Oleh Hamidulloh Ibda
Istriku, Jumat (6/3/2020) malam mengirim pesan lewat WhatsApp. “Pa, lucu ya finalis Puteri Indonesia ora apal Pancasila, la murid-muridku kelas 5 wae ngelotok.” Demikian pesan singkat yang saya baca. Namun saya tak mengindahkan, la wong nggak nonton televisi karena memang menghindarkan diri dari televisi. Saya pun membalas memakai stiker, “lah yo, kok iso?”
Paginya, nama Kalista Iskandar viral menjadi buah bibir masyarakat bahkan hingga kini. Penyebabnya, usai Kalista Iskandar “keselip” (keliru, bisa jadi tak hafal) mengucapkan Pancasila di momen babak enam besar Puteri Indonesia 2020 saat ditanya salah satu dewan juri, Ketua MPR RI Bambang Soesatyo memberikan pertanyaan yang tak terduga pada Kalista Iskandar untuk menghafalkan Pancasila di depan layar kaca itu.
Awalnya, Kalista Iskandar finalis Puteri Indonesia perwakilan Sumatera Barat dalam video berdurasi kurang lebih 1 menit (akhirnya dihapus) viral kala ia sedang dites menyebutkan Pancasila. Akan tetapi, secara tak terduga pada sila ke-4 dan ke-5 ia tak mampu menyebutkan secara sempurna sila tersebut.
- Iklan -
“No 4 kemanusiaan yang adil dan…. Kemasyarakatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan …..perwakilan..
No 5 Kemanusiaan sosial yang adil dan beradab…”
Raib memang, Kalista tak hafal. Aduh! Puteri Indonesia wakil Sumatera Barat (Sumbar) yang tampil di final Puteri Indonesia 2020 yang disiarkan langsung SCTV ini mengundang banyak cibiran, perundungan, dan respon lainnya. “Masak Puteri Indonesia tak hafal Pancasila”. Ini respon umumnya.
Bagi saya, Kalista ini justru banyak “pahalanya”. La kok bisa? Ia menjadi kiblat, cermin bagaimana pentingnya menghafal Pancasila meski Pancasila tak sekadar untuk ditulis dan dihafalkan, melainkan harusnya sudah mendarahdaging dan dilakukan nilai-nilai di setiap sila dalam Pancasila.
Lautan Pancasila
Jika kita bertanya, siapa yang salah? Guru PPKN, IPS, atau dosen Pancasila, dosen Kewarganegaraan, kampus, sekolah, Badan Pembinaan Ideologi Pancasila (BPIP), atau siapa yang salah? Mbuh!
Ini renungan bersama. Padahal di tiap tempat, ada lambang negara berupa burung garuda dan Pancasila dipasang. Ibaratnya, Indonesia itu memang lautan Pancasila. Selain itu, Pancasila juga dibacakan setiap acara formal seperti upacara tiap hari Senin dan hari-hari besar.
Pada 1 Juni juga selalu diperingati Hari Lahir Pancasila, tanggal 1 Oktober sejak 1965 juga selalu diperingati Hari Kesaktian Pancasila. Kurang apanya sih Indonesia mengagungkan Pancasila? Belum lagi di internal NU, setiap acara-acara resmi selalu meneriakkan “Siapa Kita? NU….. NKRI… harga mati… Pancasila jaya….”
Belum lagi para penegak hukum seperti polisi dan TNI yang memang setia kepada Pancasila. Sejak adanya faham khilafah, tulisan Pancasila juga bertebaran di mana-mana. Dus, mengapa kita tidak menghayatinya? Dan “makbedunduk” mencibir Kalista Iskandar. Ini kan paradoks namanya!
Kita harus ingat sejarah, lewat Surat Keputusan Presiden Soeharto No. 153 tahun 1967. Sehingga sejak 1 Oktober 1967, terutama selama 32 tahun masa kepemimpinan Soeharto dengan Orde Barunya ( 1966-1998 ) selalu dirayakan secara sempurna dan meriah. Dan tanggal 1 Juni 1945 adalah Hari Lahir Pancasila dan Presiden Soekarno sebagai penggalinya. Hingga saat inipun, meski kualitas pelaksanaan perayaannya tidak lagi semeriah dulu, namun bahwa setiap 1 Oktober selalu diperingati sebagai Hari Kesaktian Pancasila.
Peringatan Hari Kesaktian Pancasila berasal pada sebuah peristiwa berdarah yang terjadi pada 30 September 1965 yang dikenal sebagai Peristiwa G 30 S /PKI (Gerakan 30 September/ Partai Komunis Indonesia). Enam orang Jendral TNI dan seorang Perwira Menengah TNI gugur akibat keganasan gerakan pemberontakan ini.
Pemerintah Indonesia kala itu, gerakan ini dinilai sebagai wujud usaha untuk mengubah ideologi Pancasila menjadi komunis. Akan tetapi, berkat kesadaran mayoritas rakyat Indonesia yang tetap ingin mempertahankan ideologi Pancasila, maka upaya “coupdetaat” tersebut pun akhirnya mengalami kegagalan. Artinya, Pancasila itu sudah final dan tidak mudah untuk menegakkan dan menjaganya.
Khittah Pancasila
Meski oleh sebahagian orang/pihak tertentu yang menaruh rasa kurang/tidak bersimpati terhadap Pancasila, mungkin karena masih menaruh dendam dan masih sakit hati akibat dampak Peristiwa G 30 S/PKI, dibombardinya khilafah, lantas menggugatnya, bahkan banyak yang apatis.
Dulu, orang/pihak tertentu tersebut berpendapat bahwa peristiwa ini sebenarnya adalah peristiwa dimulainya “kudeta merangkak” terhadap pemerintahan Soekarno kala itu. Tapi, sebagai negara demokrasi dan menjunjung tinggi hukum dan kebebasan mengemukakan pendapat , gugatan tersebut adalah sah-sah saja. Namun demikian, suka atau tidak suka, Pancasila tetaplah Pancasila dan tetap jaya selamanya.
Pancasila tentu memiliki makna positif tersendiri bagi terciptanya kehidupan berbangsa dan bernegara di Nusantara ini. Pancasila, panca = lima dan sila = dasar/prinsip (hidup). Pancasila memiliki lima dasar/prinsip kehidupan, yaitu 1. Ketuhanan Yang Maha Esa, 2. Kemanusiaan yang adil dan beradab, 3. Persatuan Indonesia, 4. Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam Permusyawaratan/Perwakilan, dan 5. Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.
Sebagai dasar negara, Pancasila tidak lagi sekadar merupakan sumber derivasi peraturan perundang-undangan. Melainkan sebagai sumber “moralitas dan etika” , terutama dalam hubungan dengan legitimasi kekuasaan, hukum, serta berbagai kebijakan di dalam pelaksanaan dan penyelenggaraan negara/pemerintahan. Pancasila, sebagai “ideologi” (pedoman hidup ) bangsa mengandung/ memiliki beberapa “makna” di dalam kehidupan berbangsa, bernegara, berpemerintahan dan bermasyarakat, antara lain :
Pertama, makna “moralitas”. Sila pertama: “Ketuhanan Yang Maha Esa”, mengandung pengertian bahwa negara Indonesia bukanlah negara teokrasi yang hanya berdasarkan kekuasaan negara dan penyelenggaraan negara pada legitimasi religius. Kekuasaan kepala negara tidak bersifat mutlak , melainkan berdasarkan legitimasi hukum , legitimasi demokrasi dan moral. Kedua, makna “kemanusiaan”.
Kedua, “Kemanusiaan yang Adil dan Beradab”, yang mengandung makna bahwa negara harus menjunjung tinggi harkat dan martabat (ke)-manusia-(an) sebagai makhluk yang beradab, saling mengasihi dan tolong menolong antar sesama (asas gotong royong).
Ketiga, makna “persatuan”. Dalam “Persatuan Indonesia” (sila ketiga), mengandung nilai bahwa negara merupakan penjelmaan sifat kodrat manusia monodualis, makhluk individu sekaligus makhluk sosial. negara merupakan persekutuan hidup bersama diantara elemen-elemen yang membentuk negara berupa suku, agama, ras dan antar golongan/kelompok. Konsekuensinya, negara yang beraneka ragam tapi selalu/tetap satu (Bhinneka Tunggal Ika).
Keempat, makna “demokrasi”. Negara adalah rumahnya rakyat, ia dari rakyat dan untuk rakyat. Rakyat merupakan asal mula kekuasaan negara. Pada sila keempat : “kerakyatan”, terkandung makna bahwasanya demokrasi mutlak harus dilaksanakan dalam kehidupan bernegara. Nilai-nilai demokrasi dalam Pancasila, bebas memeluk agama/keyakinannya. Kebebasan berkelompok, berpendapat/beropini, dan lain-lan kebebasan mana secara moral dan etika harus sesuai dengan prinsip kehidupan berbangsa dan bernegara.
Kelima, makna “keadilan”. Sebagai bangsa yang hidup bersama dalam suatu negara, sudah barang tentu keadilan dalam hidup bersama (sila kelima) adalah merupakan tujuan esensial. Nilai kemanusiaan yang adil mengandung makna bahwa pada hakikatnya manusia adalah makhluk yang berbudaya, beradab, berkodrat dan adil. Apabila nilai-nilai hakiki Pancasila dapat diaplikasikan/diimplementasikan di dalam kehidupan keseharian (saat bekerja, berkarya, berkreasi, dan sebagainya), baik oleh rakyat biasa maupun oleh para pejabat penyelenggara negara, maka niscaya, kemakmuran dan kesejahteraan masyarakat, bangsa dan negara bukanlah hal mustahil untuk dapat diwujudkan secara nyata.
Sebagai generasi nasionalis, kita tentu akan merasa “malu” terhadap para pendiri negara/pendahulu kita yang telah bersusah payah dalam meletakkan dasar/fondasi negara berupa Pancasila ketika tak dapat mengimplementasikannya, apalagi tak hafal.
Jangan sampai kita menjadi generasi “kacang akan kulitnya.” Lalai dan atau tidak melaksanakan nilai-nilai luhur Pancasila. Untuk itu, agar dapat hafal, kita harus mengutamakan aspek “menghafal” sebagaimana yang sudah dilestarikan tradisi itu di pondok pesantren.
Mulai menghafal Alquran, hadis, qaul hukama, kitab-kitab kuning, doa-doa, tahlil, aqaid 50, dan lainnya. Artinya, pelajaran menghafal penting karena ternyata, banyak orang-orang besar, tokoh, termasuk finalis Puteri Indonesia tak hafal Pancasila.
Di situlah, Kalista Iskandar bagi saya “dihujani” pahala karena ia dicibir dan otomatis menyadarkan rakyat Indonesia untuk terus menghafal Pancasila. Ambillah baiknya yang buruk-buruk dan Kalista soal Pancasila.
Pertanyannya, apakah Anda juga tak hafal Pancasila?
-Penulis buku Demokrasi Setengah Hati (2013) dan Koordinator Gerakan Literasi Ma’arif (GLM) LP Ma’arif PWNU Jawa Tengah.