Oleh Hamidulloh Ibda
Dalam studi postkolonial, kejahatan koruptor bukan pada berapa banyak uang rakyat yang mereka curi. Namun, lebih pada “mental korup” yang mereka wariskan kepada generasi berikutnya yang justru lebih jahat. Hal inilah yang menjadi pekerjaan rumah yang sangat berat bagi guru di sekolah maupun madrasah untuk menuntaskannya. Setidaknya, memutus mental korup tersebut dari ruang kelas.
Sebanyak 575 anggota DPR RI masa jabatan 2019-2024 telah dilantik pada awal Oktober 2019 kemarin. Apa yang mereka tawarkan pada rakyat? Apa sekadar mengembalikan “modal politik”, atau benar-benar menjalankan amanatnya? Jika mereka tak ada bedanya dengan wakil rakyat sebelumnya yang tertangkap KPK, maka sama saja mendidik rakyat untuk bermental “mencuri”.
Dalam pendidikan, kejujuran memang berat ditanamkan. Penulis sendiri kadang melakukan ketidakjujuran pada diri sendiri, orang lain, dan utamanya kepada Tuhan. Apalagi secara sistem, praktik ketidakjujuran sudah terjadi masif di dalam pendidikan. Seperti contoh jika di dalam pelaksanaan ulangan (ujian) seperti Ujian Nasional (UN) terjadi ketidakjujuran, kecurangan, kebohongan, hal itu bisa menjadi celah “lahirnya koruptor” baru. Selain masalah kecurangan, sebelumnya banyak terjadi “kesemrawutan” terjadi.
- Iklan -
Serius Mengawal
Guru, kepala sekolah/madrasah harus mandiri, dan serius mengawal karakter-karakter pokok dalam membangun generasi jujur. Kita juga berharap kepada pemerintah, khususnya Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud) maupun Kementerian Agama (Kemenag) untuk serius mengurus dan mengawal “kejujuran” sebagai panglima.
Akan tetapi, realitasnya tidak demikian, karena di berbagai kesempatan khususnya saat Ujian Nasional (UN) banyak terjadi kecurangan dan sejumlah problem. Ketika UN justru “membuka” celah anak untuk berbuat curang, maka otomatis mereka akan terdidik dengan sendiri untuk bermental korup. Ada beberapa catatan tentang UN yang terjadi kesemrawutan karena tidak dikawal dengan serius.
Pertama, UN membuat beban siswa semakin berat. Masa sekolah yang seharusnya digunakan untuk “bermain” berubah menjadi masa yang penuh tekanan dan depresi. Secara psikologis, model pembelajaran yang terlalu serius dan penuh tekanan tidaklah sehat. Bahkan, akan membawa siswa stres di usia dini? Ketika stres, maka apa saja akan dilakukan termasuk menyontek.
Kedua, UN juga dianggap tidak adil, khususnya bagi sekolahan-sekolahan yang ada di daerah. Sebab, logikanya, jika fasilitas pendidikan antara di sekolah perkotaan dengan perdesaan berbeda, kenapa standar nilai kelulusan mesti disamakan? Bukankah siswa di kota akan lebih unggul dibandingkan siswa di pedesaan karena guru mereka lebih kapabel dan fasilitasnya lebih memadai? Logika-logika seperti inilah yang selalu menjadi polemik ketika musim UN tiba. Perlu diingat, UN yang saat ini berbasis komputer, ternyata tidak dapat merata di daerah, khususnya di daerah 3T.
Ketiga, UN telah membuat sistem pendidikan kita berorientasi kepada hasil, bukan proses. UN telah menciptakan sistem pendidikan yang lebih menekankan nilai kelulusan ketimbang kecerdasan rasio, kejujuran, dan kerja keras. Sebagai dampaknya, banyak para siswa kemudian bersikap irasional dalam menanggapi UN, seperti datang ke makam-makam dan melakukan ritual-ritual tertentu agar bisa mendapatkan nilai bagus saat UN.
Keempat, UN telah mendatangkan kecurangan berjemaah yang dilakukan secara sistematis oleh siswa berkerja sama dengan gurunya. Dengan alasan menjaga nama baik almamater, tak jarang guru melakukan berbagai cara untuk membuat para siswanya bisa lulus dalam UN, termasuk menyuruh siswa paling pintar untuk membagi jawaban kepada teman-temannya.
Fenomena ini tentu menampar kredibilitas lembaga pendidikan. Sebab, lembaga pendidikan yang seharusnya mendidik anak menjadi orang yang jujur dan mau mengikuti proses, berubah menjadi tempat “pembohongan” dan mengubah mental anak bersikap instan.
Memutus Mental Korup
Ruang kelas menjadi “sawah” untuk bercocok tanam. Apa wujudnya? Yaitu berupa nilai, karakter, kearifan, dan pengetahuan untuk membangun generasi jujur dan mengutamakan orisinalitas. Ironisnya, penyelenggaraan pendidikan seperti contoh UN, ternyata menimbulkan banyak problem seperti sudah dicatat di atas.
Dengan alasan mendongkrak citra daerahnya, sejumlah pejabat daerah pun justru mendukung “kecurangan UN”. Sehingga, ketika menjumpai ketidakjujuran dalam UN, pemerintah daerah setempat seolah “pura-pura” tidak tahu. Hal ini tentu menyedihkan sekaligus sangat bertentangan dengan amanat penyelenggaraan pendidikan. Pedagog Jerman, FW Foerster (1869-1966) menegaskan untuk membentuk karakter pribadi anak didik sangat ditentukan dengan kejujuran.
Maka perlu gerakan memutus mental korup dari ruang kelas. Pertama, menguatkan karakter kejujuran, karena kejujuran sangat diutamakan dalam Islam. Sebenarnya, Nabi Muhammad dengan empat “harta karun” yang bernama sidik, amanah, tabligh, fatanah, harus dijalankan sesuai dengan prinsip-prinsip Islam, yaitu “katakan yang jujur meskipun pahit”. Apalagi, lembaga pendidikan khususnya LP Ma’arif NU mengusung misi atau cita-cita Islam yang moderat, santun, toleran, yang pastinya harus selaras dengan praktik di lapangan.
Hadratussyaikh KH. Hasyim Asyari melalui kitabnya “Adabul Alim wal Muta alim” juga mengajak pelajar maupun guru untuk menghargai ilmu dengan etika. Misalnya pada bab 2, Mbah Hasyim menjelaskan etika penuntut ilmu atas dirinya sendiri. Bab 3 menjelaskan etika penuntut ilmu atas guru-gurunya. Bab 4 menjelaskan etika seorang penuntut ilmu atas pelajarannya. Artinya, Mbah Hasyim mengajak pelajar atau guru untuk memiliki “etika”, bahwa ilmu tak cukup jika diketahui, namun juga diamalkan.
Maka doktrin “ilmu kuwi kelakune kanti laku” harus mendarahdaging dalam penyelenggaraan pendidikan. Tanpa laku, kejujuran, kearifan, ilmu yang didapat di ruang kelas hanya menjadi “bayang-bayang teori” belaka.
Kedua, mengintegrasikan semua muatan atau mata pelajaran yang tidak hanya berorientasi pada hasil, namun pada proses. Ketika prosesnya benar, jujur, adil, maka penulis yakin hasilnya akan benar, jujur, dan adil. Dengan kata lain, jika pendidikan diselenggarakan dengan cara-cara curang, karakter anak didik yang terbentuk sejak dini dan akan dibawa sampai dewasa kelak akan curang (buruk) pula. Dengan demikian, selain mendatangkan banyak ketidakjujuran dalam penyelenggaraan, UN juga sangat berpotensi membentuk karakter anak lebih mengagumi nilai-nilai statistik daripada nilai akhlak-moral.
Ketiga, pendidikan tidak boleh sekadar difungsikan untuk mengejar angka-angka. Namun, mengajak siswa untuk memahami “substansi” di balik angka. Jika angka saja yang diutamakan, maka generasi Indonesia ke depan adalah orang-orang yang lebih menghargai hasil daripada proses. Ini tentu sangat berbahaya.
Keempat, melaksanakan dan mengawal UN yang benar-benar jujur dari segi konsep sampai praktik di lapangan. Kelima, gerakan berjemaah melakukan kejujuran sejak dalam pikiran, perkataan, dan perbuatan. Mulai dari presiden, menteri, kepala dinas, kepala sekolah/madrasah, guru, hingga murid-murid di ruang kelas.
Secara teknis, sudah saatnya penyelenggaraan UN perlu dievaluasi secara holistik. Pemerintah harus segera melakukan perbaikan sistem, baik ujian berbasis komputer maupun manual. Sementara para guru perlu ditanamkan tanggung jawab untuk benar-benar jujur mengawal berjalannya UN.
Ingat, masa depan bangsa sangat bergantung pada generasi terdidik hari ini. Jika hari ini siswa diajari menyontek berjemaah, kita khawatir kelak ketika mereka dewasa dan menjadi pejabat negara akan melakukan korupsi secara berjamaah pula. Ini jangan sampai terjadi. Karena kebohongan kecil yang terorganisasi, akan mengalahkan kebenaran besar yang tidak terorganisasi.
Jika Ma’arif komitmen untuk membangun generasi Aswaja Annahdliyah yang paripurna, maka harus menjadi garda terdepan dalam memutus mental korup dari ruang kelas. Pasalnya, LP Ma’arif menjadi satu-satunya lembaga pendidikan yang sejak dulu tidak hanya fokus menanambkan generasi santun dan toleran, namun juga kejujuran.
-Penulis adalah dosen dan Kaprodi Pendidikan Guru Madrasah Ibtidaiyah STAINU Temanggung.