Oleh Umi Ha Es
Namanya Nur Hasan tapi lebih dikenal dengan Kiai Nung. Beliau pengasuh pondok pesantren At Tasamuh yang memiliki santri kurang lebih 1000 orang. Sosoknya alim, ramah, murah senyum, dan enak diajak bercerita, membuatnya dicintai banyak orang.
Rutinitas Kiai Nung; ba’da subuh adalah mengaji kitab kuning disimak oleh para santri sampai sekitar pukul tujuh. Setelah itu beliau akan menerima tamu yang hendak minta fatwa, minta ijazah ini itu, ataupun tamu dengan tujuan ngalap berkah pada beliau. Tak jarang pula beliau mendapat undangan untuk mengisi pengajian di pesantren lain maupun pengajian di daerah-daerah sampai pelosok desa, memimpin istigosah, menghadiri majlis zikir dan salawat, maupun sekedar undangan untuk memimpin tahlil di tempat orang meninggal akan beliau hadiri.
Malam ini Kiai Nung mendapat undangan istigosah di alun-alun kota. Selepas salat isya’, ia menghampiriku yang sudah dari tadi menunggu di ruang tamu. Semenjak aku menjadi santrinya 7 tahun lalu, kemanapun ia pergi, akulah yang diminta untuk mendampinginya.
“Ron, ayo kita berangkat,” ajak beliau sambil membetulkan surban yang menjuntai di bahunya.
Sesampai di pintu beliau balik lagi ke dalam, menghampiri istrinya yang terbaring sakit sudah bertahun-tahun. 10 menit kemudian beliau baru keluar, itupun dengan wajah yang agak murung, wajah yang tak biasanya aku lihat. Aku mengikuti langkah sosok berjubah putih itu dari belakang dengan wajah tertunduk.
- Iklan -
Setelah menempuh perjalanan kurang lebih 20 menit, kami sampai di alun-alun kota. Selama perjalanan 20 menit itu tanpa ada perbincangan sedikit pun. Pak Khoirun pengemudi mobil yang kami naiki pun hanya terdiam. Aku sebagai santri, selama beliau tidak mengajak bicara aku juga tidak bicara. Namun perjalanan ini berbeda dari biasanya, di hari-hari yang lain beliau selalu bercerita untuk membuat perjalanan agar seolah singkat. Biasanya beliau bercerita tentang kebiasaan-kebiasaan baik yang menjadi rutinitas para ulama terdahulu.
Sesampai di lokasi, mobil yang kami tumpangi sudah dihadang oleh beberapa banser dan polisi. Kami berdua turun, sementara Pak Khoirun sudah diarahkan petugas untuk memarkir mobil di tempat yang sudah dipersiapkan. Orang berjubel membuat kami kesulitan untuk mencari celah jalan. Para pengunjung istigosah yang menyadari akan kehadiran Kiai Nung langsung merapat untuk bersalaman dan cium tangan. Di tengah kerumunan orang itu, aku memperhatikan wajah Kiai Nung yang tak secerah hari-hari biasanya. Sebelum kami dipisahkan oleh orang yang mengelilinginya, beliau merogoh saku jubahnya dan menyerahkan HP-nya padaku.
Meskipun acara belum dimulai namun lantunan salawat yang terucap dari mulut hadirin terdengar menggema. Ribuan manusia dengan pakaian serba putih membanjiri alun-alun kota malam ini. Sementara itu Kiai Nung sudah duduk di atas panggung bersama dengan beberapa kiai yang lain. Sesekali para pewaris nabi itu berbicara dengan menempelkan mulut ke telinga orang yang diajak bicara, jika tak begitu maka suaranya akan hilang ditelan oleh gemuruh salawat.
Suara pembawa acara menghentikan lantunan salawat yang dari tadi menggema, dan kini hanya suara dia yang memonopoli kemegahan acara ini. Terlihat dari kejauhan, karena aku duduk membaur dengan hadirin yang lain, Kiai Nung berdiri dari tempat duduknya dan membisikkan sesuatu kepada pembawa acara, danlawan bicaranya itupun manggut-manggut seolah menunjukkan persetujuan. Suasana mulai dilingkupi dengan kekhusyukan, hanya lafaz-lafaz kalimah toyyibah yang terdengar.
“Ya hayyu ya qoyyum bi rohmatika astagis,” pemimpin istigosah, Kiai Musyafa’, mengucapkan kalimat itu diikuti oleh para hadirin. Entah kenapa kali ini bukan Kiai Nung yang memimpin. Padahal biasanya di manapun beliau menghadiri acara semacam ini, Kiai Nung lah yang memimpin. Apa mungkin ada kaitannya dengan kemurungan wajah beliau tadi? Aku hanya bisa menerka-nerka.
HP Kiai Nung bergetar. Rupanya panggilan masuk dari Ning Sania, putri kedua Kiai Nung.
“Assalamu ‘alaikum,” sambutku.
“Wa’alaikum salam wa rahmatullah. Abah mana, Kang?” tanya perempuan di seberang sana dengan suara gugup.
“Kiai baru istigosah di alun-alun kota. Ada apa, Ning?” tanyaku penasaran.
“Tolong Kang, sampaikan pada Abah agar pulang secepatnya, ibu kritis,” hanya itu yang kudengar kemudian telepon terputus. Aku menghela nafas panjang, menata hati dan menyiapkan nyali untuk naik ke atas panggung penuh cahaya yang diduduki oleh para ulama itu.
“Kiai, ada telepon dari Ning Sania, Kiai dimohon pulang saat ini juga,” kataku hati-hati.
“Ada apa dengan Bu Min?” tanya beliau dengan wajah tercengang. Rupanya beliau sudah menduga alasan beliau dimohon pulang. Aku hanya terdiam. Tanpa pamit kanan kiri, beliau langsung meninggalkan panggung. Aku tak berani memperhatikan raut muka Kiai Nung.
Selama perjalanan pulang kami bertiga hanya terdiam. Sesekali terdengar bacaan istigfar yang terbisik dari mulut Kiai Nung. Kang Khoirun yang sepertinya telah faham dengan keinginan Kiai Nung untuk cepat sampai rumah, mengemudikan mobil dengan begitu kencang. Aku hanya bisa berdoa dalam hati, setidaknya untuk menenangkan diri agar selamat dari bahaya karena nyopirnya ngebut. Selain itu aku juga berdoa agar Allah memberikan yang terbaik untuk Kiai Nung sekeluarga.
Perjalanan pulang kami tempuh selama 10 menit. Sesampai di halaman Kiai Nung bergegas turun dari mobil berwarna silver yang kami tumpangi dan buru-buru masuk rumah. Aku yang masih menggenggam HP Kiai Nung pun berjalan setengah berlari di belakang beliau. Tanpa kusadari aku mengikuti Kiai sampai masuk kamar, dan dalam keadaan normal ini sangat tabu bagi kami para santri. Rupanya kelima anak Kiai Nung sudah ada di dalam kamar beserta beberapa kerabat yang rumahnya dekat. Setelah kedatangan Kiai Nung, orang-orang yang tadi berada di samping perempuan kurus yang terbaring lemah itu saling menepi.
“Nduk, jangan lupakan kalimat tauhid. La ilaha illallah,” bisik Kiai Nung ke telinga perempuan yang terbaring lemah itu. Perempuan itu pun membuka mata meskipun tidak lebar, mulutnya sedikit terbuka dan lidahnya bergerak-gerak seolah menirukan lafaz yang baru saja didengarnya. Tak lama kemudian mata itu tertutup lagi, butiran air mengalir dari kedua sudut matanya. Kemudian Kiai Nung menempelkan telunjuknya ke lubang hidung perempuan itu. Seolah merasa ada yang ganjil, lalu beliau menempelkan tangannya ke leher perempuan itu.
“Inna lillahi wa inna ilaihi rajiun. Tibalah saatnya aku harus melaksanakan wasiatmu, Nduk. Meskipun berat bagiku namun akan kulaksanakan,” kata-kata itu terucap dari mulut Kiai sambil mengusap wajah istrinya yang sudah meninggal. Wasiat? Sebuah tanda tanya terselip di benakku.
***
Bu Aminah, kami memanggilnya Bu Min, adalah istri Kiai Nung. Beliau sakit stroke setelah melahirkan putra ke-5 nya, Gus Faruq, yang sekarang sudah berusia 6 tahun. Bu Min orangnya lincah, banyak kegiatan sosial di masyarakat yang beliau ikuti. Hampir tidak pernah beliau mendampingi suaminya untuk kegiatan di luar pesantren, sebab kegiatan Bu Min sendiri sudah banyak.
Rumah Kiai Nung dipadati oleh para pelayatdari berbagai pelosok. Mereka datang dan pergi sejak kabar meninggalnya Bu Min tersiar tadi malam. Salat jenazah pun dilaksanakan berulang kali. Kesedihan menyelimuti anggota keluarga Kiai Nung, tak terkecuali sang kiai sendiri. Dari tadi pagi kuperhatikan beliau tak beranjak dari ruang tengah dan mulutnya tiada henti berzikir.
“Kang Ron, ditimbali Kiai Nung,” kata Kang Gufron memanggilku dari dalam.
“Iya, Kang,” jawabku dari balik jendela. Memang sudah dari tadi aku mempersiapkan diri sewaktu-waktu ada panggilan dari Kiai.
“Tolong antar aku ke depan, jenazah sudah akan diberangkatkan,” ucap Kiai Nung tak bersemangat. Tanpa menjawab aku langsung membantu Kiai Nung berdiri dari tempat duduknya. Tak berselang lama setelah beliau sampai di depan rumah, Pak Sapto, perangkat desa yang lumayan akrab dengan kiai, memimpin prosesi acara pemberangkatan jenazah. Namun sebelum itu, Kiai Nung menyodorkan secarik kertas dan membisikkan kata-kata ke telinga Pak Sapto beberapa saat.
Keranda telah diangkat oleh beberapa orang, para tamu berdiri. Keluarga Kiai Nung telah berkumpul di sekitar jenazah dengan sesekali terisak . Kang Sapto pun membuka acara. Terkesan agak asing bagiku, susunan acara yang dibacakan Kang Sapto cukup singkat. Hanya pembukaan dilanjutkan dengan sambutan dari perwakilan keluarga, kemudian penutup, tanpa ada bacaan tahlil singkat seperti di daerah kamipada umumnya.
“Kami informasikan kepada takziyyin bahwa dari Pihak keluarga Kiai Nung tidak menggelar acara tahlilan terkait dengan wafatnya Bu Min,”kalimat itu diucapkan oleh Pak Sapto sesaat sebelum salam penutup. Hadirin saling berpandangan, entah apa yang mereka percakapkan namun setelah itu suasana menjadi agak gaduh. Tak lama Kiai Nung pun mendekati pembawa acara dan meminta microfon darinya.
“Para takziyyin takziyyat rohimakumullah. Barangkali muncul pertanyaan di antara Anda sekalian mengenai tidak adanya acara tahlilan terkait dengan wafatnya istri saya. Perlu hadirin ketahui, 3 tahun silam Bu Min berwasiat pada saya agar saat dia meninggal tidak diadakan acara tahlilan, baik 3 hari, 7 hari, 40 hari, dan seterusnya sampai 1000 hari. Almarhumah menyebut kalau ini tidak sekedar pesan, namun ini wasiat.
Meskipun saya dan Bu Min sama-sama muslim, namun ada sedikit perbedaan pemahaman antara saya dan dia. Namun itu bukanlah masalah bagi kami. Melaksanakan puasa Ramadan tidak bersamaan, atau bahkan merayakan Idul Fitri di hari yang berbeda, itu sudah biasa bagi kami. Selama 25 tahun kami menikah tidak pernah ada masalah yang timbul gara-gara perbedaan itu. Jadi kalau saat ini saya harus melaksanakan wasiat almarhumah, saya mohon hadirin tidak mempermasalahkannya. Ini bukan sesuatu yang harus diperbincangkan dan dibesar-besarkan, karena hal itu justru akan menambah dosa kita. Dari peristiwa pagi ini, mari kita belajar untuk menghargai sebuah perbedaan,” kata-kata itu meluncur dari mulut Kiai Nung dengan suara lemah dan sebentar-sebentar terhenti.
La ilaha illallah, la ilaha illallah, la ilaha illallah. Suara itu menggema, mengiringi keberangkatan Bu Min ke peristirahatan terakhir.
***
Penulis adalah pengurus Pergunu Kabupaten Semarang.