Oleh Hamidulloh Ibda
Pernyataan Ahmad Sahroni, anggota DPR RI dari Fraksi NasDem, yang menyebut pihak yang menyerukan pembubaran DPR sebagai “orang tolol sedunia” menuai respons publik yang beragam. Bahkan, imbasnya rumahnya dijarah dan diremukkan massa yang geram.
Kata-kata ini, yang diucapkan dalam konteks politik dan kritik sosial, memicu perdebatan sengit. Lebih dari sekadar polemik, frasa tersebut dapat menjadi studi kasus menarik untuk memahami bagaimana bahasa, khususnya majas, digunakan dalam ruang publik dan bagaimana implikasinya terhadap pendidikan karakter di sekolah atau madrasah.
Bagi saya, ungkapan tersebut bukan sekadar kritik balik, melainkan representasi gaya bahasa yang sarat majas hiperbolik dan ironi. Jika ditelaah lebih dalam, kalimat itu dapat dijadikan bahan refleksi dalam konteks retorika politik dan pembelajaran pendidikan karakter di sekolah maupun madrasah.
- Iklan -
Majas dan Retorika “Orang Tolol Sedunia”
Ungkapan “orang tolol sedunia” termasuk majas hiperbola, yaitu gaya bahasa yang melebih-lebihkan kenyataan untuk menekankan maksud tertentu (Keraf, 2009). Dengan menambahkan frasa “sedunia”, Sahroni tidak hanya menyebut masyarakat tolol, tetapi memperluasnya secara ekstrem seolah tidak ada tandingan kebodohan lain di seluruh dunia. Ini menurut saya buruk sekali gaya komunikasi politik yang dipilih oleh Mr. Sahroni.
Selain hiperbola, terdapat juga nuansa majas ironi. Ironi menurut Pradopo (1987) adalah gaya bahasa yang mengandung sindiran dengan mengatakan hal yang berlawanan dari maksud sebenarnya. Ungkapan tersebut menyindir keras mereka yang mengkritik DPR dengan solusi simplistis: “bubarkan saja”.
Dengan demikian, ungkapan itu memadukan hiperbola (melebih-lebihkan) dan ironi (menyindir), sekaligus menjadi strategi retoris untuk memperkuat posisi pembicara dalam merespons kritik.
Jika ditinjau dari perspektif teori retorika dan komunikasi politik, dalam teori retorika Aristoteles (384-322 SM), kekuatan komunikasi terletak pada logos, pathos, dan ethos. Pertama, logos (logika). Argumennya adalah bahwa membubarkan DPR bukan solusi rasional. Kedua, pathos (emosi). Sahroni memainkan bahasa emosi dengan menggunakan kata “tolol sedunia”, untuk memancing reaksi audiens. Ketiga, ethos (kredibilitas). Sahroni berbicara sebagai anggota DPR, yang memiliki legitimasi formal.
Menurut Habermas (1997), komunikasi politik seharusnya mengedepankan rasionalitas komunikatif, yakni dialog yang setara dan berorientasi pada konsensus. Namun, pernyataan Sahroni lebih menekankan retorika emosional ketimbang dialog rasional. Hal ini memperlihatkan ketegangan antara retorika politik (yang sering hiperbolik) dan komunikasi deliberatif (yang idealnya argumentatif dan rasional).
Pernyataan “orang tolol sedunia” bukanlah sebuah deskripsi literal. Pernyataan ini adalah bentuk majas hiperbola, yaitu gaya bahasa yang melebih-lebihkan sesuatu secara ekstrem untuk memberikan efek dramatis atau penekanan yang kuat. Tujuannya bukan untuk memberikan label secara harfiah, melainkan untuk menegaskan posisi pembicara dan merendahkan lawan bicara. Dalam hal ini, hiperbola digunakan untuk menempatkan kritik terhadap DPR pada posisi yang paling absurd dan tidak berdasar.
Selain hiperbola, pernyataan ini juga mengandung majas aspersi atau majas mencela, terlihat dari penggunaan kata-kata kasar lainnya seperti “anjing, babi, bangsat.” Majas ini berfungsi untuk merendahkan dan menyerang karakter lawan bicara, bukan argumennya.
Dalam teori retorika, penggunaan majas seperti ini dikenal sebagai strategi pathos, yaitu upaya untuk membangkitkan emosi pendengar atau pembaca, alih-alih menggunakan logos (logika dan alasan) atau ethos (kredibilitas diri). Strategi semacam ini sering digunakan ketika pembicara ingin mengalihkan fokus dari substansi masalah ke isu personal atau emosional. Penggunaan bahasa yang provokatif dan berlebihan dapat menarik perhatian, namun sering kali mengikis bobot argumen itu sendiri.
Urgensi Pendidikan Karakter
Kasus penggunaan bahasa yang kontroversial ini dapat diintegrasikan sebagai bahan ajar penting dalam pendidikan karakter di sekolah atau madrasah. Mengapa? Karena hal ini mencerminkan dinamika komunikasi yang akan dihadapi siswa dalam kehidupan sehari-hari, terutama di era media sosial.
Kontroversi pernyataan Sahroni dapat menjadi bahan refleksi pedagogis dalam pendidikan karakter. Guru bisa mengajak siswa menganalisis pernyataan publik tokoh politik dari perspektif bahasa, etika, dan nilai moral. Integrasi ini bisa dikembangkan pada beberapa aspek. Pertama, nilai kritis dan logis. Seharusnya, sejak dini murid dilatih membedakan kritik konstruktif dan kritik destruktif. Selain itu perlu juga belajar bahwa solusi simplistis (“bubarkan DPR”) tidak serta-merta menyelesaikan masalah sistemik.
Kedua, nilai etika berbahasa. Bahasa hiperbolik dan sindiran boleh dipahami sebagai ekspresi retorika, namun tidak selalu tepat untuk ruang publik. Pendidikan karakter menekankan pentingnya komunikasi santun, kritis, dan empatik.
Ketiga, nilai demokrasi dan tanggung jawab. Murid memahami bahwa DPR adalah lembaga demokrasi yang bisa dikritik, tetapi solusinya harus berbasis argumentasi dan tata kelola. Belajar bahwa setiap warga memiliki tanggung jawab moral untuk mengkritik dengan cara yang bermartabat. Dengan begitu, pembelajaran tidak hanya berfokus pada teks, tetapi juga membentuk karakter kritis, santun, demokratis, dan bertanggung jawab.
Keempat, mengembangkan kemampuan berpikir kritis. Murid perlu diajarkan untuk tidak sekadar menerima informasi, tetapi menganalisisnya secara kritis. Penting untuk menjelaskan bahwa label atau sebutan seperti “orang tolol sedunia” adalah strategi retorika, bukan fakta. Pembelajaran ini dapat merujuk pada literatur Van, et.al., (1992), Walton (1998), Brembeck (2009), yang menjelaskan cara membedakan antara argumen yang valid dan serangan pribadi (ad hominem fallacy).
Kelima, membangun etika dan adab berkomunikasi. Pendidikan karakter, yang sangat ditekankan di madrasah dan sekolah, mengajarkan pentingnya akhlaqul karimah (akhlak yang mulia) dalam berinteraksi. Penggunaan bahasa yang menghina dan mencela adalah contoh buruk yang kontras dengan nilai-nilai ini. Guru dapat menggunakan kasus ini untuk menekankan bahwa etika berkomunikasi harus diutamakan, bahkan dalam situasi yang paling menegangkan.
Keenam, mengajarkan solusi, bukan sekadar kritik. Mengajak murid untuk membedakan antara kritik yang membangun dan cacian. Kritik yang konstruktif menawarkan solusi, sementara cacian hanya merusak dan mengadu domba. Dengan demikian, siswa tidak hanya belajar mengkritik, tetapi juga belajar bagaimana menyajikan argumen yang kuat dan berbasis solusi, yang jauh lebih bermanfaat bagi masyarakat.
Pada akhirnya, pernyataan “orang tolol sedunia” lebih dari sekadar ungkapan kemarahan. Ia adalah cerminan dari rendahnya kualitas diskursus publik yang sering kali terjebak dalam perang kata-kata, alih-alih adu gagasan. Pendidikan karakter di sekolah dan madrasah memegang peran vital untuk mencegah generasi mendatang mengadopsi pola komunikasi semacam ini.
Alih-alih menyederhanakan masalah dengan label, generasi muda harus dididik untuk membangun argumen yang kokoh, berkomunikasi dengan penuh hormat, dan tetap berpegang pada akal sehat. Dengan demikian, mereka akan menjadi agen perubahan yang mampu membawa perbaikan, bukan sekadar melontarkan cacian, bahkan dalam panggung yang paling ramai.
Ungkapan “orang tolol sedunia” dari Ahmad Sahroni merupakan ekspresi hiperbolik dan ironis dalam retorika politik. Analisis majas dan teori retorika membuka ruang pemahaman bahwa bahasa politik sering kali emosional dan simbolis. Meski demikian, pendidikan karakter di sekolah dan madrasah khususnya di Lembaga Pendidikan Ma’arif NU PWNU Jawa Tengah perlu menjadikan fenomena ini sebagai bahan pembelajaran agar generasi muda dapat bersikap kritis, santun, dan bertanggung jawab dalam berkomunikasi serta berpartisipasi dalam demokrasi. Begitu!
–Dr. Hamidulloh Ibda, M.Pd., dosen pengajar Bahasa dan Sastra MI/SD Prodi PGMI Fakultas Tarbiyah dan Keguruan INISNU Temanggung.



