Oleh Ahmad Solkan
Ada konsep menarik yang digulirkan oleh Mendikbud Nadhiem Makarim yang bernama “Merdeka Belajar.” Dalam program tersebut salah satunya ingin menghapus metode menghapal di sekolah. Sekilas menghapal memang kuno dan ketinggalan zaman. Tentu ini keputusan yang tergesa-gesa. Pendidikan tak mungkin lepas dari menghapal. Menghapal adalah tangga pertama dalam kognitif (salah satu aspek penting pendidikan)
Nadhiem menilai bila kognitif yang dimaksud ialah penalaran dan pemahaman. Tentu ini sesuatu yang sangat aneh. Mau naik ke gedung berlantai delapan tetapi tidak mau menginjak lantai satu dulu. Memangnya pemadam kebakaran, yang punya tangga panjang dan langsung naik ke lantai delapan, Pak?
Perlu diketahui bila tidak mungkin orang bisa menalar dan memahami tanpa menghapal dulu. Orang memahami sesuatu yang disebut kursi karena pernah melihat dan menghapal -otomatis orang yang melihat atau mendengar pasti hapal entah beberapa saat langsung lupa-. Sebelumnya belum ada istilah kursi. Kemudian orang-orang baru paham kalau benda yang memiliki kaki empat, terbuat dari kayu, ada sandarannya, memiliki alas yang di topang kaki empat tadi disebut kursi. Seiring waktu karena inovasi kursi terbuat dari sofa, besi atau atom plastik dan modifikasi lainnya.
- Iklan -
Paham? Oke. Sebelum kita memahami sebuah bacaan apalagi konteksnya tentu ada proses yang panjang. Tidak mungkin serta merta kita langsung memahami bacaan dan konteksnya tanpa menghapal terlebih dulu. Mula-mula kita harus menghapal apa itu huruf a, b, c, d, e, f, g, h, i, j, k, l dan seterusnya baru kita bisa memahami kata-kata. Setelah berderet kata-kata baru kita bisa merumuskan, memahami dan menganalisis kalimat beserta paragrafnya. Setelah tersusun rapi menjadi bacaan yang bernas kita pahami konsepnya.
Nggak usah ditanyakan lagi antara menghapal dan memahami duluan mana. Silakan baca kata ini: batu kali, semen, pasir, air, tukang, juragan, duit, pasti Anda otomatis paham semua kompenen tersebut karena sudah hapal sebelumnya.
Paham? Oke. Kita anggap saja kalian belum paham apa itu; batu kali, semen, pasir, air, tukang, juragan, duit, karena kalian baru melihatnya. Oh, batu kali, semen, pasir, air, tukang, juragan, duit, itu bentuknya seperti ini, warnanya begini, ukuranya segini, beratnya segini, Anda melihat otomatis akan hapal, dan baru kemudian memahami.
Nah, problemnya pada retorika menghapus metode menghapal dengan istilah menalar dan memahami. Menghapus istilah meghapal dengan istilah menalar dan memahami agar kelihatan keren, modern dan akademis tentu kurang tepat. Apalagi menyebut dunia nggak butuh anak jago menghapal.
Dalam taksonomi Bloom, menghapal yang tergolong dalam knowledge (penegtahuan) meupakan tangga pertama dalam proses kognitif sebelum naik pada tangga pemahaman, aplikasi, analisis, evaluasi hingga kreasi. Bahkan dalam revisi taksonominya, knowledge diganti remembering (mengingat/mengahapal). Saya anggap permasalahan mengahpus menghapal materi sudah sudah kelar. Jangan samakan dengan analogi telur dan ayam atau ayam dan telur duluan mana. Kalau itu tergantung duluan mana disebut. Haha.
Polemik Menghapus UN
Sekarang berlanjut ke konsep “Merdeka Belajar,” di mana asesmen kompetensi minimum dan survei karakter yang akan mengantikan UN pada 2021. Assesment (penilaian) kompetensi minimum mengacu pada literasi dan numerasi. Literasi yang dimaksud tak hanya soal kemampuan membaca saja, tapi meliputi kemampuan menganalisa suatu bacaan, kemampuan mengerti, dan kemampuan memahami konsep dibalik tulisan. Lalu, kemampuan numerasi terkait kemampuan menganalisis angka, grafik, tabel kemudian mempraktekkan dalam kehidupan sehari-hari.
Tentu tindakan ini sangat sembrono sekali. Memang ada mindset yang salah dalam memandang UN. Muncul stereotip UN tak ada gunanya. Menghapalkan doang, kemudian mengerjakan soal kemudian lupa lagi. Kurang maksimal.
Mari kita fokus kata kunci “kurang maksimal.” Ujian Nasional selama ini hanya seperti rutinitas dan seremonial akhir jenjang yang digunakan sebagai tolok ukur kemampaun murid. Persoalannya mengapa harus di hapus? UN hanyalah sebuah medium evaluasi secara nasional untuk menjadi parameter kemampuan murid. Sudah sesuai dengan sisdiknas. Bila terjadi kesalahan pada prosese pendidikan, mengapa yang disalahkan sistem evaluasinya. UN yang dihapus?
Sungguh tidak rasional bila kita memasak air di tungku, airnya berkapur, kemudian yang dibuang saringan atau alat peyaringnya. Mengapa tidak mencoba mencari cara bikin air nggak berkapur lagi. Atau kalau air sudah nggak perlu disaring, mengapa nggak menigkatkan kualitas saringan atau alat pengukur. Seperti air minum dalam kemasan, sudah jernih dan berkualitas. Bisa memakai alat yang lebih baik dan modern. Artinya saringan atau alat pengukur disesuaikan dengan tujuan.
Nah, bila ingin menerapkan asesmen kompetensi minimum seperti litearsi dan numerasi mengapa yang dihapus sistem evaluasinya. UN-nya. Lha dikira selama ini murid di sekolah nggak belajar memahami bacaan, menganalisa bacaan, memahami konsep bacaan? Memangnya murid-murid kalau mengerjakan soal eksakta, langsung main silang atau mbunderi secara ngawur di Lembar Jawab (LJ)? Pasti berpikir dulu, sesuai tingkat pemahaman dan analisisnya.
Toh, buktinya Anda-Anda semua sekarang jadi guru bahasa Indonesia, guru PPKN, guru IPS, guru IPA hingga guru matematika, dosen, insinyur, teknika, pejabat, politikus, pedagang, pengusaha, pengrajin, sopir, atlet, aktor, dan masih banyak lagi, produk dari UN. Bukankah Anda sendiri produk UN, wahai pak menteri?
Nah, kalau dirasa sistem yang merujuk pada proses atau pola pembelajaran di kelas kurang maksimal, megapa tidak dicarikan solusi maksimal. Asesment (penilaian) kompetesi minimum yang terdiri dari literasi dan numerasi bukankah tak ada bedanya dengan kemampuan murid untuk memahami. menganalisis, mempraktekan teks-teks baik berupa bacaan maupun angka dalam kehidupan sehari-hari. Hanya sebuah retorika saja. Memangnya di sekolah-sekolah kita diajari apa?
Jangan sampai retorika (asesmen kompetensi minimum) dijadikan alasan mengganti sistem evaluasi yang sudah mapan. Penulis lebih setuju bila asesmen kompetensi minimum yang berarti literasi dan numerasi pendidikan harus dimaksimalkan. Karakter harus dikuatkan. Itu saja sih.
Evaluasi nasional biar memakai Ujian Nasional (UN). Sekolah-sekolah yang belum sanggup mengikuti pola baru (pemaksimalan literasi dan numerasi) bisa dicarikan solusi. Ujian atau tes sekolah cukup pakai UTS (gasal atau genap) dan UAS (baik gasal atau genap).
Bukankah kabar gembira bila ternyata asesmen kompetensi minimum beranjak dari survei Programme for International Student Assesment (PISA) dan Tren in International Mathematic and Science Study (TIMSS). Soal menghapus UN, sudahkah pak Menteri berdiskusi secara langsung dengan kepala sekolah, guru-guru, pengamat pendidikan, orang tua bahkan melibatkan siswa di daerah-daerah seluruh Indonesia, setidaknya dapat pertimbangan maksimal, sehingga menelurkan keputusan yang komprehensif? Atau hanya ide coba-coba saja?
-Penulis mahasiswa Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan (FITK) UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta