Keberadaan masjid pascabencana tsunami, 26 Desember 2004, seperti sebuah keajaiban yang diperlihatkan Sang Pencipta. Bayangkan, ketika bangunan di sekitar luluh lantak dan hanyut dihantam gelombang tsunami, namun masjid-masjid tetap berdiri kokoh, hanya beberapa bagian saja yang mengalami kerusakan.
Dalam Jelajah Tanah Andalas beruntung saya sempat mengunjungi masjid-masjid di Banda Aceh yang menjadi saksi betapa dahsyatnya bencana tsunami sepuluh tahun silam. Sebut saja Masjid Raya Baiturahman, Masjid Baiturrahim, dan Masjid Rahmatullah di Pantai Lampuuk Kec. Lhoknga Kab. Aceh Besar adalah saksi bisu betapa dahsyatnya bencana yang merenggut lebih dari 200 ribu jiwa tersebut. Masjid-masjid tersebut juga menjadi penyelamat warga saat tsunami dating menerjang. Bagaimana sejarah keberadaan masjid-masjid besar itu? Berikut catatan yang saya kumpulkan dari beberapa sumber.
1. Masjid Baiturrahman
Masjid Raya Baiturrahman merupakan Masjid Kesultanan Aceh yang dibangun pada masa pemerintahan Sultan Iskandar Muda pada tahun 1022 H/1612 M. Riwayat lain menyebutkan bahwa yang mendirikan Masjid Raya Baiturrahman adalah Sultan Alaidin Mahmudsyah pada tahun 1292 M. Pada masa Perang Aceh, masjid ini berfungsi sebagai benteng pertahanan umat Islam. Mesjid ini pernah terbakar habis akibat penyerangan tentara Belanda dalam ekspedisinya yang kedua pada April 1873 . Pada Maret 1877 M Mayor Jenderal Karel van der Heijdenselaku gubernur militer Aceh pada waktu itu kembali membangun Masjid Baiturrahman yang sudah terbakar.
Pada tahun 1935 M, Masjid Raya Baiturrahman diperluas bagian kanan dan kirinya dengan tambahan dua kubah. Perluasan ini dikerjakan oleh Jawatan Pekerjaan Umum (B.O.W) dengan biaya sebanyak F. 35.000,- (tiga puluh lima ribu gulden) dengan pimpinan proyek Ir. M. Thahir dan selesai dikerjakan pada akhir tahun 1936 M.
Usaha perluasan dilanjutkan oleh sebuah panitia bersama yaitu Panitia Perluasan Masjid Raya Kutaraja. Dengan keputusan menteri tanggal 31 Oktober 1975 disetujui pula perluasannya yang kedua dan pelaksanaannya diserahkan pada pemborong NV. Zein dari Jakarta. Perluasan ini bertambah dua kubah lagi dan dua buah menara sebelah utara dan selatan. Dengan perluasan kedua ini Masjid Raya Baiturrahman mempunyai lima kubah dan selesai dekerjakan dalam tahun 1967 M.
Pada tahun 1991-1993, Masjid Raya Baiturrahman melaksanakan perluasan kembali yang disponsori oleh gubernur Dr. Ibrahim Hasan, yang meliputi halaman depan dan belakang serta masjidnya itu sendiri. Bagian masjid yang diperluas, meliputi bagian lantai masjid tempatshalat, perpustakaan, ruang tamu, ruang perkantoran, aula dan tempat wudhuk. Sedangkan perluasan halaman meliputi, taman dan tempat parkir serta satu buah menara utama dan dua buah minaret. Sehingga luas ruangan dalam Masjid menjadi 4.760 m2 berlantai marmer buatan Italia, jenis secara dengan ukuran 60 × 120 cm dan dapat menampug 9.000 jamaah.
Dengan perluasan tersebut, Masjid Raya Baiturrahman sekarang memiliki 7 kubah, 4 menara, dan 1 menara induk. Dari masa ke masa masjid ini telah berkembang pesat baik ditinjau dari segi arsitektur, peribadatan maupun kegiatan kemasyarakatan.
2. Masjid Baiturrahim
Masjid Baiturrahim adalah salah satu masjid bersejarah di provinsi Aceh, Indonesia. Masjid yang berlokasi di Ulee Lheue, kecamatan Meuraksa, Banda Aceh ini merupakan peninggalan Sultan Aceh pada abad ke-17. Masa itu masjid tersebut bernama Masjid Jami’ Ulee Lheu. Pada 1873 ketika Masjid Raya Baiturrahman dibakar Belanda, semua jamaah masjid terpaksa melakukan salat Jumat di Ulee Lheue. Dan sejak saat itu namanya menjadi Masjid Baiturrahim.
Sejak berdirinya hingga sekarang masjid ini sudah mengalami beberapa kali renovasi. Awalnya masjid dibangun dengan rekonstruksi seutuhnya terbuat dari kayu, dengan bentuk sederhana dan letaknya berada di samping lokasi masjid yang sekarang. Karena terbuat dari kayu, bangunan masjid tidak bertahan lama karena lapuk sehingga harus dirobohkan. Pada 1922 masjid dibangun dengan material permanen oleh Pemerintah Hindia Belanda dengan gaya arsitektur Eropa. Namun masjid ini tidak menggunakan material besi atau tulang penyangga melainkan hanya susunan batu bata dan semen saja.
Berdasarkan catatan sejarah, pada tahun 1983 Banda Aceh pernah diguncang gempa dahsyat dan meruntuhkan kubah masjid. Setelah itu masyarakat membangun kembali masjid namun tidak lagi memasang kubah, hanya atap biasa. Sepuluh tahun kemudian, dilakukanlah renovasi besar-besaran terhadap bangunan masjid, hanya dengan menyisakan bangunan asli di bagian depan pascagempa 1983. Selebihnya 60 persen merupakan bangunan baru. Sampai sekarang bangunan asli masjid masih terlihat kokoh di bagian depannya.
Pada 26 Desember 2004, gempa bumi yang disusul terjangan tsunami meratakan seluruh bangunan di sekitar masjid dan satu-satunya bangunan yang tersisa dan selamat adalah Masjid Baiturrahim Kondisi masjid yang terbuat dari batu bata tersebut hanya rusak sekitar dua puluh persen saja sehingga masyarakat Aceh sangat mengagumi masjid ini sebagai simbol kebesaran dan Tuhan
- Iklan -
3. Masjid Rahmatullah
Masjid Rahmatullah sebenarnya bukan bangunan lama. Masjid ini diresmikan penggunaanya pada 12 September 1997 oleh Gubernur Aceh saat itu Prof. Syamsudin Mahmud. Terletak di Pantai Lampuuk Kecamatan Lhoknga, Kabupaten Aceh Besar. Dibalik kemegahannya, masjid ini menjadi saksi kedahsyatan hempasan gelombang Tsunami yang meluluhlantakkan Aceh, pada 2004 silam. Masjid Rahmatullah menjadi satu-satunya bangunan yang tersisa dari sebuah perkampungan di Kecamatan Lhoknga, Kabupaten Aceh Besar.
Sebelum Tsunami, perkampungan ini dihuni oleh sekitar 6.000 jiwa yang umumnya berasal dari kelas menengah. Masyarakat di perkampungan ini kebanyakan karyawan PT. Semen Andalas Indonesia, selain terdapat pula nelayan, petani dan berbagai latar belakang profesi lainnya. Ketika terjadi Tsunami, seluruh bangunan hancur dan terhempas hingga ratusan meter ke arah daratan. Hanya sekitar 700 warga yang selamat, sedangkan ribuan lainnya menemui takdirnya ketika itu.
Masjid Rahmatullah yang berjarak hanya sekitar 500 meter dari bibir pantai ajaibnya ketika tsunami datang menerjang bagungan ini tetap berdiri dengan kokoh. Meskipun beberapa sisi bangunan masjid rusak, akan tetapi sebagian besar tetap utuh dan selamat.
Hal ini pun mengundang perhatian jurnalis dan fotografer lokal maupun internasional untuk mengabadikannya. Beberapa foto dari berbagai sudut, khususnya foto udara menunjukkan bagaimana keseluruhan kampung di sekitar masjid ini benar-benar rata dengan tanah.
Seiring datangnya bantuan dari dunia internasional, kondisi Aceh yang telah porak poranda perlahan kembali ditata. Tak terkecuali di daerah sekitar pantai Lampuuk. Masjid Rahmatullah pun mengalami renovasi dan diperbesar. Sepasang menara kembar pun ditambahkan dalam arsitektur baru masjid yang menjadikan tampilan masjid yang baru ini menjadi tambah indah.
Meskipun bangunan Masjid Rahmatullah yang baru menjadi lebih megah dari sebelumnya, Beberapa sisi masjid bagian belakang tetap dipertahankan seperti kondisi aslinya yang rusak akibat Tsunami. Hal ini dilakukan sebagai pengingat dan peringatan bagi masyarakat mengenai bahaya bencana Tsunami di masa yang akan datang.
Menyaksikan pemandangan ‘Kampung Turki’ di tengah bentangan alam Lampuuk dari puncak menaranya, membuat kita tergetar membayangkan kejadian beberapa tahun yang lalu saat ribuan jiwa yang melayang dalam tragedi Tsunami. (Muslihudin el Hasanudin).