Oleh Hamidulloh Ibda
“Sudah berapa kali, Ma’arif Kudus Juara Umum, Gus?” ada seorang kiai japri saya tanya sembari mengomentari story WA yang saya bagikan. “Sepuluh kali, Yi” jawab saya. Beliau pun menjawab “Besok-besok lagi, Kudus tak perlu diajak… hehehehe sambil berkelakar.”
Sekali lagi, selamat. Ya, selamat atas prestasi Lembaga Pendidikan Ma’arif Nahdlatul Ulama (LP Ma’arif NU) PCNU Kabupaten Kudus yang menjadi Juara Umum Pekan Olahraga dan Seni Ma’arif (Porsema) XIII tahun 2025 di Kabupaten Wonosobo.
Bagi saya, kompetisi dalam Porsema sudah ajang tahunan. Sudah diketahui gitu lo maksudnya! Seharusnya, semua LP. Ma’arif NU PCNU Kab/Kota menyiapkan jauh-jauh hari dan bermental “pemenang” meski “menang” hakikatnya adalah bonus. Pada 9 September 2025 kemarin, saya juga telah menulis Porsema XIII: Veni, Vidi, Vici yang memprovokasi semua cabang untuk semangat dan merebut juara. Tapi namanya Juara Umum kan hanya satu.
- Iklan -
Dalam konteks ini, kiprah kontingen LP Ma’arif NU PCNU Kabupaten Kudus dalam ajang Porsema XIII kembali mencuri perhatian. Pada Porsema XIII Jawa Tengah di Wonosobo tahun 2025, Ma’arif Kudus sukses meraih Juara Umum untuk yang ke-10 kalinya yang secara rinci telah dimuat di website Ma’arif Kudus. Pencapaian luar biasa ini menegaskan posisi Kudus sebagai “langganan juara” sekaligus teladan dalam pembinaan bakat murid/santri Ma’arif NU di bidang olahraga dan seni.
Porsema telah menjadi agenda dua tahunan yang mempertemukan para pelajar di bawah naungan Lembaga Pendidikan Ma’arif Nahdlatul Ulama dari seluruh Jawa Tengah. Ajang ini bukan sekadar kompetisi olahraga dan seni, melainkan juga ruang silaturahmi, pembinaan karakter, serta unjuk prestasi generasi muda NU. Sejak pertama kali digelar pada tahun 1999, kontingen LP Ma’arif NU Kabupaten Kudus dikenal sebagai salah satu kekuatan terbesar yang hampir selalu menorehkan prestasi.
Jejak Prestasi Kudus dari Masa ke Masa
Dalam perjalanan sejarah Porsema, Kudus telah mencatatkan dominasi luar biasa. Tahun 2025 di Wonosobo menjadi momen penting ketika Kudus berhasil kembali meraih juara umum untuk yang kesepuluh kalinya. Pencapaian ini mempertegas posisi Kudus sebagai kontingen langganan juara sekaligus simbol konsistensi dalam pembinaan santri.
Sejak Porsema pertama di Magelang tahun 1999, Kudus sudah menunjukkan partisipasi aktif, meski belum langsung berada di puncak klasemen. Ajang-ajang berikutnya pada 2001, 2003, dan 2005 di Kota Pekalongan masih menjadi masa adaptasi. Namun, mulai tahun 2007 di Kabupaten Pekalongan, Kudus berhasil tampil sebagai juara umum dan sejak itu tradisi kemenangan terus berlanjut.
Kemenangan Kudus kemudian berturut-turut berlanjut pada 2009, 2011 di Kota Semarang, 2013 saat menjadi tuan rumah, 2015 di Kebumen, 2017 di Jepara, 2019 di Temanggung, 2023 di Kabupaten Semarang, hingga puncaknya di 2025 di Wonosobo. Dari 13 kali penyelenggaraan Porsema, Kudus telah 10 kali merebut posisi juara umum, sebuah capaian yang sangat jarang ditemui dalam ajang kompetisi antar-daerah.
Kunci Konsistensi Ma’arif Kudus
Kesuksesan Ma’arif Kudus dalam Porsema bukanlah hasil yang datang secara tiba-tiba. Ada sejumlah faktor yang membuat kontingen ini mampu menjaga konsistensi. Pertama, sistem pembinaan berjenjang yang terstruktur. Sejak tingkat MI/SD, murid Ma’arif Kudus sudah diarahkan untuk mengasah bakat di bidang olahraga maupun seni. Proses seleksi dilakukan dengan ketat, sehingga delegasi yang dikirim ke Porsema benar-benar representasi terbaik dari berbagai cabang.
Kedua, Kudus memiliki tradisi kompetisi yang sehat. Hampir setiap momentum lomba di tingkat internal kabupaten selalu dijadikan ajang uji kemampuan. Dari sana, muncul semangat berkompetisi yang membentuk mental juara. Ketiga, dukungan ekosistem pendidikan dan masyarakat sangat kuat. Sinergi antara sekolah, madrasah, pesantren, guru, official, serta orang tua menciptakan atmosfer positif bagi tumbuhnya prestasi.
Keberhasilan ini juga ditopang oleh kemampuan melakukan regenerasi. Kudus tidak bergantung pada figur tertentu, tetapi terus melahirkan talenta baru di setiap periode. Regenerasi yang terjaga menjadikan Kudus mampu mempertahankan dominasi selama lebih dari dua dekade.
Inspirasi bagi Ma’arif Lain
Pencapaian Kudus dalam Porsema bukan sekadar catatan kemenangan, tetapi juga pelajaran berharga. Kudus telah menunjukkan bahwa pembinaan yang konsisten, dukungan penuh dari berbagai pihak, serta kultur kompetisi yang sehat mampu melahirkan generasi santri yang berprestasi sekaligus berkarakter.
Dominasi Kudus juga memberi tantangan sekaligus motivasi bagi daerah lain. Kemenangan berulang ini menjadi bukti bahwa Porsema bukan hanya sekadar lomba, melainkan ruang pembinaan yang serius. Kabupaten atau kota lain bisa belajar dari sistem pembinaan yang dijalankan Kudus agar potensi santri di wilayah masing-masing dapat dimaksimalkan.
Dengan koleksi sepuluh gelar juara umum dari tiga belas kali penyelenggaraan, Kudus kini tidak hanya dikenal sebagai kota santri, tetapi juga sebagai kota juara. Keberhasilan ini menunjukkan bahwa kemenangan sejati bukan hanya soal trofi atau medali, melainkan tentang membangun tradisi, membentuk karakter, dan memberi inspirasi.
Porsema XIII di Wonosobo semakin mempertegas identitas Kudus sebagai pusat lahirnya talenta muda yang siap bersaing, baik di bidang olahraga maupun seni. Lebih dari itu, kemenangan Kudus juga menjadi teladan bagaimana kerja keras, kebersamaan, dan pembinaan berkelanjutan mampu menghadirkan prestasi yang konsisten sekaligus bermakna.
Analisis Teori Kemenangan
Dominasi LP. Ma’arif NU PCNU Kudus dalam ajang Porsema Jawa Tengah bukanlah sebuah kebetulan, melainkan hasil dari penerapan strategi dan sistem yang terstruktur. Kemenangan yang konsisten ini dapat dianalisis menggunakan beberapa teori kemenangan, yang mencakup pendekatan manajemen strategis, teori psikologi kompetisi, dan ekosistem sosial.
Pertama, teori manajemen strategis (the resource-based view). Analisis ini didasarkan pada teori berbasis sumber daya (the resource-based view – RBV) yang dikembangkan oleh Jay Barney. Teori ini menyatakan bahwa keunggulan kompetitif suatu organisasi berasal dari sumber daya dan kapabilitas internal yang langka, tidak dapat ditiru, dan berharga (valuable, rare, inimitable) (Barney, et.al., 2001).
Dalam konteks Ma’arif Kudus, sumber daya dan kapabilitas kunci yang dijelaskan ke dalam beberapa aspek. Pertama, sistem pembinaan berjenjang yang terstruktur. Hal ini adalah kapabilitas strategis yang menjadi fondasi. Ma’arif Kudus tidak hanya mengandalkan bakat yang sudah ada, tetapi membangunnya dari nol melalui proses pembinaan sejak level MI/SD. Sistem ini sulit ditiru oleh daerah lain secara instan karena memerlukan koordinasi, komitmen jangka panjang, dan alokasi sumber daya yang signifikan dari seluruh lembaga pendidikan di bawah naungan Ma’arif Kudus. Kedua, tradisi kompetisi internal yang kuat. Kudus itu punya filosofi Gusjigang (bagus, ngaji, dan dagang) ajaran Sunan Kudus. Gusjigang ini menekankan pentingnya memiliki akhlak mulia (bagus), memperdalam ilmu agama (ngaji), serta memiliki etos kerja dan kemampuan wirausaha (dagang). Bisa jadi, tradisi ini menciptakan sebuah kapabilitas yang disebut mental juara. Dengan adanya kompetisi internal yang sehat dan berkesinambungan, para siswa dan santri terbiasa menghadapi tekanan dan tantangan. Bagi saya, ini adalah aset tak berwujud (intangible asset) yang sulit didapatkan hanya dengan sekali latihan. Ketiga, sinergi ekosistem pendidikan. Kemenangan Ma’arif Kudus adalah hasil dari sinergi berbagai pihak, termasuk sekolah, madrasah, pesantren, guru, official, dan orang tua. Sinergi ini menciptakan ekosistem yang suportif dan mengarahkan semua sumber daya baik finansial, waktu, maupun tenaga ke tujuan yang sama. Ekosistem seperti ini membangun social capital yang memberikan keunggulan komparatif.
Dengan mengaplikasikan teori RBV, Ma’arif Kudus telah membangun sebuah ‘benteng kompetitif’ yang sulit ditembus. Mereka tidak sekadar memiliki pemain berbakat, tetapi juga memiliki sistem yang secara berkelanjutan menghasilkan bakat-bakat baru, sehingga dominasi mereka dapat dipertahankan.
Kedua, teori psikologi kompetisi dan growth mindset. Kemenangan Porsema juga bisa dianalisis dari sisi psikologis, yaitu bagaimana individu dan tim menghadapi persaingan. Konsep Growth Mindset dari Carol Dweck (2006) sangat relevan di sini. Pertama, growth mindset (pola pikir bertumbuh). Pola pikir ini meyakini bahwa kemampuan dan kecerdasan bisa dikembangkan melalui kerja keras, strategi yang baik, dan masukan dari orang lain. Hal ini berbeda dengan fixed mindset yang menganggap bakat adalah sesuatu yang statis.
Dalam konteks ini, Ma’arif Kudus mampu melakukan regenerasi secara terus-menerus dan tidak bergantung pada figur tertentu. Hal ini menunjukkan adanya budaya growth mindset. Angel tenan lo jane! Mereka tidak puas dengan talenta yang sudah ada, melainkan terus mencari dan mengembangkan talenta-talenta baru. Setiap kemenangan tidak dianggap sebagai akhir, melainkan sebagai bagian dari proses pembinaan yang berkelanjutan. Kemenangan di Porsema menjadi bukti bahwa Ma’arif Kudus berhasil menanamkan keyakinan bahwa setiap siswa, dengan pembinaan yang tepat, memiliki potensi untuk berprestasi.
Ketiga, teori perubahan organisasi model Kurt Lewin. Kemenangan Porsema yang konsisten selama bertahun-tahun juga bisa dilihat sebagai hasil dari perubahan dan adaptasi yang berhasil. Model perubahan Kurt Lewin memiliki tiga tahapan yaitu unfreeze, change, refreeze (Hussain, et.al., 2018). Pertama, unfreeze (mencairkan). Ma’arif Kudus menyadari pentingnya pembinaan yang lebih terstruktur dan kompetitif. Hal ini dimulai pada tahun-tahun awal (1999-2005) ketika mereka masih dalam tahap “adaptasi” dan belum menjadi juara umum. Kedua, change (berubah). Ma’arif Kudus melakukan perubahan dengan menerapkan sistem pembinaan berjenjang, memperkuat tradisi kompetisi internal, dan membangun sinergi antarlembaga. Ketiga, refreeze (membekukan kembali). Setelah perubahan berhasil membawa hasil (dimulai dari tahun 2007), Ma’arif Kudus berhasil ‘membekukan’ sistem kemenangan ini menjadi budaya atau tradisi. Proses ini memastikan bahwa metode yang sukses terus dipertahankan dan diturunkan ke generasi berikutnya, menjadikannya standar operasional yang baku.
Secara keseluruhan, kemenangan Ma’arif Kudus di Porsema adalah contoh sempurna dari keunggulan strategis yang berbasis pada sumber daya internal yang kuat dan budaya kompetisi yang sehat. Kemenangan mereka bukan hanya tentang siapa yang paling berbakat, melainkan tentang siapa yang memiliki sistem paling efektif untuk mengidentifikasi, mengembangkan, dan mempertahankan bakat tersebut. Hal ini menjadikan Ma’arif Kudus bukan sekadar “langganan juara,” tetapi “pembangun juara.” Menurut saya sih kira-kira begitu. Ada pendapat lain?
-Dr. Hamidulloh Ibda, M.Pd., Penulis adalah Koordinator Tim Media Porsema XIII LP. Ma’arif NU PWNU Jawa Tengah 2025.



