Oleh Junaidi Abdul Munif
Menjelang akhir masa kerja, DPR RI 2014-2019 mengesahkan RUU Pesantren pada 24 September lalu. Boleh jadi ini sebagai kado indah untuk Hari Santri Nasional tanggal 22 Oktober, meskipun dapat disebut “telat” mengingat eksistensi pesantren yang sangat lama, jauh sebelum negara Indonesia berdiri. Pasca kemerdekaan pesantren terbukti mampu beradaptasi dengan kebijakan pendidikan pemerintah.
Banyak pesantren yang mempunyai sekolah formal, atau memfasilitasi jenjang persamaan agar santri bisa melanjutkan ke jenjang pendidikan formal. Santri yang tidak mau mengenyam pendidikan formal, tetap dapat berkiprah di masyarakat dengan menjadi guru ngaji. Dari situ muncul seolah-olah santri adalah orang yang asketis. Narasi modernisme menempatkan kaum santri berada di pinggiran, menjadi obyek pembangunan.
Dalam tulisannya pada tahun 1928, Ki Hajar Dewantara mengatakan bahwa pesantren memiliki keunggulan di banding pendidikan lainnya. Sistem pondok pesantren merupakan kelanjutan dari pawiyatan dan asrama, yang dipimpin oleh kyai guru (Ki Hadjar). Pondok yang mengajarkan agama saja menurut Ki Hadjar adalah sebuah kemunduran, karena pada jaman asrama diajarkan juga ilmu alam, falakia, ilmu hukum, bahasa, filsafat, seni, kaparjuritan dan lain-lain (1961).
- Iklan -
Dengan demikian maka RUU Pesantren dapat menjadi pintu masuk untuk mengembalikan khittah pesantren sebagai asrama yang tidak hanya mendidik santri dengan pengajaran dan nilai-nilai mulia. Melainkan juga dididik dengan pendidikan dan keterampilan yang menunjang kehidupan santri di masa mendatang. Bagaimana hal ini akan berjalan mengingat rentang panjang sejarah pesantren, yang ada UU atau tidak, mereka tetap sintas dengan cara-cara yang elegan.
Sebagai Subkultur
KH. Abdurrahman Wahid (Gus Dur) menyebut pesantren sebagai subkultur, bahwa pesantren memiliki kemampuan memelihara subkulturnya sendiri, dimana hidup di pesantren tampak berbeda sekali dengan cara hidup di luarnya, demikian juga ukuran-ukuran dalam menilai sesuatu juga berbeda. Di masa lalu nilai-nilai itu dipandang sebagai kolot dan tradisional. Baru beberapa dekade kemudian kita merasakan betapa pentingnya menjaga subkultur pesantren di tengah lalu lintas global nilai-nilai.
Pesantren berkembang seturut dengan perkembangan zaman. Dia tumbuh secara organik di masyarakat, menjadi bagian integral masyarakat. Kiai, karena kelebihan ilmu dan kharismanya, memiliki peran ganda sebagai pemimpin agama, sosial, politik, budaya, dan ekonomi. Peran seperti ini masih bertahan di perdesaan, lebih karena hanya para kiai-lah yang mau memikul tanggung jawab sebesar itu.
Di pesantren sendiri muncul semacam tradisi, lahirnya pesantren-pesantren baru sebagai pengembangan dari pesantren induk. Kiai sepuh memberi keleluasaan kepada putra-putranya untuk mendirikan pesantren baru lagi. Muncul tipe-tipe pesantren, ada salaf dan modern. Maka dalam suatu desa (daerah) dengan beragam jenis pesantren itu, membuat santri bebas menentukan model pendidikannya. Walaupun harus diakui, pondok pesantren yang belum menyediakan lembaga pendidikan formal kini cenderung mengalami penurunan jumlah santri.
Animo masyarakat untuk memasukkan anaknya ke pesantren sekaligus sekolah umum cukup pesat, karena pesantren dan sekolah memberikan dua model pendidikan sekaligus, formal dan nonformal. Masyarakat menyadari pentingnya pengetahuan keislaman di tengah deru kehidupan dunia yang materialistik. Yang memondokkan anak bukan hanya orang-orang desa, tapi juga orang kota.
Dampaknya kemudian karena santri belajar di pesantren dan sekolah, pendidikan menjadi mahal. Santri hanya belajar dan belajar. Kemandirian santri zaman dulu yang masak sendiri, mencuci baju sendiri, mulai sirna. Padahal salah satu tonggak penting pesantren adalah etos kemandirian dan tahan menderita (riyadah).
Diperkirakan hal ini menjadi tren di masa mendatang seiring meningkatnya jumlah kelas menengah yang menjadi masyarakat kota yang pertumbuhannya sebesar 4,2 % pertahun (melebihi India dan China). Hal itu akan berdampak juga pada kelas menengah muslim yang diprediksi pada 2020 akan ada 137 muslim yang akan tinggal di kota (Hasanudin Ali, tirto.id, 12/4/2017). Kesadaran keberagamaan juga semakin meningkat yang perlu diisi dengan keberagamaan model pesantren yang moderat dan nasionalis.
Kurikulum yang Fleksibel
Salah satu aspek penting dalam pendidikan dan pengajaran adalah adanya kurikulum. Kurikulum pesantren sangat terbuka, meskipu tidak jauh dari kurikulum keislaman (fikih, tauhid, akhlak, gramatika Arab) dan pesantren tidak berpretensi mencetak santri yang memiliki kompetensi kerja yang terampil seperti produk sekolahan (Gus Dur, 2010). Namun kurikulum pesantren mengajarkan landasan moral dan etis sehingga mereka bebas untuk bekerja di bidang apa saja. Artinya, pesantren mendidik manusia menjadi baik dengan harapan walaupun mereka berada (bekerja) di mana pun tetap memegang teguh nilai-nilai pesantren.
Kurikulum yang ada berwatak lentur atau fleksibel, dalam artian setiap santri berkesempatan menyusun kurikulumnya sendiri sepenuhnya atau sebagian sesuai dengan kebutuhan dan kemampuannya (Wahid, 2010: 145). Inilah mutiara pesantren yang harus kita jaga, bahwa murid memiliki otonomi untuk menentukan pelajaran yang akan dilakoninya.
Poin penting dari RUU Pesantren adanya kesempatan yang sama dalam mendapat kerja. Harus diakui bahwa “tiket” untuk bersaing memasuki dunia kerja adalah ijazah formal. Terlepas ijazah itu semua dengan bidang pekerjaannya atau bukan. Santri akhirnya memilih kerja-kerja informal, sebagai buruh lepas, atau wiraswasta.
Dari awalnya pesantren memang cenderung membebaskan santri untuk menentukan kurikulumnya sendiri, memilih kitab yang ingin dikaji. Hal ini yang belum dimiliki oleh sekolah formal. Maka tidak heran kita akan mudah menemukan santri alumni beberapa pesantren. Dari situ kemudian muncul apa yang disebut dalam lagu Suasana di Kota Santri. Santri tidak melulu hanya mengaji di pesantrennya. Dia bebas belajar di pesantren dan guru manapun sesuai kurikulum yang disusun oleh santri.
Pemerintah perlu mengapresiasi kiprah pesantren dengan keadilan akses untuk mendapatkan kehidupan yang layak sebagai warga negara. Namun, pemerintah perlu menjadi keunikan pesantren dengan subkulturnya, termasuk tidak perlu masuk terlalu jauh dalam moda pendidikan pesantren yang genuine. Mungkin suatu saat nanti, keunikan pesantren dan model pendidikannya itu membuatnya sebagai salah satu warisan dunia. Semoga.
-Penulis adalah Pengurus LP Ma’arif PWNU Jawa Tengah.