Oleh Rifqi Silfiana
Hari Ibu yang diperingati pada 22 Desember menjadi sedikit nyasar dari tujuan awalnya. Hari Ibu bukanlah momen menyanjung peran domestik perempuan, akan tetapi merupakan tonggak sejarah perjuangan kaum perempuan untuk merebut posisi yang lebih adil di dalam masyarakat. Campur aduk dengan momen Mother’s Day di Amerika Serikat telah menjadikan Hari Ibu sebagai peringatan yang penuh haru-biru dengan segala puja-puji peran domestik ibu di dalam rumah.
Penetapan 22 Desember sebagai peringatan Hari Ibu mengacu pada pelaksanaan Kongres Perempuan Indonesia I yang berlangsung di Ndalem Joyodipuran, Yogyakarta. Saat ini, mejadi kantor Balai Pelestarian Sejarah dan Nilai tradisional di Jalan Brigjen Katamso, Ygyakarta. Kongres tersebut diikuti kurang lebih 600 perempuan yang berasal dari berbagai macam latar belakang agama, suku, pekerjan dan usia.
Panitia Kongres Perempuan Indonesia I dipimpin oleh R.A. Soekonto. Dalam sambutannya, R.A. Soekonto mengatakan, “zaman sekarang adalah zaman kemajuan. Oleh karena itu, zaman ini sudah waktunya mengangkat derajat kaum perempuan agar tidak terpaksa duduk di dapur saja.
- Iklan -
Selain harus menjadi nomor satu di dapur, perempuan juga harus turut memikirkan pandangan kaum laki-laki, sebab sudah menjadi keyakinan bahwa laki-laki dan perempuan harus berjalan bersama-sama dalam kehidupan umum. Artinya, perempuan tidak lantas menjadi laki-laki, perempuan tetap perempuan, tetapi derajatnya harus sama dengan laki-laki, jangan sampai direndahkan seperti zaman dahulu”. Kongres tersebut dimaksudkan untuk meningkatkan hak-hak perempuan di bidang pendidikan dan pernikahan.
Perempuan dalam Islam
Suatu masyarakat yang menempatkan perempuan sebagai makhluk domestik akan menjadi masyarakat yang tertinggal dan terbelakang. Terbelakang karena mereka tidak memberikan akses bagi perempuan untuk berkiprah dalam semua bidang pembangunan, seperti dalam bidang ilmu pengetahuan, ekonomi, politik, hukum, sosial, dan teknologi.
Fakta-fakta sejarah mengungkapkan, sebelum Islam datang perempuan dipandang tidak memiliki kemanusiaan yang utuh dan oleh karenanya perempuan tidak berhak berkarya, tidak berhak bersuara, dan tidak berhak memiliki harta. Tidak sedikit kaum perempuan yang dipingit, dibelenggu, dan dipasung. Perempuan tidak diiizinkan menuntut ilmu, menikmati pendidikan tinggi, berkarier, bekerja, dan melakukan aktivitas kemanusiaan yang bermanfaat untuk orang lain. Perempuan hanya dipaksa melakukan tugas-tugas reproduksi, melahirkan anak, mengasuh, dan mengurus keluarga. Perempuan hanya dianggap sebagai penjaga dapur, sumur, dan kasur.
Perempuan dijadikan dari tulang rusuk yang bengkok milik laki-laki memberi nuansa negatif bagi perempuan. Perempuan dilahirkan untuk melayani laki-laki, untuk memenuhi kebutuhan laki-laki. Perempuan adalah makhluk sumber reproduksi, maka fisiknya halus dan cenderung lemah, sehingga bergantung pada perlindungan laki-laki.
Islam datang untuk membebaskan manusia dari sistem despotik, tiranik, dan totaliter. Islam datang untuk membangun masyarakat sipil yang berkeadaban, mengamalkan nilai-nilai kemanusiaan yang universal. Islam datang memproklamirkan kemanusiaan perempuan sebagai manusia utuh. Islam datang untuk mengembalikan kehormatan, harga diri, dan hak-hak perempuan. Tidak heran jika misi Rasulullah banyak berkaitan dengan upaya-upaya pembelaan dan pemberdayaan kaum perempuan.
Orang yang pertama menangkap dan menghayati kebenaran Islam adalah seorang perempuan bernama Khadijah. Dialah yang meyakinkan bahwa Nabi Muhammad Saw., adalah utusan Allah, menopang perjuangan Nabi Muhammad Saw., dengan memberikan sebagian besar hartanya. Sehingga, Nabi Muhammad Saw., sangat terkesan dalam sepanjang hidupnya kepada kualitas ketakwaan Khadijah dan pengorbanan yang telah diberikan.
Khadijah merupakan perempuan pertama kali dalam sejarah Islam yang telah melakukan akad mudharabah (akad bagi keuntungan) bersama Rasulullah. Khadijah juga melakukan ekspor-impor komoditi secara internasioanal. Kafilah niaganya membentang dari negeri Yaman ke negeri Syiria. Khadijah merupakan orang pertama yang menghilangkan sekat-sekat dan membuka pintu selebar-lebarnya bagi perempuan untuk terjun di dunia bisnis dan perdagangan.
Kemudian ada perempuan yang tumbuh dan berkembang sebagai seorang ahli ilmu agama dan ahli sastra. Dia lah istri Nabi Muhammad Saw., yang bernama ‘Aisyah r.a.,. Para sahabat Nabi Muhammad Saw., dan para tabi’in banyak yang berguru kepadanya. Begitulah Nabi Muhammad Saw., menghormati perempuan dan memberi kesempatan yang sama dengan laki-laki, terutama dalam bidang ilmu pengetahuan.
Bukan Sekadar Konco Wingking
Persepsi tentang perempuan sebagai konco wingking menjadi warisan tradisi masa lampau. Perempuan harus menjalani lima “ah”, yaitu omah-omah (berkeluarga), momong bocah (mengasuh anak), umbah-umbah (mencuci pakaian), olah-olah (memasak), dan isah-isah (mencuci piring).
Di era Milenial ini, banyak yang harus diperbaiki. Yang harus dilakukan pertama kali adalah berawal dari sendiri. Tidak ada yang lebih tahu, siapa perempuan selain diri sendiri. Harga diri tidak ditentukan oleh orang lain, melainkan berawal dari pengalaman akan diri sendiri terhadap kekuatan dan kekurangan yang dimilki. Dan yang terpenting, perempuan paham akan apa yang hendak di capai dan di realisasikan.
Seiring dengan semakin majunya teknologi dan semakin berkembangnya masyarakat, perempuan seharusnya sudah tidak ada lagi hambatan untuk tampil di depan dan memasuki berbagai bidang profesi, bekerja diluar rumah untuk membantu perekonomian keluarga maupun untuk menebar kemanfaatan, bekerja secara mandiri atau bersama orang lain.
Tidak ada halangan bagi seorang perempuan, selama pekerjaan tersebut memperhatikan nilai etis, akhlak karimah, dan tidak melupakan kodrat keperempuannya, baik kodrat fisik maupun psikis. Jika seorang perempuan berani mengubah diri sendiri, nasib perempuan juga akan berubah. Jika perempuan terima takdir menjadi debu, perempuan akan lenyap dihembus angin.
Perempuan dan laki-laki diciptakan Allah Swt., dari unsur yang satu (nafs wahidah), karena itu keduanya hendaklah berkompetisi menjadi orang yang paling bertakwa, berbuat amal sebanyak-banyaknya, dan dengan cara yang sebaik-baiknya. Perempuan dan laki-laki berhak mengakses apa saja sepanjang mampu membuat diri mereka berkembang. Setelah mereka mampu memilih, memberikan kebebasan memilih sesuai pilihan hatinya.
Membiarkan mereka jatuh bangun dengan pilihannya, karena dalam proses itu akan muncul pendewasaan hidup dan otonomi diri. Perempuan dapat mengekspresikan dirinya dengan cara yang kreatif dan produktif, menghasilkan sesuatu dan mendatangkan kebanggan terhadap dirinya. Perempuan berhak berusaha menemukan arti dan identitas dirinya dan pencapaian tersebut mendatangkan rasa percaya diri dan kebahagiaan.
Makna Peringatan Hari Ibu
Hari Ibu bukan sekadar peringatan yang penuh haru-biru, akan tetapi merupakan momentum untuk merenungkan peran perempuan dalam memperjuangkan peranan dan kedudukannya yang menggambarkan semangat nasionalisme perempuan berdaya untuk kemajuan Indonesia.
Perempuan milenial harus percaya diri, mempunyi integritas dalam hal apa pun, tidak malu memiliki tujuan, semangat menyebarkan kebaikan untuk orang-orang disekitarnya, dan tidak ragu untuk mewujudkan mimpi. Semangat emansipasi perempuan harus mendapat tempat yang seimbang di tengah hiruk pikuknya peradaban. Tolok ukur kesuksesan bagi perempuan milenial adalah apabila keberhasilan membangun karir dibarengi dengan kesuksesan mengelola rumah tangganya. Bukankah perempuan tumbuh dengan standart ganda sejak dilahirankan?.
-Penulis adalah Mahasiswi Pascasarjana IAIN Salatiga