, ada sedikit pergeseran.
- Iklan -
Khusnul Khatimah atau Cusnul khatimah
Selalu menimbulkan sedikit “percikan api”, dari dulu sampai detik hari ini. Beberapa hari yang lalu, ada seorang teman yang meninggal kemudian banyak yang ikut bela sungkawa, terutama di sosial media. “Innalilahi….Mas Fulan meninggal dunia, semoga Khusnul Khotimah”. Disini muncul perdebatan pada kata “Khusnul Khotimah”.
Kemudian, teman yang lain menasihati dengan berkata begini “Cuma mengingatkan, bahwa yang Anda tulis itu adalah salah, kata “Khusnul Khotimah” itu salah yang benar adalah “cusnul khotimah””. Dengan penjelasan panjang lebar, kalau seperti itu kasihan yang meninggal, itu doa buruk “Khusnul Khotimah” mempunyai arti akhir yang hina, sedangkan “Cusnul Khatimah” mempunyai arti akhir yang baik atau bagus. Akhirnya mereka berdebat panjang lebar, biasa anak muda mugkin karena gengsi atau mood yang tidak pas, sehingga timbul perdebatan yang mengarah ke permusuhan.
Selain “khusnul Khatimah”, “Cusnul kKhatimah” muncul lagi “Chusnul Chatimah” hayo dari ketiganya itu mana yang benar?. Ya, saya jawab kalau secara arti mungkin berbeda, tetapi kembali ke niat. Tidak mungkin seandainya ada kawan yang meninggal pasti yang keluar adalah doa yang paling baik. Jadi innama’amalu binniat (h) (coba dicek, takut salah, nanti timbul debat hehe)
Allah maha mendengar, maha mengetahui, mengetahui segala bahasa, bahkan bahasa yang ada di dalam hati.
Saya contohkan ada anak kecil, baru latihan berbicara kemudian dia disuruh ibunya pergi ke warung tempe, jelas ke warung tempe maka yang dia beli pasti tempe. Walaupu dia mengucapkanya salah “Mbu jeng mbas pempe”. Tanpa mendebat dan tanpa banyak tanya, ibu warung langsung memberikan tempe, karena jelas apa yang akan dibeli di warung tempe. Yang dimaksud anak tadi adalah “Buk ajeng tumbas tempe”. Kata-katanya salah, tetapi apakah itu mengurangi makna atau apakah anak itu gagal membeli tempe? Tidak! anak itu tetap berhasil membawa pulang tempe. Apalagi ini Allah, sang pencipta bahasa, tukang tempe saja paham.
Allah jauh bermilyaran bahkan triliunan paham!
Jadi jagan korbankan persatuan dan persaudaraan kita hanya karena hal-hal sepele, tapi ingat jangan menyepelekan hal-hal yang dinggap sepele. Karena kebakaran hebat juga berasal dari korek api yang sepele yang bisa masuk ke kantong celana. Bukankah itu hal sepele?
Jangan merasa paling tahu, dan menganggap yang lain tidak tahu. Apalagi sampai menghakimi, terlalu mahal negara ini jika nanti hancur hanya karena perbedaan “Kh” dan Ch”.
Lalu bagaimana dengan bahasa yang lain, seperti “Insyaallah” atau “Inshallah” dalam bahasa Arab, penulisannya berbeda anatra “insy” dan Insha”. Tapi ingat ini adalah Indonesia, masalah arti sekali lagi berbeda tetapi lihat kontek, jika hal ini diucapkan dalam kalimat janji maka jangan kita mempermasalahkan karena kita sudah tahu, bahwa artinya “jika Allah menghendaki”
Kalau sedikit-sedikit protes, sedikit-sedikit dianggap salah nanti orang akan takut menggunakan kata-kata dari bahasa Arab. Nanti malah yang muncul bahasa-bahasa yang aneh, seperti “astaga”, “RIP”. Apakah Anda rela jika saudara muslim meninggal kemudian yang keluar hanya “RIP”. Karena mau mengucapkan semoga “Khusnul Khotimah” takut salah. Sekali lagi Anda rela?
Silaturahim atau Silaturahmi
Permasalahan ucapan yang lain juga muncul, seperti pada kata “Silaturahim” atau “Silaturahmi”. Tidak asing lagi di telinga kita terutama pada hari Idul Fitri, pasti kata-kata itu selalu muncul. Dan masih saja didebatkan. “Silaturahmi” berasal dari bahasa Arab “silah” atau “Shilah” yang berarti “menyambung” dan “Rahmi” artinya “Rahim” atau “peranakan”. Sedangkan “Rahim” adalah kerabat. Intinya sama niatnya kesana menyambung apa-apa yang yang telah terputus, khususnya hubungan (hablum minannas) antar manusia.
Intinya silaturahmi bagus, silaturahim juga baik. Yang tidak baik, yang tidak bagus adalah yang tidak silaturahim.
Ini karena kakunya pengetahuan, dan mudahnya mengecap yang tidak sependapat dengan kalimat ”sesat” makanya Indonesia selalu terbelakang. Yang lain sedang sibuk membahas tentang sesuatu yang luar biasa. Namun kita-kita masih mendebatkan itu-itu saja. Pantes kalau negara kita selalu tertinggal karena memikirkan sesuatu yang tidak berguna, ibarat negara lain sudah terbang ke bulan, tetapi di negara kita ngintip bulan saja masih di perdebatkan.
Penulisan Nama
Kalau ada yang mempermasalahkan, tentang hal-hal itu. Apalagi yang sudah dijadikan nama seperti khusnul khatimah, yang dianggap salah, itu sangat melukai hati. Kasihan nama yang sudah melekat di akte, KTP,KK, SIM atau bahkan di buku nikah, jika hanya karena perdebatan nanti membuat yang punya nama tidak Pede, karena dianggap, artinya jelek. Jangan sampai Mbak Khusnul urus surat macam-macam yang mengelurkan tidak hanya waktu, tenaga dan biaya. Hanya demi mengubah “Kh” menjadi “Ch” tidak perlu Anda menjelaskan, bahwa kewajiban orang tua meberikan nama yang terbaik kepada anaknya. Meskipun menurut Anda artinya jelek tapi yang diinginkan adalah Mbak Khusnul adalah arti “pungkasan yang baik”
Kalau terus-terusan akan panjang tidak akan selesai, nama orang Indonesia yang diambil dari bahasa Arab juga banyak yang salah, termasuk saya “AHMAD HAMID” dalam penulisanya ada yang mengatakan “Achmad Chamid”, “Akhmad Khamid”. Artinya mungkin beda, tetapi sekali lagi niatnya saya tanya kepada orang tua saya kenapa saya diberi nama “Hamid” jawabannya apa? Agar kamu menjadi orang yang suka memuji, saya tanya lagi memuji siapa? Memuji Ahmad (Nabi Muhammad)
Kalau ingin salah-menyalahkan terus, banyak yang nanti protes, seperti nama “Halim” itu “Khalim” atau “Chalim”, “Zaki” atau “Yaki”, “Zikir” atau “Dzikir” “Thaha” atau “Toha”, “Luqman” atau “Lukman”, “Taufiq” atau “Taufik”. Dan masih banyak ribuan nama-nama di Indonesia dengan ejaan yang dianggap salah. Padahal nama adalah doa, tidak mungkin orang tua memberi nama anaknya dengan doa yang buruk.
Masih berkaitan dengan pembahasan ini, ketika hangat-hangatnya Pilpres 2019, Jokowi juga di-bully habis-habisan oleh pendukung lawan politiknya, hanya karena mengucap surat “Al Fatihah” menjadi “Al patekhah”. Apakah disalahkan oleh ulama, tidak? Dengan lantang dijelaskan oleh Gus Muwafiq ketika mendapat undangan di istana negara. Beliau menjelaskan tentang detailnya pergeseran bahasa Arab, ketika sudah sampai di lidah-lidah selain Arab. Sebut saja lidah Jawa ala Jokowi. Jadi begitulah harusnya. Tidak serta merta menyalahkan dengan merontokkan wibawa seseorang.
Islam itu Mudah
Hidup di lingkungan Islam itu tidak sulit, karena Islam adalah agama yang mudah. Masuk agama Islam mudah hanya mengucapkan dua Syahadat, praktik ibadahnya juga sangat mudah, contoh sholat, tidak mampu berdiri, bisa dengan duduk, tidak bisa duduk, bisa dengan tidur, tidak bisa dengan tidur bisa dengn miring. Miring tidak bisa cukup isyarat. Kalau isyarat sudah tidak bisa segara minta disholati. Sesimpel itu.
Zaman Wali Songo dulu menyebarkannya juga mudah, orang Jawa suka wayang, ya dakwahnya, dengan wayang. Orang dulu sebelum Islam suka selamatan degan ingkung manusia dan minum-minuma arak, Islam datang selametan masih ada, hanya saja ingkungnya ganti ayam dan araknya ganti air putih. Islam yang di pedesaan yang mayoritas pekerjaanya petani di sawah. Kalau adzan langsung iqomat (h), jamaahnya baru sedikit maka menunggu jamaah siap-siap atau nunggu pulang dari sawah sambil pujian. Tidak apa-apa waktu sholatnya agak mundur, asal semuanya dapat (dunia dapat akhirat juga dapat).
Ceramah yang Membuat Sejuk
Gus Baha mengatakan, kalau sesorang dicerami kok sulit, dan pinginnya ngajak debat. Harus ada strategi yaitu dengan “cangkem elek”. Inyaallah manjur. Gus Baha adalah ulama yang setiap ceramahnya sangat bangus, humoris dan tidak pernah menakut-nakuti. Ceramah Gus Baha, tidak ada yang mengintimidasi seseorang masuk neraka. Semua adalah calon masuk syurga. Sesimple itu. Gus Baha punya jargon “ngaji itu harus banyak guyonan, jangan ditakut- takuti, apalagi ditakuti dengan neraka, mereka ngaji karena stres dan butuh hiburan, jadi jangan tambah mereka stres dengan memikirkan neraka nanti jadi tambah stres” di agama tetangga kalau mati sudah bertemu bapa di Surga dan kita orang Islam kalau mati waduh ancamannnya sudah macam. Jadi jagan jadikan ngaji sebagai ajang menakut-nakuiti hal yang negatif, wong yang positif masih banyak.
Begitulah harusnya, bikin adem. Terakhir mudah-mudahan ini menjadi renungan untuk saya khususnya dan umumnya untuk semuanya. Sekali lagi jangan korbankan persaudaraan, persatuan dan kesatuan Indonesia hanya dengan hal-hal receh yang tidak bermanfaat, terlalu mahal untuk dibayar.
Semoga kita sadar dan mendapat petunjuk serta tidak ada lagi perdebatan apalagi berkitan dengan agama. Karena seburuk-buruknya manusia adalah manusia yang pandai mencari kesalahan orang tetapi tidak pandai dengan kesalalahan sendiri. Semoga bermanfaat. Aammin, amin atau aminnn. Mana saja yang dipakai intinya percaya Allah mengabulkan doa kita.
-Penulis adalah Relawan Literasi LP Ma’arif PWNU Jawa Tengah.