Oleh: Al-Mahfud
Setiap institusi pendidikan mengemban peran sebagai peletak dasar nilai-nilai moral, etika, dan nilai-nilai kemanusiaan. Lewat berbagai bentuk pendidikan di lingkungan sekolah, anak dididik menjadi individu yang semakin cerdas dan dewasa, baik secara pengetahuan, sikap, mental, perilaku, maupun spiritual. Pada giliranya, proses pendidikan diharapkan akan bermuara pada terbentuknya manusia-manusia dengan berbagai potensi kecerdasan yang telah terasah secara optimal.
Haidar Bagir dalam bukunya Memuliakan Sekolah, Memuliakan Manusia (Mizan: 2019) mengatakan pendidikan adalah kegiatan untuk mengaktualisasikan potensi manusia sehingga benar-benar menjadi manusia sejati. Yakni menjadi manusia yang hidupnya penuh makna, baik bermakna bagi diri sendiri maupun bagi orang lain.
Manusia sejati, yang hidupnya bermakna, salah satunya terwujud ketika ia mampu membangun relasi, dialog, dan hubungan harmonis dengan sesama. Artinya, manusia sejati memiliki kemampuan menghormati dan menghargai segala bentuk berbedaan di antara manusia, baik perbedaan primordial maupun perbedaan pandangan dan pemikiran.
Kualitas untuk memiliki sikap toleran ini mesti ditanamkan dan dibangun dalam proses pendidikan, terlebih di lingkungan sekolah. Persoalannya, dunia pendidikan kita hari ini masih minim dalam hal membangun kualitas tersebut. Bahkan, dunia pendidikan kita telah terkontaminasi virus intoleransi.
- Iklan -
Berbagai survei menggambarkan bagaimana pihak-pihak yang berperan sentral di dunia pendidikan, seperti guru misalnya, tak luput dari paham dan sikap intoleran. Padahal, kita tahu guru berperan sentral dalam membentuk nili-nilai dan pandangan anak didik di sekolah.
Hasil penelitian Pusat Pengkajian Islam dan Masyarakat (PPIM) UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, menunjukkan data sebanyak 57% guru memiliki opini intoleran terhadap pemeluk agama lain. Adapun 37,77% guru berkeinginan melakukan perbuatan intoleran atau intensi-aksi. Dalam survei yang bertujuan melihat pandangan serta sikap keberagamaan guru sekolah dan madrasah di Indonesia tersebut, ada pernyataan yang memiliki muatan faktor tinggi dalam mengukur opini intoleransi pada pemeluk agama lain.
Pertama, Non-Muslim boleh mendirikan tempat ibadah di lingkungan ibu/bapak tinggal. Kedua, tetangga berbeda agama boleh mengadakan acara keagamaan. Hasilnya, 56% responden tidak setuju non-Muslim mendirikan tempat ibadah di sekitar tempat tinggal, dan 21% tidak setuju tetangga berbeda agama boleh mengadakan acara keagamaan (tempo.co, 16/10/2018).
Ketika guru sudah terpapar sikap intoleran, maka besar kemungkinan nilai dan sikap tersebut juga tersemai dan berkembang di kalangan anak didik. Berbagai survei memperkuat dugaan tersebut. Misanya, Riset Balai Litbang Agama Makassar pada 2016, menyebutkan bahwa 10% siswa SMA berpotensi radikal. Sedangkan penelitian Wahid Foundation dan LSI (2016) terhadap 1.520 siswa di 34 provinsi juga menyebutkan, 7,7% siswa SMA bersedia melakukan tindakan radikal (Detik.com, 5/6/2017).
Tak hanya soal pengajar dan peserta didik, secara kurikulum pengajaran juga ada sebagian sekolah yang cenderung membuka peluang tumbuhnya sikap intoleran. Survei Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT) pada 2015 misalnya, menemukan hampir 35% sekolah di Jakarta, Bogor, Depok, Tangerang, dan Bekasi terbukti tidak menerapkan ajaran bela negara dan Pancasila. Seperti misalnya, tidak melaksanakan upacara bendera (Media Indonesia, 18/10/2018).
Berbagai hasil penelitian tersebut rasanya sudah lebih dari cukup memberi kita peringatan akan mendesaknya dunia pendidikan kita untuk diselamatkan dari ancaman bibit-bibit intoleransi. Seperti ditegaskan di awal, tugas pendidikan adalah membentuk manusia sejati, manusia yang bisa membuat hidupnya bermakna dengan membangun relasi dan hubungan harmonis dengan sesama. Jangan sampai, sekolah justru menjadi tempat berseminya pandangan dan sikap intoleran, bahkan kekerasan.
Mengalami Keberagaman
Sekolah pada dasarnya adalah miniatur kehidupan. Di sekolah, besar kemungkinan seorang siswa memasuki lingkungan sosial yang lebih beragam ketimbang di rumah. Seorang anak akan bertemu anak lain dari berbagai latar belakang berbeda, dalam hal suku, agama, dan sebagainya. Ini kondisi yang mesti dimanfaatkan untuk membangun dan menyemai semangat persaudaraan, benih-benih toleransi, dan kasih sayang pada sesama.
Di tengah ditemukannya guru, siswa, dan sekolah-sekolah berkecenderungan intoleran, kita harus tetap optimis sebab masih ada banyak contoh sekolah yang menjunjung tinggi keberagaman. Sekadar contoh, kita bisa belajar dari SMK Bakti Karya Parigi di Pangandaran. Murid-murid di sekolah tersebut berasal dari beragam suku, agama, dan ras yang datang dari berbagai daerah di Indonesia. Di dalamnya, anak-anak benar-benar dididik untuk memiliki jiwa dan semangat keberagaman.
Seperti dilansir Rappler.com (08/01/2017), lewat berbagai strategi pengajaran di dalamnya, para siswa yang beragam di SMK Bakti Karya Parigi dikondisikan untuk saling mengenal satu sama lain. Misalnya, mengelompokkan mereka secara acak dalam sebuah permainan. Terbukti, siswa yang awalnya cenderung berkelompok berdasarkan daerah asal, pelan-pelan mulai berani berinteraksi dengan siswa dari daerah lain.
Menurut keterangan Ketua Yayasan Darma Bakti Karya, Ai Nurhidayat, sekolah tersebut menggunakan kurikulum nasional ditambah dengan 60 materi pokok tentang multikulturalisme. Materi itu mengacu pada 5 konsep dasar, yakni; penanaman nilai toleransi, semangat perdamaian, semangat berjaringan, semangat berbudaya, dan semangat pembelajaran aktif.
SMK Bakti Karya adalah satu contoh bagaimana sekolah yang memiliki semangat keberagaman. Sekolah yang mengkondisikan anak di dalamnya merasakan dan mengalami langsung bagaimana hidup dalam keberagaman: bagaimana saling menghargai perbedaan, bertoleransi, dan membangun hubungan dan relasi harmonis dengan sesama.
Sebab, toleransi dan bagaimana hidup dalam keberagaman memang tak cukup sekadar diajarkan dalam bentuk teori. Keberagaman dan toleransi harus dialami dalam pengalaman hidup sehari-hari. Agar anak benar-benar merasakan dan menjiwai nilai tersebut dalam dirinya, kemudian merefleksikan dalam setiap laku dan tindakannya. Cara ini penting dijadikan inspirasi dan contoh sekolah-sekolah lain di Indonesia, guna membentengi anak-anak kita dari bibit-bibit intoleransi yang kini sedang mengintai dunia pendidikan kita.
-Al-Mahfud, penulis dari Pati. Menulis artikel, esai, dan ulasan buku di berbagai media.