Oleh Hamidulloh Ibda
Bidang Diklat dan Litbang kerjaannya salah satunya publikasi. Secara umum, ini hanya bagian dari program besar Gerakan Literasi Ma’arif (GLM). Mengapa Gerakan Literasi Ma’arif? Ya, karena Ma’arif membawahi sekolah juga, tak hanya madrasah, meski awal usulnya Gerakan Literasi Madrasah, maka GLM disahkan sebagai corong sekaligus nomenklatur Gerakan Literasi Ma’arif.
Tahun lalu, saya yang dipasrahi bagian publikasi di LP Ma’arif PWNU Jawa Tengah memang agak berat. Mengapa? Pemain tunggal dan belum dapat memback-up publikasi semua kegiatan. Khususnya, publikasi di Youtube berbentuk video. Soal publikasi berita di media massa dan media sosial, “turah-turah” lah bahasanya.
“Iki pengurus cabang aku yakin muntah-muntah, Mas, nek moco,” ujar salah satu pengurus kala itu.
- Iklan -
Bahkan uniknya, ada yang “gumun” karena dikira tiap kegiatan kita ngundang puluhan wartawan karena kegiatan kita dimuat di banyak media. Haha ini yang membuat saya tertawa dalam hati.
Sampai 2019 akhir dan 2020 awal, penambahan pengurus terus berlangsung. Kini, ada PJ bagian “creator conten”. Ya, di sinilah dakwah Kiai Mosya mulai berdentum dan dapat dinikmati netizen di mana saja berada, khususnya warga NU.
Tak Diperhatikan
Sejak 2013, saya pribadi menekuni dunia siber. Banyak media siber kami dirikan bersama sahabat-sahabat NU kultural. Masalah yang mendasar dari NU kultural sendiri adalah tidak fokus dan tidak diperhatikannya media siber. Di tingkat PB, PW, PC, MWC sampai PR, jarang yang secara struktural memiliki website, Youtube yang aktif produktif konsisten hidup. Sekali lagi, konsisten hidup meski ganti pengurus.
Kita contohkan saja NU online (nu.or.id), ia dapat bertahan lama bahkan sampai 15 tahun karena tidak dimasukkan jelas dalam struktural. Mas Savic Ali begitu konsisten merawat dan meruwatnya, hingga kini menjadi media “mainstream” di NU maupun luar NU, khususnya sebagai landmark media siber Islam di Indonesia selain Alif.id, Islami.co, Dutaislam.com, Muslimmoderat.com, Bangkitmedia.com, dan lainnya.
Kendala lain, selain malesnya tradisi menulis, masalah pendanaan website dan operasional pengelola juga menjadikan media-media NU mangkrak. “Gawe gampang, ngrumati sing angel” begitu rata-rata problemnya.
Padahal, NU itu gudangnya kiai, alim, ulama, yang secara kualitas jauh lebih bernas daripada ustaz-ustaz minhum. Maka untuk produksi konten, bukan menjadi alasan untuk mangkrak.
Coba ketika saja “Keluarga Sakinah” di Youtube Anda, ini contoh, nanti yang muncul ya videonya Khalid Basalamah, UAS, Adi Hidayat, mentok Zainudin MZ. Memang ini bisa jadi, saya tidak menyebut “terlambat”, tapi hanya “tertunda”. Masih sedikit Youtube NU yang “merajai” di keywords di Google maupun Youtube.
Dakwah Kiai Mosya
Pengurus LP Ma’arif PWNU Jawa Tengah periode ini memiliki figur-figur “crank” alias unik, berbeda, menyempal, tapi masih sesuai jalur dan manhajul fikr Aswaja Annahdliyah.
Iklim media massa kita baik yang cetak, online, audio visual termasuk Youtube dan media sosial memang semakin tak sehat. Dakwahnya bernada monopolis dan justru membuang orang. Lantaran yang menguasai media-media itu adalah “ngustaz nggateli” yang membawa warta kekerasan, mencela, kebencingan, maka wajah Islam di media tampak begitu radikal. Akhirnya, isu Islamofobia terus berkembang.
Allah melalui Surat An-Nahl ayat 125 sudah memberi rambu-rambu. Intinya, dakwah harus mengajak manusia dengan prinsip hikmah, dan mauidah hasanah, pelajaran yang baik lah. Bukan mengerikan dan mengutuk-utuk sesama Islam apalagi di luar Islam. Ini perlu dipertanyakan, “dakwah cap opo iki?”
Kita dapat belajar dari filsuf kawakan Aristoles. Mbah Aristoteles ini memiliki konsep orasi atau retorika yang sangat terkenal, yaitu logos, pathos, dan etos, konsep ini lebih saya pilih daripada konsep public speaking modern yang intinya secara umum hanya pengembangan sampai tataran teknis.
Orang berdakwah billisan, atau berpidato, paling inti yang harus disiapkan adalah “logos”. Ilmunya. Lebih teknis ya bahan yang akan disampaikan, atau untuk mempersuai pendengar atau audiens. Logos hal-hal logis yang disampaikan oleh pembicara, ustaz yang menyampaikan tausiyah. Bagaimana pembicara membangun argumentasi yang logis, rasional, dan mengumandangkan wacana itu ke hadapan publik secara sistematis dan berbobot.
Bagi saya, Kiai Mosya memiliki logos yang bernas dan indepth. Ia alumni pesantren, mantan presiden BEM, juga alumni PMII, kini ia menjadi orator di berbagai tempat sekaligus dosen. Saya yakin, beberapa video Kiai Mosya sangat bernas dari ustaz-ustaz karbitan lainnya.
Kedua, modalnya adalah patos. Setelah menguasai logos, bahan, atau materi, seorang pendakwah harus memberikan “passion”, emosi, spirit, ruh, dari apa yang akan ia sampaikan. Patos lebih mudahnya berupa emosi, yang dibawakan pendakwah, kiai, atau ustaz di hadapan pendengar atau jemaah.
Kiai Mosya di beberapa ceramahnya sudah memberi spirit bahwa berislam harus ramah, toleran, memegang prinsip Aswaja Annahdliyah yang secara substansial tidak mempertentangan kebenaran beragama dan kebenaran bernegara. Final lah pokoknya.
Ketiga atau yang terakhir ini adalah etos. Ketika sudah ada bahannya, ada emosi atau spiritnya, maka dai, atau pendakwah harus juga mengindahkan yang namanya etos, karakter, atau sebuah etika dalam berdakwah.
Poin ini yang aslinya berat. Namun Kiai Mosya sudah menunjukkan beberapa indikator, termasuk beberapa komentar via daring dan nondaring. Artinya, etos di sini mengandung karakter sesuai prinsip dasar Aswaja yaitu tasamuh, tawazun, tawassuth, i’tidal, serta tiga prinsip relasi yaitu hablum minallah, habulum minannas, dan hablum minalalam. Selain itu juga prinsip ukhuwah mulai ukhuwah Islamiyah, ukhuwah basyariyah, ukhuwah wathaniyah.
Kiai Mosya menjadi simbol bergeliatnya dakwah fil medsos yang harus didukung, disebarkan, diviralkan, dan diapresiasi. Semoga tinggi pecinya menjadi simbol dan tafaul tinggi ilmu dan alimnya. Sebab, di antara orang-orang yang pandai menulis, berteori, harusnya harus membuat konten-konten bernas yang menjadi bagian dari ideologisasi dengan tujuan menjaga Islam, NU, NKRI, kiai dan ulama-ulama kita.
Dus, jika tidak Kiai Mosya, lalu siapa lagi?
-Penulis adalah Pengurus Lembaga Ta’lif wan Nasyr Nahdlatul Ulama (LTN NU) Temanggung.