Oleh Khairul Anwar
Hari ini, kita melihat tren sepeda listrik yang lagi ramai di masyarakat. Meski ya kabar adanya barang ini sudah muncul sejak masa pandemi yang lalu. Tapi, di kampung, kini tampak baru ramai. Para orang tua seperti berlomba-lomba membelikan sepeda listrik untuk anaknya.
Harganya yang nggak mahal-mahal banget membuat transportasi yang lahir di era banjir informasi ini diminati banyak kalangan. Lebih-lebih, penggunaannya juga cukup simple, sehingga seorang anak tak perlu belajar berhari-hari untuk bisa mengoperasikannya. Konon, sepeda jenis ini ramah lingkungan. Apakah itu benar?
Sepeda Listrik, Apakah Ramah Lingkungan?
- Iklan -
Secara teoritis, sepeda listrik memang dianggap ramah lingkungan. Hal ini karena sepeda jenis ini tidak menghasilkan emisi gas buang saat kita gunakan. Ini tentu akan mengurangi polusi udara dan jejak karbon dibandingkan dengan kendaraan bermotor konvensional yang sering kita pakai.
Sepeda listrik ketika kita operasikan, ia bisa berjalan lebih cepat daripada sepeda biasa, dan tidak mengeluarkan asap yang bisa menimbulkan polusi udara. Itu benar. Namun, kita juga perlu menelaah lebih lanjut terkait bagaimana proses produksi baterai sepeda listrik.
Dari literatur yang saya temukan, sepeda listrik secara umum menggunakan jenis Baterai lithium-ion. Teknologi ini menawarkan kombinasi daya yang tinggi, umur pakai yang panjang, dan berat yang relatif ringan.
Akan tetapi, dalam proses produksinya, ternyata tidak serta merta bisa kita sebut ramah lingkungan. Sebab, untuk memproduksi battery lithium, bahan baku seperti lithium, nikel, dan kobalt harus ditambang.
Proses penambangan tersebut dapat memiliki efek negatif terhadap alam. Penambangan lithium sering melibatkan penebangan hutan dan polusi air, sementara penambangan nikel dan kobalt dapat mengakibatkan kerusakan lahan dan pencemaran limbah.
Ini cukup ironis. Ketika sepeda listrik kita gaung-gaungkan sebagai kendaraan yang bersahabat dengan lingkungan, di lain sisi ternyata proses pengambilan bahan dasar baterai-nya sendiri tidak terlalu pro terhadap lingkungan. Jadi, bisa kita simpulkan bahwa sepeda listrik tidak sepenuhnya ramah lingkungan.
Kendati demikian, meski tidak sepenuhnya ramah lingkungan, sepeda listrik kini jadi idola para anak muda, terutama anak kecil. Di desa saya, mayoritas bocil-bocil berusia 9-12 tahun sudah memiliki sepeda listrik. Sepeda listrik bukan barang yang cuma dipajang di dalam rumah, namun ia dapat dijalankan. Hal ini menimbulkan sisi tanya, apakah anak-anak yang bermain sepeda listrik mendapatkan pengawasan dari orang tuanya? Jika tidak, tentu ini akan sangat berbahaya.
Lalu, Apa?
Mari kita coba telaah dari segi maqashid syariah. Dalam hal ini, saya coba menggunakan prinsip Hifdz Nafs dan Hifdz Mal. Melalui perspektifnya Al Ghazali, Hifdz Nafs adalah tentang menjaga dan memelihara jiwa, baik dalam hal fisik maupun spiritual.
Dalam konteks pemakaian sepeda listrik, maka aspek keselamatan dalam berkendara merupakan hal yang lebih kita utamakan. Ini penting dan jangan diabaikan supaya tercipta ekosistem yang ramah dan nyaman untuk masyarakat. Para orang tua yang secara sadar “memberi hadiah” sepeda listrik untuk anak-anaknya, juga jangan sampai melepas begitu saja.
Anak-anak rentan sekali melakukan kecerobohan dalam berkendara. Maka, penting bagi orang dewasa untuk perketat pengawasan. Jangan sampai anak dibebaskan berkendara di jalan (apalagi jalan raya) tanpa pendampingan.
Lebih gawat lagi, emosi serta karakter anak-anak yang cenderung tidak stabil, memungkinkan dirinya untuk ngebut. Selain dapat mengancam nyawa sendiri dan orang lain, juga tidak sejalan dengan apa yang sudah diatur oleh pemerintah.
Menurut Peraturan Menteri Perhubungan Nomor PM 45 Tahun 2020, pengguna sepeda listrik minimal harus berusia 12 tahun, dengan catatan pengguna yang berusia 12 hingga 15 tahun harus didampingi orang dewasa. Meski begitu, realitanya di lapangan, anak yang masih berusia 7-10 tahun pun sudah mengendarai sepeda listrik.
Anak-anak seusia segitu cenderung kurang waspada terhadap situasi jalan raya yang bisa berubah dengan cepat. Hal ini bisa meningkatkan risiko kecelakaan. Terlebih, bahaya utama sepeda listrik ternyata adalah kemampuannya mencapai kecepatan tinggi hingga 40km/jam.
Statistik mencatat, angka kecelakaan yang melibatkan sepeda listrik cukup tinggi. Dilansir CNN, Kementerian Perhubungan (Kemenhub) mengungkap data kecelakaan lalu lintas yang melibatkan kendaraan listrik disepanjang tahun lalu. Pada periode itu terjadi 435 kasus kecelakaan kendaraan listrik, dan 333 di antaranya melibatkan sepeda listrik.
Melihat dari Kacamata Maqashid Syariah
Jika sudah membahayakan di jalanan, tentu ini bertentangan dengan prinsip Hifdz Nafs. Di mana prinsip ini menekankan pentingnya memelihara dan melindungi kehidupan manusia dari ancaman yang dapat membahayakan, mengancam atau mengganggu kelangsungan hidupnya. Termasuk aktivitas anak kecil menggerakkan kendaraan di jalanan yang bisa membahayakan lalu lintas sekitar.
Dalam hal ini, orang tua wajib berperan penting. Jangan sampai rasa kasih sayang kepada anak berujung pada penyesalan. Ini juga menjadi pengingat bagi diri kita, bahwa berkendara yang aman adalah bagian dari Hifdz Nafs karena melibatkan perlindungan terhadap nyawa pengendara dan penumpang, serta keselamatan orang lain di atas aspal.
Begitu pun, berkendara dengan baik membantu melindungi kendaraan dan harta benda dari kerusakan atau kehilangan akibat kecelakaan (hifz mal). Prinsip hifzh maal berarti memastikan bahwa kegiatan berkendara tidak merugikan harta benda, baik milik diri sendiri maupun orang lain. Jadi, berhati-hatilah, berhati-hatilah. Mari, main sepeda-sepedaan dulu.
-Khairul Anwar, Dosen LB UIN KH. Abdurrahman Wahid Pekalongan, Staikap, dan Jurnalis NU Online Jateng, serta Founder Cakapmedia



