Oleh Niam At-Majha
Ini hari keberapa aku telah lupa. Berkali-kali berusaha memejamkan mata selalu gagal. Meski sekejap saja. Segala macam cara sudah aku lakukan, mulai pergi ke dokter, bahkan ke tempat-tempat alternatif segala. Nihil tanpa hasil. Apakah aku mempunyai kelainan?apakah ini termasuk penyimpangan? Malam di buat siang adan siang di jadikan malam. Setahuku aku tak pernah makan kelelawar, akan tetapi kenapa mengindap pola kehidupannya. Hingga kapan akan menjalani laku seperti ini. Tak mampu tidur di malam hari, selalu terjaga dan terjaga.
Berbagai saran dari teman telah ku coba; ada yang menyuruh periksa kedokter, ada pula yang memberi anjuran untuk ke pengobatan alternatif. Semuanya sudah aku jalani hingga bosan; hasilnya pun sama; tak berpengaruh apa-apa. Apakah suatu ketika aku dapat menemukan penyembuh. Dan mengetahui penyebabnya? Kenapa aku tak bisa tidur? selalu terjaga meski dalam lelah yang pasrah.
Ketika malam merambah separuh. Aku berusaha berdialog dengan diri sendiri. Bahkan semua anggota tubuh kutanyai, namanya dialog dengan diri ya seperti itu; tampak aneh dan gila tampaknya. Ahh…biarlah gila tapi tahu kegilaanya dari pada gila tak tahu dengan kegilaannya.
- Iklan -
“Sampai kapan aku akan terus begini, tak bisa memejamkan mata?”
“Iya nanti sampai lelah parah”
“Kapan itu?”
“Jawabnya ada dalam dirimu sendiri”
“Yang mana? Tak usah berbelit, aku sudah muak dan lelah!
“Berusahalah mencari tahu sendiri”
“Sekarang kau diam, biarlah aku cari sendiri jawabannya; tak perlu ikut campur”
Dialog yang amat rumit antara akal, pikiran, hati, dan nalar semuanya mempunyai cara pandang yang berbeda-beda mempunyai ke inginan yang tak sama. Tinggal mana yang lebih dominal akal atau hati nurani.
Berulang kali aku menuai jalan buntu. Ketika berusaha mencari jawaban; bukan mencari, tepatnya memaksa untuk mengerti jawaban kenapa aku tak bisa tidur; terjaga dan menjaga. Aku merindukan rekreasi alam mimpi yang setelah bangun akan menjadi dongengan. Buat teman yang aku jumpai dan kekasihku pun akan aku ceritai. Akan tetapi, sekarang! semuanya telah jadi kenangan dan lelah untuk sekedar mengenang.
Apa karena di sebabkan beban pikiran terlalu akut. Jika iya; lantas akalku tadi aku ajak berdiaolog masih bisa. Apakah akal dengan pikiran itu beda?kelihatannya sama. Berarti bukan karena itu penyebabnya. Apa mungkin juga aku bermimpi sebelum tidur? Apa ada mimpi sebelum tidur? Ada, nyatanya aku mengalaminya. Aku sering punya angan keluargaku bahagia seperti pituah kiai keluarga bahagia itu tersusun dengan tiga landasan utama, sakinah, mawadah, warohmah dan hingga saat ini aku tak merasakan konsep tersebut.
Aku sebagai anak pertama hanya menjadi korban yang dikambing hitamkan dengan berbagai dalih. Entah tentang biaya pendidikan, entah karena aku yang bisanya menyusahkan, hanya meminta sama orang tua tak mau berusaha sendiri. Jika begitu kenapa orang tuaku mengingingkan aku lahir dan bahkan hingga beranjak dewasa. Tak hanya itu saja, aku juga memikirkan hubunganku dengan tetanggaku sendiri Titin, entah dengan dasar apa kedekatan ini terjalin. Cukup menyita akal pikiran apabila aku mengenang semuanya. Apalagi tentang apa-apa yang pernah aku lakukan dengannya, Ning….Aning bagaimana ini, kau telah memenjarakan aku.
“Maaf mengganggu istrahatmu!”
“Katanya sudah tak membutuhkan aku lagi, dan menyuruhku diam saja”
“Lupakan masa lalu, sekarang aku lagi perlu bantuanmu untuk menjawab semua pertanyaan-pertanyaanku”.
“Tentang apa?”
“Tentang apa lagi, kalau bukan tentang terjaga dan menjaga yaitu tak mampu memejamkan mata”
“Silahkan tanya semaumu, kalau bisa aku jawab jika tak bisa perlu ada kata marah-marah segala”
“Ok, selama sejarah lahirnya manusia akal telah dijadikan perdana menteri yang mengatur dan menyaring semuanya sebelum masuk kehati dan jiwa dalam jazad”
“Benar”
“Tunggu dulu jangan memotong pembicaraan. Sekarang yang aku tanyakan, benar akal itu yang merencanakan atau menyuruh hati untuk mengiyakan apa yang diinginkannya?”
“Tidak juga sih…tergantung situasinya”
“Lha yang kau rasakan bagiamana?”
“Aku bertanya padamu”
“Iya semua yang kau ucapkan benar, akal yang mengatur semuanya. Memerintah hati dan bahkan merencanakan kejahatan pun akal yang sering kali berkelah. Hingga membuat argumen-argumen sekiranya mampu diterima yang berakal atau pun yang tak berakal sehat”
“Begitu ya…berati jahat dong…sejatinya hati kan bersih”
“Jahat tidaknya tergantung yang menilai, soalnya sekarang ini aku sebagai akal belum menemukan hati yang putih layaknya Hajar Aswad pertama kali diletakkan disamping Kabah. Sekarang batu putih itu berubah menjadi hitam pekat karena menyerap para pendosa yang berebut menciumnya.”
Aku berdiam sesaat untuk sedikit menelaah tentang apa yang telah aku dialogkan dengan akalku sendiri. Akan tetapi dari kesemuanya pembicaraan tadi kok tak ada yang bersangkutan kenapa aku terkena insomnia. Wah…wah…ini sudah melenceng dengan tema utama pencarian tentang asal muasalnya aku tak bisa tidur, harus diluruskan sekarang.
“Iya aku terima semua penjelasan-penjelasan yang kau lontarkan, tapi kelihatannya sudah melenceng dari tema utama yaitu mencari kenapa aku tak bisa memejamkan mata ketika malam merambah pekat”
“Melencengnya tak begitu jauh-jauh amat, sekarang aku akan menguraikan kenapa kau tak bisa tidur dan sudah rindu dengan bunga-bunga tidur. Ada beberapa kemungkinan salah satunya, traumatis di masa kecil, kurang kasih sayang, banyaknya beban masalah yang tak secepatnya diselesaikan hingga masalah tersebut membeku.”
“Solusinya bagaimana?”
“Ada dalam dirimu sendiri”
“Dari dulu jawabanmu kok itu-itu melulu; kalau aku mengetahui jawabannya tak perlu aku meninta bantuanmu. Menyesal aku berdialog denganmu berlama-lama jika akhirnya jawabanya sama seperti dulu. Diam pergi dari hadapanku dan tak perlu lagi menampakkan berbagai penjelasan dan keterangan yang ujung-ujungnya membuatku muak”
“Tadi siapa suruh membangunkanku dari keterdiaman dan berdialog panjang lebar, kok sekarang menyalahkan atas ketidakmampuan untuk mencari jawaban atas apa yang dialaminya sendiri”
Perihal itu semua; berulang kali bahwa jawaban itu terletak pada diri sendiri. Pada diriku, tak usah mencari orang lain untuk membantu atas tanya- jawabanku selama ini. Ah perlu membaca diri secara utuh dan menyeluruh.
“Bisa jadi ini di sebabkan karena setiap kegiatan yang ku jalani terkabarkan kepada semua orang, dengan niat tersirat penuh makna,”
“Hampir benar,”
“Maksudnya,”
“Tentang pertanyaanmu kemarin-kemarin yang selalu terjaga dan menjaga mengedipkan mata saja sulit,”
Apabila ada sebuah cermin besar, memperlihatkan semua kelakuan, intrik selama ini, tentu hal tersebut akan membuatku lebih takut dan merasa banyak aktifitas-aktifitas kegiatan yang hanya membuang-buang waktu saja. Salah satunya yaitu mengabarkan kepada khalayak umum tentang berbagai aktifitas harian, pergi kesana, pulang kesini dan lainnya.
“Kau harus tahu, terlalu memuja diri sendiri itu tak baik dalam spiritualitas atau pun psikismu,”
“Memangnya seperti itu, tentu kau sendiri tahu apabila sejak kecil masa kanak-kanakku terabaikan, dimana masa-masa bermain-main tak ada, sedangkan saat mendapatkan pujian-pujian di waktu kanak-kanak aku tak memperolehnya; maka dari itu meski sudah dewasa berpendidikan tinggi jika kelakuannya masih kanak-kanak ya di maklumi,”
“Apa dengan kelakuan yang demikan akan terus menerus kau jalani?”
“Tergantung,”
“Jawaban inilah seharusnya kau menyadari apabila dengan sikap-sikapmu selama ini adalah bentu stimulus yang tanpa kau sadari membuatmu bisa terjaga atas hal-hal apa yang akan kau kabarkan dan menjaga untuk mencari tahu siapa saja yang sudah merespon apa yang kau lontarkan dan kau ungkapkan,”
“Apa seperti itu,?”
“Tentu,”
“Kau selalu mencari-cari kesalahanku dan mencari titik terlemahku ketika sedang saat begini kau bilang begini dan begitu,”
“Terserah siapa yang memaknai dan siapa yang melihatnya, saya hanya sekedar memberikan pengertian siapa tahu kau dapat menerimanya,”
Mengapa malam ini tampak lain. Berbeda dengan malam sebelumnya, apakah ini jawaban dari pertanyaanku dan kunci penyembuhku atas ke terjagaanku selama ini. Sejauh mataku memandang semuanya tampak putih. Padahal malam identik dengan hitam dan pekat. Lain dengan malam ini. Putih dan bersih. Terdengar sayup-sayup suara isak tangis memanggil-manggil namaku, tapi siapa? terrasa samar suaranya dan arahnya dari nama aku sendiri bingung.
“Alhamdillah ya Allah…akhirnya kau sadar juga” ucap Ibuku sambil memelukku dengan air mata yang berlinang.
“Memangnya sekarang aku dimana dan apa yang terjadi dengan diriku?”
Banyak orang yang mengerumiku dan dengan tatapan yang beda mereka semua memandangiku. Ada guratan kebahagiaan atas kejadian ini.
“Sekarang kau dirumah sakit nak, dan lebih dari satu bulan kau tak sadarkan diri” Jawab ibuku sambil memelukku.
“Bolehkah aku meminta sesuatu?”
“Iya..boleh minata apa saja akan kami kabulkan.”
“Aku hanya ingin istirahat dan tidur karena sudah lama aku tak merasakan bagaimana nikmatnya tidur”
Akhirnya semua yang mengerumuniku beranjak pergi satu-persatu. Tinggal Aning saja yang menemaniku sambil menggenggam erat jemari tanganku. Entah ada maksud dan tujuan apa dia disini.
Kembali berdialog dengan diri sendiri yang tak berkesudahan.
“Bagaimana kau tahu nikmatnya tidur? Sedangkan ketika tidur kau tak sadarkan diri,”
“Nikmatnya yaitu pada saat mengantuk dan akan beranjak tidur,”
“Kalau mengantuk bukan tidur, soalnya kau masih terjaga dan mengetahui apa-apa yang berada di sekelingmu,”
“Selalu ada berdebatan ketika kita berdialog, tak menemukan jalan tengah atau pun solusi yang ramah,”
“Tugas saya memang seperti itu, tak usah kau salahkan,”
“Iya mengerti dan memahami,”
Terdengar samar-samar suara tangis meledak dengan serempak. Bahkan ada sampai mengoyang-goyangkan tubuhku. Aku pun tak peduli dengan Aning yang dari tadi air matanya tumpah, dan tanganya selalu menggenggam jemariku. Ya serasa menyalurkan cinta dan kasih sayang dalam lubuk hatinya tedalam. Dan juga penyesalan yang amat dalam. Dan aku pun telah menui kenikmatan tidur yang aku rindukan selama ini. Tidur untuk selamanya. Akhirnya aku sembuh dari penyakitku.
Jl. Dr. Susanto 04 Pati