Oleh Hamidulloh Ibda
Di era medsos, siapa sih yang tidak pernah pamer foto keren, unggah story saat nongkrong di kafe hit, atau buru-buru bikin konten biar terlihat update? Di era digital, dorongan untuk “tampil keren” dan “bergaya” di media sosial telah menjadi fenomena yang hampir universal, tak terbatas pada usia muda.
Dari anak muda sampai yang sudah sepuh pun ingin tampil kece, seakan-akan hidupnya penuh warna. Mulai dari swafoto di lokasi eksotis hingga berbagi momen pribadi secara detail, semua dilakukan demi mendapatkan validasi digital seperti like, comment, follow, subscribe, dan share.
Fenomena ini punya istilah keren: digital narcissism atau cyber-narcissism yakni kebutuhan untuk mendapat validasi lewat like, comment, share, dan subscribe.
- Iklan -
Lebih dari sekadar tren, narsisme digital adalah cerminan dari kebutuhan psikologis yang mendalam, di mana ruang publik digital bertindak sebagai panggung utama untuk membangun dan memproyeksikan citra diri ideal yang diidam-idamkan. Pertanyaannya, apakah ini sekadar perilaku normal di zaman modern, atau justru alarm bagi kesehatan mental? Pertanyaannya, wajar atau berlebihan?
Narsisme: Antara Normal dan Patologis
Sigmund Freud, bapak psikoanalisis, pernah menulis tentang narsisme dalam bukunya On Narcissism (1914). Menurutnya, setiap orang pasti punya sifat narsis: mencintai diri sendiri. Itu normal. Narsisme (cinta diri) dimaknai sebagai tahap perkembangan normal pada setiap individu, yang diadopsi dari mitologi Yunani tentang Narcissus, yang jatuh cinta pada bayangannya sendiri. Narsisme digital adalah perpanjangan dari dorongan dasar ini.
Masalahnya, kalau kelewatan? Bisa masuk ranah patologis, alias penyakit psikologis. Analogi sederhananya: narsis itu vitamin, tapi kalau kebanyakan bisa jadi racun. Teori Freud juga mengingatkan kita pada mitologi Yunani tentang Narcissus, pemuda yang jatuh cinta pada bayangannya sendiri. Kalau dulu Narcissus sibuk memandangi air, kini manusia digital sibuk memandangi layar smartphone.
Media sosial menyediakan “cermin” yang selalu tersedia (layar ponsel) dan “audiens” yang tak terbatas untuk mencintai dan memuja citra diri yang telah dikurasi (curated self-image). Masalahnya muncul ketika narsisme ini menetap dan berlebihan hingga dewasa, mengubahnya dari sifat normal menjadi kategori patologi atau masalah mental. Ketergantungan pada Like dan pujian menjadi indikasi bahwa fokus energi mental terlalu ditarik kembali ke diri sendiri (ego) demi pemuasan citra ideal.
Maslow dan “Like” sebagai Kebutuhan
Maslow dalam Hierarchy of Needs menegaskan bahwa setelah kebutuhan dasar (makan, minum, tidur) terpenuhi, manusia butuh cinta, rasa memiliki, dan penghargaan. Nah, di zaman medsos, penghargaan itu diwujudkan lewat notifikasi: “100 orang like fotomu.” Sensasi ini jadi candu, membuat orang rela mengorbankan uang, waktu, bahkan privasi hanya untuk terlihat “wah.”
Abraham Maslow menyatakan bahwa setelah kebutuhan dasar (fisiologis dan keamanan) terpenuhi, manusia akan mengejar kebutuhan pada tingkat yang lebih tinggi, yaitu rasa cinta dan memiliki (belongingness) serta penghargaan (esteem).
Media sosial berfungsi sebagai “alat utama” untuk memenuhi kebutuhan ini di era modern. Pertama, belongingness. Jumlah followers, koneksi pertemanan, dan partisipasi dalam komunitas digital menciptakan rasa dimiliki dan diterima. Kedua, esteem. Like, comment pujian, dan share adalah bentuk pengakuan (recognition) dan penghargaan yang memberikan rasa dihargai dan diakui. Narsisme digital adalah upaya kompulsif untuk mengamankan kebutuhan esteem ini melalui validasi eksternal.
Panggung Media Sosial: Dramaturgi Goffman
Sosiolog Erving Goffman membandingkan hidup dengan panggung teater. Ada front stage (panggung depan) untuk menunjukkan sisi terbaik diri, dan ada back stage (panggung belakang) untuk menyembunyikan kekurangan. Di medsos, yang kita lihat hampir selalu front stage performance: foto liburan mewah, senyum bahagia, caption bijak. Yang tak terlihat? Tagihan kartu kredit, pertengkaran rumah tangga, atau rasa kesepian.
Sosiolog Erving Goffman membandingkan interaksi sosial dengan pertunjukan teater. Setiap orang adalah “aktor” yang berusaha menyajikan manajemen kesan (impression management) terbaik di “panggung” kehidupan.
Dari teori ini bisa dikatakan bahwa media sosial adalah panggung depan (front stage) yang sempurna. Kita secara sadar memilih konten foto, video, dan cerita (stories) yang paling menarik dan ideal (highlight reel) untuk membangun impresi yang kita inginkan: sukses, keren, bahagia, jos, mantab, ngeri, dan lainnya. Hal-hal yang kurang ideal atau “cacat” disembunyikan di panggung belakang (back stage) (kehidupan nyata yang tidak dibagikan). Narsisme digital adalah hasil dari upaya tanpa henti untuk mempertahankan citra front stage ini, mencari pujian atas peran yang dimainkan.
Banding-Banding: Social Comparison Theory
Leon Festinger dalam toeri perbandingan sosial (Suls, Wheeler, Collins (ed), 2020), menyebut manusia cenderung membandingkan dirinya dengan orang lain. Di medsos, perbandingan ini jadi brutal. Kita tiap hari disuguhi highlight reel orang lainmakan di restoran mahal, ketemu artis, traveling ke luar negeri. Akibatnya, muncul Fear of Missing Out (FOMO), perasaan minder, bahkan nekat belanja di luar kemampuan demi tampil setara. Singkatnya: demi gengsi, “duitmu entek!”
Leon Festinger berpendapat bahwa manusia memiliki dorongan bawaan untuk membandingkan diri mereka dengan orang lain sebagai cara untuk mengevaluasi diri sendiri (kemampuan dan opini). Dalam konteks ini, nedia sosial mengintensifkan perbandingan ini. Kita terus-menerus terpapar pada “highlight reel” kehidupan orang lain (liburan mewah, dinner mahal, pencapaian).
Perbandingan ini seringkali memicu perasaan ketidakcukupan dan FOMO, mendorong individu untuk menciptakan cerita mereka sendiri yang sama menariknya atau lebih baik, demi mengejar status dan pengakuan. Siklus ini berpotensi menyebabkan tekanan finansial.
Budaya Individualistik dan Dampak Psikologis
Jean M. Twenge dalam Generation Me menyoroti bahwa media sosial membuat generasi muda semakin narsis, tetapi ironisnya juga semakin individualistik. Lebih lanjut, dalam The Narcissism Epidemic (2014), Twenge dan Campbell mengingatkan bahwa narsisme merusak hubungan antarpribadi karena minim empati. Orang narsis bisa terlihat percaya diri, tetapi sebenarnya rapuh, mudah cemas, depresi, bahkan kesepian.
Narsisme memang menunjukkan peningkatan di kalangan generasi muda seiring dengan kemudahan akses ke media sosial. Namun hakikatnya narsisme juga memiliki dampak buruk. Pertama, gangguan hubungan. Fokus berlebihan pada diri sendiri dan kurangnya empati membuat individu narsis sulit mempertahankan hubungan yang sehat.
Kedua, perilaku antisosial. Prioritas diri di atas segalanya dapat melahirkan budaya individualistik dan perilaku antisosial. Ketiga, ancaman kesehatan mental. Ironisnya, meskipun narsisme dikaitkan dengan harga diri yang tinggi, individu narsis yang bergantung pada validasi eksternal justru lebih rentan terhadap kecemasan, depresi, dan kesepian ketika validasi yang mereka cari tidak terpenuhi. Perasaan high dopamine dari like tidak bertahan lama, memaksa mereka untuk terus mencari dosis berikutnya.
Normal atau Mengkhawatirkan?
Pada batas tertentu, narsisme digital adalah bagian dari cara manusia modern memenuhi kebutuhan psikologisnya. Namun, jika berlebihan, efeknya bukan hanya pada diri sendiri (stres, cemas, kesepian), tapi juga pada masyarakat (budaya individualistik, menurunnya empati).
Narsisme Digital bukanlah sepenuhnya “penyakit” melainkan ekstremitas dari sifat narsisme yang mendasar, diperkuat dan dipercepat oleh platform digital. Media sosial menyediakan lingkungan yang ideal panggung yang selalu ada dengan audiens yang siap menilai untuk memuaskan kebutuhan dasar manusia akan pengakuan dan penghargaan. Namun, ketika pencarian validasi digital menggantikan autentisitas dan empati, ia menjadi wabah sosiopsikologis yang mengancam kesejahteraan mental dan kualitas hubungan interpersonal.
Kuncinya adalah menyadari bahwa citra ideal yang ditampilkan di media sosial seringkali adalah performance panggung depan, bukan realitas utuh. Menetapkan batas dalam penggunaan media sosial dan berfokus pada sumber harga diri internal dan hubungan otentik di dunia nyata menjadi langkah penting untuk menjaga kesehatan mental di tengah lautan highlight reel yang tak berujung.
-Dr. Hamidulloh Ibda, M.Pd., dosen bahasa dan sastra MI/SD di Institut Islam Nahdlatul Ulama Temanggung.



